Hiruk pikuk para politisi untuk merebut kekuasaan pada pemilu mendatang kian terasa. Saat ini, rakyat sudah mulai dijejali dengan berbagai bujuk rayuan program dan harapan perbaikan nasib dimasa mendatang. Tentu saja, hal yang sama juga pernah dirasakan sebelum pemilu 2009 dan 2014. Namun janji dan harapan para politisi pada pemilu masih sebatas retorika.
Bagaimana seharusnya rakyat bersikap? Apakah rakyat rela untuk selalu menjadi objek politik sesaat para politisi? Apa yang mesti dilakukan? Berikut petikan wawancara Suara Muhammadiyah dengan Prof. DR. H. Abdul Munir Mulkhan, Komisioner Komnas HAM, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Mantan Pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Setiap jelang pemilu, umat selalu menjadi sasaran kepentingan politik, bagaimana bapak melihat peta jelang pemilu 2014 mendatang ? Apakah ada upaya menjadikan kembali umat sebagai sasaran politik sesaat?
Demokrasi itu merupakan bentuk ekspresi politik semua warga Negara yang di negeri ini mayoritas memeluk Islam. Karena itu partai yang mengabaikan suara umat adalah partai yang tidak berpijak realitas objektif. Sayang, si umat itu tidak diberi ruang luas untuk mengemukakan kepentingannya sehingga bisa didengar para politisi yang secara normativ menjadi wakilnya sendiri. Di saat yang sama, suara umat itu hanya penting saat pemilu atau pemilukada sesudah itu dilupakan. Tidak ada mekanisme kontrol atau mekanisme yang tersedia saat rakyat itu mencabut mandat kepada para wakilnya. Sementara partai seringkali didirikan bukan untuk memperjuangkan nasib umat tetapi bagi kepentingan elite partai sendiri. Doktrin Islam lebih mudah dieksploitasi bagi kepentingan elite yang berlindung di balik kepentingan Islam atas nama Tuhan di saat mana umat hampir tidak diberi ruang untuk menuntut pertanggungjawaban para wakilnya tersebut.
Cara dan langkah yang seperti apa biasanya digunakan oleh parpol maupun politisi untuk “membodohi” umat agar para politisi mendapat dukungan pada pemilu yang akan datang?
Ironinya jargon ketuhanan, amal saleh, sedekah dan berbagai doktrin normativ lebih sering dan lebih murah dan mudah dipakai elite untuk menjual kepentingannya sekaligus membeli suara umat. Sosialisasi ajaran Islam selama ini lebih sering menempatkan elite politik dari partai Islam atau berbau Islam pada posisi sebagai “broker” kehendak Tuhan atau kebenaran ajaran Tuhan. Terutama elite partai dan politisi yang memiliki simbol-simbol keislaman seperti muballigh, ustadz, kiai dan ulama.
Kenapa umat begitu mudah luruh dan memberikan tempat kepada para politisi walaupun tidak jarang para politisi atau parpol tertentu berkhianat pada umat?
Inilah akibat sosialisasi ajaran Islam melalui dakwah, tabligh, majelis taklim dan pendidikan agama yang top-down, doktrinal, tidak dialogis, apalagi menumbuhkan sikap dan pemikiran kritis. Seolah tanpa elite yang kiai, ulama, ustadz, guru ngaji, muballigh, surga dan keberkahan hidup tidak akan diperoleh oleh umat. Selama ini hanya merekalah yang terbuka memperoleh posisi surgawi, sementara umat hanya berada pada posisi pengikut.
Adakah kaitanya perhatian dan dukungan umat kepada politisi tertentu dengan materi yang diperoleh umat saat itu?
Lebih seru jika bukan hanya uang atau meteri tetapi juga dengan janji surgawi yang secara simbolik dimainkan oleh elite. Karena itu kuncinya ialah perlunya dikembangkan pendidikan kritis di kalangan umat mayoritas warga negeri ini.
Bagaimana seharusnya umat menyikapi model-model pendekatan politisi jelang pemilu 2012 ke depan agar tidak mudah larut dengan kepentingan politik sesaat para politisi?
Kuncinya selain pendidikan kritis ialah perlunya pendidikan politik bagi warga kebanyakan sehingga menyadari dan mampu menuntut hak-hak politiknya sebagai warga Negara dan sebagai pemilik suara yang otentik.
Apa pula yang mesti dilakukan untuk memberdayakan umat agar bisa kritis dan melakukan kontrol terhadap para politisi kita saat ini?
Disini gerakan masyarakat sipil Islam seperti Muhammadiyah dan NU serta banyak yang lain, perlu konsisten untuk menempatkan diri sebagai gerakan madani atau sipil non-partisan dengan fokus memberdayakan umat melakukan pendidikan politik sekaligus mengembangkan pendidikan kritis melalui khutbah dan tradisi taklim yang sudah ada.
Apa yang mesti dilakukan Muhammadiyah untuk memberdayakan umat agar jauh dari godaan-godaan politik materi seperti itu serta membuat warga melek politik?
Muhammadiyah perlu membagi kerja kepada aktivisnya yang memiliki talenta politik diberi dan dipersiapkan dan dilatih sehingga memiliki kemampuan praktis memperjuangkan kepentingan umat tanpa terperangkap pada sistem yang korup. Mereka dipersiapkan sedemikian rupa sehingga memiliki komitmen pada politik beretika dan berakhlak sekaligus dikembangkan sebuah sistem rekrutmen politisi yang memiliki wewenang memberikan sangsi bagi politisi yang nakal atau menyimpang dari garis atau pedoman etis yang ditetapkan gerakan. Muhammadiyah bukan hanya bisa secara malu-malu bercerai dengan politik praktis tetapi ngambek ketika tidak memperoleh jatah kekuasaan. Karena itu Muhammadiyah mestinya membangun sistem pembagian kerja antara aktivis yang tafaqquh pada gerakan madani dan yang tafaqquh di politik praktis. Mereka, aktivis yang memilih jalan politik praktis harus menerima resiko tidak boleh memegang jabatan pimpinan di persyarikatan karena pimpinan persyarikatan inilah yang nanti berperan mengontrol perilaku politik aktivis partai. [d]
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 02 tahun 2012