Oleh: Haedar Nashir
Bangsa Indonesia sesungguhnya negara besar. Penduduk negeri ini mencapai 237.641.326 jiwa, tersebar di perkotaan (118.320.256 orang) dan di pedesaan (119.321.070 orang) dengan penduduk miskin secara formal masih 31 juta orang. Mayoritas penduduk terkonsenstrasi di pulau Jawa dengan 57,5% dan luar Jawa 42,5% padahal luas pulau Jawa hanya 6,7% sedangkan luar Jawa seluas 93,2%. Dari data kependudukan seperti itu maka betapa besar sekaligus berat masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa ini.
Masalah bangsa ini selain kemiskinan dan disparitas penyebaran penduduk ialah korupsi, mafia hukum, pengangguran, pengursakan sumber daya alam, konflik sosial, ancaman kedaulatan negara dari asing, dan lemahnya karakter anak-anak bangsa. Barang-barang inpor membanjiri negeri ini nyaris tanpa kendali, elite dan rakyatnya pun seakan banggga memakai dan mengkonsumsi produk impor. Sementara jaringan birokrasi dan sikap aparatur pemerintahan terbilang rentan yang memerlukan reformasi.
Masalah karakter tidak kalah bermasalah. Tidak rakyat, tetapi juga para elitenya. Jika ada Pemilu dan Pemilukada politik uang sudah mewabah dan seakan halal, baik dari kalangan sekuler maupun agama. Para elitenya pun berlomba merebut kursi pemerintahan dengan berbagai cara, termasuk politik uang. Upeti dan transaksi politik sudah menjadi lumrah, dengan argumentasi klasik inilah dunia politik. Politisi ajimumpung, hidup mewah, dan tidak pernah puas dengan raihan politik menjadi perilaku politik yang meluas.
Sementara amanat atau mandat rakyat terabaikan, malah terlupakan manakala Pemilu dan Pemilukada usai. Janji politik sekadar retorika dan harapan manis. Tiga atau dua tahun jelang pesta demokrasi para elite dan partai politik sudah berkonsentrasi pada pemenangan politik, nyaris lalai dengan amanat. Janji-janji baru mulai ditebar. Pendek kata politik nasional maupun lokal cenderung mengabdi pada dirinya, bukan pada nasib dan masa depan bangsa, meskipun retorikanya indah demi bangsa dan negara.
Disorientasi Visi
Bangsa ini sesungguhnya sedang diuji dalam hal komitmen para elitnya. Mau dibawa ke mana Indonesia yang kayaraya ini? Sebenarnya jika dirujuk pada cita-cita nasional yang diletakkan para pendiri bangsa tahun 1945, bangsa ini secara normatif memiliki arah atau visi kebangsaan yang jelas. Bahwa Indonesia haruslah menjadi bangsa dan negara yang maju, bersatu, adil, makmur, dan berdaulat. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif sangatlah mudah menentukan parameter arah berbangsa ini, asalkan seluruh elite penyelenggara negara beritikad kuat untuk membawa negeri ini pada tujuannya.
Demikian kewajiban dan tugas para penyelenggara negara termasuk para elite partai politik sangatlah jelas. Yakni terwujudnya pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sinilah para elite di seluruh tubuh pemerintahan meletakkan visi dan komitmen kebangsaannya.
Namun yang terjadi justru disorientasi visi berbangsa. Banyak atau tidak sedikit para elite yang terputusa komitmen dan visi kebangsaannya, yang dipikirkannya bukan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Tetapi sebaliknya mengutamakan kepentingan diri, keluarga, kroni alias dinasti, dan kepentingan partai politiknya. Kepentingan partai politik pun kadang alakadarnya, sekadar menjadi alat kendaraan untuk tujuan dirinya yakni meraih puncak tangga kuasa dan limpahan harta.
Dalam disorientasi atau kehilangan komitmen dan arah berbangsa itulah tumbuh beragam paradoks dalam perilaku para elite di tubuh pemerintahan.Menteri yang berasal dari partai politik maupun kalangan profesional sama-sama mengutamakan kepentingan lingkungannya sendiri, seolah dirinya pejabat tinggi negara untuk kaumnya, bukan untuk publik. Kalau ada pejabat di bawahnya berasal dari lingkungan luar dirinya (out-group) segera diganti dari lingkungan dirinya (in-group), baik dengan segera maupun secara pelan tapi pasti.
Bahkan ada kementrian yang melakukan sapu-bersih terhadap pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai yang berasal dari luar kelompoknya, sehingga kementerian tersebut layaknya milik sendiri dan golongan tertentu. Orang Muhammadiyah banyak yang terkena sapu-bersih tersebut, meskipun secara profesional memiliki keahlian yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektif.
Gejala lain juga banyak dicermati secara seksama. Seorang Menteri sering bicara soal pondok pesantren dan madrasah, padahal bukan bagian dari tugas pokok dari kementeriannya. Hal itu terjadi karena sang Menteri berasal dari lingkungan keluarga pondok pesantren dan madrasah. Selain, mulai memasukkan orang-orang berlatarbelakang pesantren dan madrasah di lingkungan kementeriannya, seolah mengurus negara sama seperti mengurus pondok bergaya patrimonial sekaligus terkena penyakit ajimumpung.
Jika kondisi ekslusivisme seperti itu terus berlangsung maka tunggulah kehancuran pemerintahan ini. Negara dan pemerintahan tidak lagi berlangsung dan dikelola secara objektif, tetapi secara subjektif. Pejabat negara menjadi serba berkuasa melampaui objektivitas negara dan pemerintahan itu sendiri. Padahal di negara manpun jika ingin maju maka hukum-hukum objektif tentang sistem pengelolaan negara dan pemerintahan itulah yang akan membawa pada kemajuan serta kejayaan suatu bangsa dan negara.
Komitmen Elite
Selain kehilangan arah dalam mengurus negara/pemerintahan, penyakit yang tampak mewabah di tubuh bangsa ini ialah lemahnya komitmen dalam mengurus urusan bangsa dan negara. Sebelum terpilih menjadi anggota parlemen (DPR, DPD, DPRD) maupun pejabat publik lainnya di pemerintahan hingga puncak menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Menteri, Ketua-Ketua Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara, dan sebagainya pada umumnya menunjukkan ikrar positif untuk mengurus hajat hidup rakyat. Namun setelah berada di kursi sering lupa mandat atau amanat.
Karenanya kini yang diperlukan ialah penguatan karakter para elite tentang pentingnya konsisten dalam berkomitmen mengurus negara yang dimandatkan kepadanya. Bahwa menjadi elite dan pejabat publik itu bukanlah prestise sosial, tetapi yang paling utama ialah mengembang amanat rakyat atau hajat hidup publik. Semakin amanah maka akan semakin baik komitmen moral para elite itu. Bahkan jika benar-benar amanah mobilitas politik ke atas pun akan dengan sendirinya teraih.
Namun manakala gampang menerabas, maka kelihatan dalam jangka pendek meraih sesuatu, tetapi jangka panjang sesungguhnya kehilangan sesuatu. Selain itu, komitmen moral menjadi hal paling penting dan berharga bagi para pejabat publik lebih dari sekadar menduduki jabatan kekuasaan. Bahwa kekuasaan apapun lebih-lebih yang berasal dari mandat rakyat, langsung maupun tidak langsung, menuntut komitmen moral untuk menunaikan amanat secara kesatria. Janji harus ditepati, amanat harus ditunaikan, dan segala resiko harus berani dihadapi manakala ingin menjadi pemimpin bangsa di berbagai tempat.
Kita tidak tahu moral apa yang ada pada diri George Washington dan para pejabat publik di sejumlah negara maju. Washington tidak bersedia dipilih lagi menjadi Presiden AS, padahal rakyat menghendaki dan mengidolakannya sebagai pemimpin negarawan. Para pejabat publik di sejumlah negara maju sering mundur dari jabatannya manakala ada masalah yang menjadi sorotan publik. Mereka berasal dari negara sekuler, tetapi memiliki moral yang penting dan dapat dicontoh selaku elite dan pemimpin bangsa.
Sementara di negeri relijius dengan penduduk muslim terbesar moralitas kenegarawanan itu seperti barang langka. Jangankan yang sudah malang-melintang, yang baru muncul ke publik pun tidak jarang gampang lupa mandat. Malah yang muncul gaya hidup yang berubah seratus delapan puluh derajat, layaknya para borjuis baru yang menjadikan dirinya semakin berjarak dari rakyat. Kedudukan dan materi menjadikan para elite publik itu mudah meninabobokan, sehingga lama kelamaan bukan lagi sebagai khadim al-ummat (pelayan rakyat), tetapi sebaliknya menjadi pembesar.
Sebenarnya masih banyak para elite yang masih jernih di Republik ini, yang berkomitmen lurus dan bersahaja. Menjadi pejuang nasib rakyat. Namun iklim dan budaya politik tampaknya belum memberi ruang leluasa bagi para elite berkomitmen moral itu, sehingga pamornya kalah dengan para elite perlente. Karennaya rakyat dan kekuatan-kekuatan masyarakat madani perlu mendorong dan memberikan iklim yang positif bagi tumbuhkembangnya para elite bermoral dan berkarakter kerakyatan di negeri ini. Pemilu seharusnya menjadi media hisab oleh rakyat untuk para elite di negeri ini, mana yang perlu diberi mandat dan mana yang harus dihukum secara politik dengan cara tidak memilihnya kembali. Rakyat jangan lagi sungkan hati.
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah nomor 2 tahun 2012