(Bagian 10)
Oleh: Imam Shamsi Ali*
Di pagi hari yang cerah itu dari Kudus kami melanjutkan perjalanan ke Pati. Melewati perkampungan, persawahan, dan nampak pula pegunungan, menambah kebanggaan akan indahnya dan suburnya alam Indonesia. Di sekitar daerah itu pula ada nama jalan yang sudah bertahun-tahun saya dengar, tapi belum pernah tahu di mana
Tempatnya. Ternyata jalan “Pantura” yang populer ketika musim mudik lebaran itu juga ada di sekitar daerah itu.
Sebelum tiba di tempat acara, kami diajak (sejujurnya digoda) oleh keluarga pak Budi, pengusaha sukses Semarang itu, untuk sarapan di sebuah restoran pinggir jalan. Sebuah restoran dengan menu khas sate ayam kampung.
Bagi saya hal ini menunbuhkan pemikiran tersendiri. Maklumlah kami hidup di negara yang semuanya dipaksa dan direkayasa. Termasuk memaksa dan merekayasa ayam-ayam itu berdaging banyak (subur). Akibatnya daging ayam itu, selain terasa seperti gabus, juga tidak lagi sehat dan alami. Kita makan dengan was-was terkena dampak buruk dari daging rekayasa itu.
Berbicara tentang rekayasa ini mengingatkan kita kepada realita dunia kita masa kini. Dunia memang memerlukan rekayasa. Sebab manusialah yang seharusnya membentuk dunia berdasarkan rekayasa yang dibangun. Akan tetapi merekayasa dunia bukan berarti hidup kehilangan “tabiat aslinya”. Karena hidup yang kehilangan kealamiahannya adalah hidup yang dipenuhi kepura-puraan. Menyedihkan karena kenyataannya dunia kita saat ini didominasi oleh kepura-puraan.
Sejujurnya dunia memang demikianlah adanya. Dunia secara alami memang tidak lain adalah “mataa’un ghurur”? Bahwa dunia ini memang penuh dengan tipu daya. Dan manusia yang hanyut dengan dunia seperti ini berada di dua kemungkinan: tertipu atau menjadi penipu.
Dalam dunia so called modern saat ini hampir segala sesuatu menjadi bagian dari rekayasa itu. Dari kecantikan, senyuman, pertemanan, hingga kepada sistim keuangan dunia masuk dalam kategori rekayasa. Rekayasa yang kita maksud adalah sesuatu yang sesungguhnya bukan kenyataan. Dalam dunia perekonomian misalnya kita mengenal istilah “bubble economy” yang berujung kepada krisis besar perekonomian dunia.
Mengecilnyan kehidupan alami (bukan hidup rekayasa) ini membawa dampak negatif kepada kehidupan manusia. Bahkan yang paling berbahaya adalah relasi antar manusia lebih sering terbangun di atas pijakan “rekayasa kepentingan”. Di saat kepentingan masih kuat relasi itu juga masih solid. Di saat kepentingan itu rapuh maka relasi itu juga menjadi rapuh. Hubungan antar manusia seperti itu bagaikan busah di tengah samudra luas, terombang ambing ke sana ke mari mengarah sesuai hembusan angin kepentingan tadi.
Ambillah satu contoh nyata dalam kehidupan manusia yang penuh rekayasa itu. Bahkan yang paling intim sekalipun. Hubungan antara suami-isteri dalam institusi rumah tangga itu sendiri. Dunia modern yang penuh rekayasa saat ini menjadikan hubungan suami isteri seringkali juga dibangun di atas rekayasa-rekayasa. Hilang jenuinitas (keaslian) hubungan itu. Yaitu hubungan yang dibangun di atas dasar “lillahi ta’ala” dalam bahasa agamanya. Kemurnian atau keikhlasan dalam bahasa agama semakin mengecil, bahkan termarjinalkan.
Yang mendominasi hubungan suami isteri saat ini adalah rekayasa-rekayasan kemanusiaan. Bahkan cinta sekalipun umumnya terbangun di atas dasar rekayasa itu. Kecantikan atau ketampanan pun juga kerap kali tidak lepas dari rekayasa. Sehingga nilai “keaslian” relasi menjadi minim. Isteri menjadi sangat cantik bukan lagi karena memang cantik secara alami, lahir dan batin. Tapi penuh dengan “make up”, yang artinya “direkayasa”. Ketertarikan antara suami dan isteri terbangun di atas atraksi “make up” (rekayasa) ini.
Inilah yang berakibat kepada kenyataan bahwa tingkat perceraian tertinggi justeru terjadi di kalangan kelas menengah ke atas. Bahkan perceraian tercepat dunia umumnya terjadi di kalangan selebriti Hollywood. Padahal secara kasat mata mereka cantik/ganteng, kaya dan populer. Tapi kenapa persentasi cerai tertinggi dan tercepat terjadi di kalangan mereka? Jawabannya kerena keaslian (junuinitas) hubungan tadi semakin minim.
Makan sate ayam kampung di Pati mengingatkan saya betapa kehidupan yang alami, kehidupan yang dalam bahasa agamanya dikenal dengan “fitrah” itu menjadi esensial. Manusia diciptakan di atas kehidupan yang fitrah, dan manusia hanya akan menemukan ketenangan hidupnya di saat hidup fitrah itu terjaga. Bukan kehidupan yang penuh rekayasa dan penuh kepura-puraan.
Teringat Buya Hamka
Kami tiba di tempat acara, sebuah sekolah khusus yang diinisiasi dan dikelolah oleh pak Budi, pengusaha Semarang yang saya sebutkan terdahulu. Sekolah ini relatif baru, tapi sangat berkualitas karena mengikut sistim pendidikan Al-Azhar yang berpusat di Jakarta.
Memasuki area sekolah mengingatkan saya kepada banyak hal. Satu di antaranya adalah mengingatkan saya kepada seorang ulama besar yang identikal dengan sekolah itu. Hamka adalah nama besar dan sosok nasional bahkan dunia yang mengagumkan. Betapa tidak beliau adalah salah seorang ulama modern di abad 20 yang mampu menghubungkan antara keaslian tradisi agama dan perkembangan dunia baru. Tafsir Al-Azhar selayaknya menjadi rujukan setara dengan karya-karya ulama dunia lainnya. Tapi apakah itu bisa terwujud?
Jawabannya tergantung kepada kita, bangsa dan umat Islam Indonesia. Hal yang paling menentukan adalah apakah kita punya rasa percaya dan motivasi diri untuk menampakkan atau mendorong diri kita atau karya putra-putri bangsa kita ke panggung dunia internasional? Terus terang saja saya agak pessimis dengan itu. Pengalaman saya di luar negeri lebih 30 tahun sekarang ini berkata lain.
Saya teringat ketika saya dianugerahi Ellis Island Honor Award 2009 lalu. Sebuah penghargaan tertinggi non militer di Amerika yang diberikan kepada imigran atau anak-anak imigran yang dianggap memiliki kontribusi atau potensi kontribusi bagi bangsa Amerika. Saya menerima award itu bersama Jenderal Abi Zayd, mantan komando militer Amerika di Irak dan Gloria Estefan, penyanyi legendaris keturunan Hispanik. Nama-nama penerima penghargaan itu diabadikan di sebuah pulau kecil di kota New York bernama Ellis Island. Pulau di mana imigran pertama dahulu masuk ke kota ini.
Saya teringat itu karena kebesaran sebuah bangsa salah satunya adalah kemampuan bangsa itu menghargai, atau minimal mengakui (recognize) kontribusi anak-anak bangsanya. Satu hal yang saya yakin Indonesia harus banyak belajar dari bangsa lain. Terkadang pengakuan terhadap putra-putri bangsa itu kerap kali ditentukan oleh faktor-faktor kepentingan. Dan kerap kali pula dilihat kepada tingkat sosial dari mereka. Jika anda secara strata sosial berada di kalangan elit anda akan mudah diakui (recognized). Tapi jika anda hanya dari kalangan rakyat biasa, tidak memiliki posisi atau koneksi dengan pemilik posisi, anda akan berbuat tanpa dihiraukan oleh orang lain. Bahkan sering kali menyedihkan adalah justeru dianggap “membahayakan” dan “saingan” bagi mereka yang berada pada posisi tertentu.
Saya justeru kagum kepada bangsa China dan India. Anak-anak bangsa mereka akan selalu mendapat perhatian dan bahkan pengakuan dan penghargaan oleh bangsa aslinya. Di manapun mereka berada, bahkan pada posisi apapun dan warga negara manapun, mereka akan diperhatikan dan diakui sebagai bagian kebangsaan mereka yang dinilai berpotensi untuk memberikan kontribusi kepada bangsanya.
Akankah Indonesia mampu melakukan itu? Kemungkinan untuk sampai ke sana diperlukan “revolusi mental” seperti gagasan Presiden Jokowi. Bahwa masalahnya ada pada mentalitas manusia yang terkadang terhantui oleh jiwa “kekalahan” (defeated). Jiwa terkalahkan ini akan selalu membangun “kecurigaan” kepada sesama sehingga yang terjadi adalah saling “menjegal” dan “menyikut”. Ah…semoga saya keliru!
Setelah acara kami di sekolah Al-Azhar Pati itu kami segera meluncur kembali ke kota Semarang untuk tiga acara lainnya. Yang pertama di Telkom Jateng, lalu di sebuah masjid yang rencananya dihadiri oleh Walikota. Dan acara puncak saya hari itu adalah menyampaikan ceramah Halal bihala di masjid Agung Jawa Tengah. (Bersambung)…..
New York, 20 Agustus 2017.
* Presiden Nusantara Foundation