Membangun Peradaban Indonesia

Membangun Peradaban Indonesia

Oleh: Hasnan Bachtiar*

Saya bersyukur sempat berguru kepada Profesor Dale Eickelman, seorang antropolog Amerika yang ilmunya bukan sekedar menukik di kedalaman, namun juga mencerahkan. Beliau menghabiskan banyak waktunya untuk mengkaji masyarakat Islam di pelbagai belahan dunia.

Dalam satu kesempatan, kita ditakdirkan bertemu. Beliau sebagai guru besar riset, sementara saya hanya mahasiswa biasa di Pusat Kajian Arab dan Islam, di Universitas Kebangsaan Australia (The Australian National University, ANU).

Dalam perbincangan antara guru dan murid ini, saya menilai tutur katanya santun, pilihan kata yang dipakai tepat dan akurat, serta mengalir renyah namun tetap sistematis.

Tidak jarang beliau menyebut nama-nama pemikir Muslim Indonesia, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif. Beliau sebenarnya, sangat terkesan dengan Islam dan kaum Muslim Indonesia.

Dengan jujur dan terbuka, beliau menyampaikan bahwa masa depan Islam di dunia global, justru bergantung kepada kekuatan gagasan-gagasan reformistik yang tumbuh subur di pelbagai belahan dunia, khususnya di Indonesia.

Mengapa Indonesia? Para sarjana ilmu sosial, terutama yang memiliki minat mengkaji dunia Muslim, menyambut gembira adanya fakta sejarah bahwa Islam dan kaum Muslim Indonesia adalah yang paling berhasil di dunia.

Indonesia berhasil mematri proses demokratisasi dengan damai dan berkeadaban. Meskipun di tengah-tengah proses ini ada pula kekacauan yang timbul, namun bisa diatasi dengan baik.

Demokratisasi itu proses menuju demokrasi. Demokrasi itu, di mana semua orang boleh berpendapat, memberikan usulan dan mengupayakan sesuatu demi kemaslahatan yang lebih luas. Secara ideal dapat dibayangkan bahwa, dalam kondisi yang demokratis, semua orang memiliki dada yang lapang untuk menerima usulan-usulan yang paling rasional secara arif dan bijaksana. Semua orang juga bersemangat untuk bergotong-royong dalam rangka membangun bangsanya. Mereka, berlomba-lomba mengupayakan kebajikan.

Itu semua hanya akan menjadi mimpi di siang bolong, jika kita tidak memiliki gagasan-gagasan yang reformistik. Untuk apa? Tentu untuk mereformasi.

Reformasi itu sebenarnya bukan sekedar bermakna perbaikan, namun juga memperbaiki (secara kreatif dan dinamis). Yang namanya memperbaiki, tentu memperbaiki yang kurang betul, yang melenceng atau keliru.

Kehendak untuk memperbaiki ini, ditanam di tanah “Hati yang bersih” dan disiram oleh air “Akal yang suci”. Jika keinginan memperbaiki ditanam di tanah “Hati yang kotor” dan disiram oleh air “Kepicikan yang keruh”, tentu tidak akan tumbuh pohon yang hidup dan menghidupkan (dalam istilah kita, “Urip lan nguripi”). Sebaliknya, hati nurani dan akal suci menumbuhkan pohon pencerahan.

Apa itu pohon pencerahan? Pohon yang memiliki akar kebenaran yang kokoh, batang keadilan yang tegak, ranting-ranting martabat kemanusiaan yang menjalar hebat, dan daun-daun cinta kepada kaum yang lemah dan terpinggirkan yang rimbun.

Jika pohon ini tumbuh dengan baik, tidak menutup kemungkinan bahwa, di masa yang akan datang, akan menghadirkan buah-buah peradaban yang manis, segar, menyehatkan dan membahagiakan.

Namun, Profesor Dale memberikan isyarat, bahwa itu semua tergantung kepada kita sendiri, kaum beragama. Sebagai agensi sosial, kitalah yang memiliki potensi mewujudkan peradaban yang kita impikan.

Pertanyaannya adalah, apakah kita masih terlalu khusuk dalam menikmati gelombang fitnah dan caci maki? Ataukah kita masih terlalu kemaruk akan harta dan kekuasaan? Kapan kita segera siuman dari mabuk terhadap hal yang remeh-temeh?

Lantas setelah pertemuan itu, saya bertanya kepada diri sendiri, “Kapan kita mulai menaruh perhatian yang serius terhadap hal-hal yang mendasar?”

Sebelum kembali ke negaranya, Profesor Dale menitipkan pekerjaan rumah yang sungguh sulit dipecahkan. Rupanya pertemuan ini bukanlah pertemuan akademik biasa. Tetapi tentang bagaimana membangun peradaban Indonesia

————————————————-

*Penulis adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Exit mobile version