Oleh: Mustofa W Hasyim
Ada aktivis takmir masjid yang suatu hari mengeluh. Pada awalnya jamaah shalat wajib di masjid itu banyak sekali. Setiap shalat Maghrib dan Isya masjid itu hampir penuh shofnya. Kalau ada pengajian, yang hadir lebih banyak lagi karena mereka yang tadinya tidak sempat shalat berjamaah Isya menyempatkan diri untuk hadir di masjid.
Suatu hari dia mengundang muballigh yang baru pulang dari mencari ilmu dari luar negeri. Alangkah kagetnya hadirin yang datang di pengajian itu. Sebab mereka sepanjang detik demi detik, menit dan jam mereka hadir di masjid itu tidak ada sedetik pun mereka merasa nyaman dan tenteram.
Pengisi pengajian itu selalu menyalahkan yang hadir yang pengetahuan agamanya masih sedikit, mengolok-olok hadirin karena masih sering salah dalam melakukan ibadah, mengecap hadirin sebagai manusia yang perlu diperingatkan agae tidak sesat dan memvonis serta menakuti-nakuti hadirin sebagai calon penghuni neraka jika tidak mau menuruti kata-katanya. Hadirin yang terdiri dari jamaah masjid dan jamaah pengajian itu marah dan dongkol di dalam hati. Akan tetapi demi sopan santun mereka terpaksa menahan diri. Mereka tidak berani menunjukkan kemarahannya terhadap muballigh yang merasa paling benar itu.
Baru setelah pengajian usai dan pemberi pengajian itu pulang, ada beberapa orang dari jamaah mengajukan protes kepada takmir. Mereka menyatakan tidak setuju dengan cara pemberi pengajian tadi menyampaikan pengajiannya. Isi pengajian sebenarnya bagus, tetapi cara menyampaikannya yang tidak bagus, karena bernada menyakiti hati pendengarnya. Dengan rendah hati, pengurus takmir pun menyatakan minta maaf karena salah memilih muballigh untuk ditampilkan di masjid itu.
Sejak peristiwa itu, pengurus takmir selalu berhati-hati dalam memilih muballigh. Mereka bertanya kepada orang yang kira-kira tahu latar belakang pendidikan dan kecenderungan muballigh yang akan ditampilkan. Mereka tidak mau kecolongan. Meski demikian, suatu malam takmir ini kecolongan lagi. Ada muballigh sudah setengah baya yang sebelum beraksi di podium tampak lembut dan ramah, tetapi ketika diberi kesempatan memberi pengajian, suara dia menggelegar mirip suara singa yang menakutkan. Ia mengajak hadirin agar melewati jalan ke surga dengan memilih jalan lurus, sederhana dan tegas. Sepanjang uraiannya ia lebih banyak mengemukakan tentang apa yang tidak boleh dilakukan manusia ketimbang apa yang boleh dilakukan. Hadirin pun sesak nafas dan merasa sepertinya agama itu berisi larangan melulu. Berisi peringatan dan ancaman melulu. Menjadi manusia beragama sepertinya diperlakukan sebagai obyek dari peringatan dan ancanam itu.
Terjadilah protes diam dari jamaah. Minggu berikutnya dan bulan berikutnya, ketika diadakan pengajian, yang datang tinggal sedikit sekali. Sekitar sepertiga dari jumlah orang yang hadir sebelumnya. Meski kemudian takmir mengundang muballigh atau ustadz yang ramah, kadang juga dipanggil ustadz yang suka melucu, tetapi jamaah yang hadi tetap sedikit. Takmir pun merasa rugi. Sebab dakwah masjidnya sekarang tidak lagi mampu menjangkau sebagian besar warga setempat.
Kasus serupa banyak dikeluhkan oleh para aktivis masjid yang lain, dengan kisah yang berbeda tetapi polanya nyaris sama. Bahkan ketika akan ada muballigh dari luar sebelum pengajian dimulai ada yang sudah berani berkata lantang. “Pak Ustadz, kami mau mendengarkan pengajian ini asal kami jangan dimarah-marahi dan disalah-salahkan. Kami memang banyak dosa, dan di masjid ini mau taubat dan beribadah. Jangan sakiti hati kami ya Pak Ustadz,” katanya.
Biasanya seorang ustadz atau muballigh yang bijaksana akan mengubah gaya atau style-nya dalam berdakwah kalau sudah mendengar permintaan seperti itu. Ia tahu bahwa ibarat memberi makanan maka yang berada di depannya adalah bayi yang masih memerlukan makanan lunak seperti bubur, yang terasa manis dan perutnya langsung sakit kalau diberi makanan yang pedas-pedas. Dengan gaya ramah dan sedikit jenaka ia akan memberi pengajian dengan materi hal yang mudah dicerna dan yang enak-enak di telinga saja. Biasanya, seusai pengajian ada hadirin yang nyeletuk,” Pak Takmir, kalau memanggil muballigh itu mbok yang seperti tadi. Asyik sekali lho Pak Takmir,” celetuk salah seorang dari hadirin yang tadi terpesona oleh uraian muballigh.
Memang ada muballigh yang memakai strategi mirip tukang masak yang menyuguhkan pesta prasamanan. Semua jenis makanan, dengan aneka rasa disajikan. Kalau jamaahnya memiliki pendidikan tinggi, mereka dapat mencerna apa yang dia sampaikan dan tidak bingung. Tetapi kalau di kampung dan di desa yang kebanyakan jamaahnya adalah manusia sederhana, terdiri dari petani, tukang parkir, tukang batu, penjual makanan anak-anak, sopir angkot, kondektur bis, tukang ojek dan tukang sampah, mereka akan kebingungan mendengar uraian Pak Muballigh yang sebentar-sebentar berganti tema, dengan ayat dan hadist yang bertaburan nyaris tanpa diuraikan atau ditafsirkan. Menurt orang awam, muballigh seperti ini dianggap kurang fokus dalam memberikan materi.
Dengan demikian, berhati-hati dalam memanggil muballigh tetap penting. Bahkan merupakan hal yang paling strategis dalam pengelolaan pengajian jamaah-jamaah masjid. Takmir perlu memiliki database semua muballigh lengkap dengan kecenderungan dan keahlian mereka. Berdasar database muballigh ini mereka dapat mengemas pengajian dengan sebaik-baiknya. Kalau toh suatu hari takmir ini menampil dua muballigh secara duet maka pasangan muballigh yang ditampilkan akan serasi dan pas sekali penampilannya.