Oleh: Muhsin Hariyanto*
Peace for All! Itulah teriakan setiap orang yang memahami makna perdamaian. Dulu dan kini, nilai perdamaian itu abadi, tetapi formatnya bisa berubah. Semua orang – yang memiliki akal sehat – pasti mencintai perdamaian, dan – sebaliknya – tidak pernah merindukan ‘permusuhan”.
Konon, dalam kisah mengenai sabab nuzûl QS al-An’âm [6]: 108, pada masa Nabi Muhammad s.a.w., orang-orang Islam sering memaki berhala-berhala orang-orang kafir, dan – karena makian orang-orang Islam itu – orang-orang kafir pun membalasnya dengan makian yang sama, dengan cara “memaki Allah (Tuhan umat Islam)”. Oleh karenanya, Allah mewahyukan ayat ini, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah , karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb-nya mereka akan kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan,” dalam rangka memperingatkan kepada umat Islam untuk tidak memaki sesembahan orang-orang kafir tersebut. Karena makian mereka atas berbalas kemakina yang sama, dan pada akhirnya akan berbuah “permusuhan” antarumat manusia.“ (Hadis Riwayat ‘Abdurrazaq dari Qatadah)
Diceriterakan juga dalam sebuah riwayat, bahwa pernah suatu saat Nabi Muhammad s.a.w. ketika sedang duduk di beranda rumah bersama isterinya (‘Aisyah r.a.), lewatlah seorang Yahudi yang pada saat lewat di depan beranda rumah beliau orang Yahudi itu memaki-maki Nabi Muhammad s.a.w. dengan mengeluarkan kata-kata kasar. Menyaksikan peristiwa itu, ‘Aisyah r.a. pun beranjak dari tempat duduknya dengan muka merah dan berkeinginan untuk membalas makian orang yahudi tersebut. Menyaksiakan reaksi ‘Aisyiah r.a. (isterinya), dengan lembah lembut Nabi Muhammad s.a.w. meletakkan telapak tangannya pada ‘mulut’ ‘Aisyah dengan seraya bersabda: “Bersikap lemah lembutlah isteriku, ‘Aisyah. Karena Allah mencintai hamba-Nya yang bersikap lemah lembut. Allah akan memberi sesuatu yang terbaik kepada hambaNya karena kelembutan sikap hambaNya itu. Dan Allah tidak akan pernah memberikan rahmatNya kepada setiap hambaNya karena kekerasan sikap hamba itu, dan tidak juga bukan karena yang lain.” (Hadis Riwayat Muslim)
Dari peristiwa di atas, kita paham bahwa Nabi Muhammad s.a.w. selalu mengedepankan ‘sikap toleran’ (tasâmuh), menjauhi sikap kasar dan konfrontatif. Meskipun dimaki-maki oleh orang Yahudi, pada saat beliau memiliki kesempatan untuk membalasnya dengan kekuasaan yang beliau miliki di Madinah pada saat itu, sebagai Sang Uswah Hasanah, beliau selalu bisa menampilkan kelembutan pada siapa pun. Beliau mengajarkan kepada umatnya hingga kini dan hari esok untuk bersikap lemah lembut pada siapa pun yang dijumpai.
Salah satu wujud kepeloporannya untuk mengenalkan artipentingnya perdamaian bagi semua, ketika beliau memasuki kota Madinah dengan antusiasme sambutan masyarakat Madinah yang mayoritas telah memeluk Islam, beliau tandatangani “Piagam Madinah”, sebagai bukti dari keinginannya untuk menggalan perdamaian dengan sesama umat manusia, sebuah piagam yang mengangkat beliau sebagai pemimpin masyarakat Madinah dan mengakui hak-hak setiap penduduknya – dengan semangat multikultural — untuk hidup berdampingan secara damai dan saling melindungi, membangun sinergi antarumat manusia untuk kemaslahatan bersama.
Rasulullah s.a.w. sadar, bahwa kezaliman dalam bentuk apa pun dari siapa pun tidak pantas dibalas dengan kezaliman. Dan, sebagai bukti kongkretnyanya, hujatan demi hujatan yang pernah dilontarkan oleh orang-orang kafir tidak pernah beliau balas dengan hujatan sekecil apa pun, dan bahkan dibalasnya dengan cinta dan kasih sayang. Dan, ruh perdamaian yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. dengan ‘soft-diplomacy’-nya yang berbentuk cinta dan kasih sayang, telah terbukti menuai hasil yang sangat gemilang, yang antara lain dalam bentuk “Fathu Makkah” – kemenangan sejati — tanpa setetes darah pun yang mengalir dari siapa pun yang semua berseteru, untuk berkawan dengan “spirit perdamaian Islam”.
Kini, pelajaran yang bisa kita ambil adalah: “cara-cara yang lebih elegan dalam melawan semua bentuk kezaliman yang pernah ditawarkan oleh Rasulullah s.a.w.” bisa kita rekonstruksi, dan kemudian kita kontekstualisasikan dalam ranah kehidupan ke-kini-an dan ke-di sini-an, untuk menjadi semacam ‘cetak biru’ bagi diri kita ketika “kita” berkeinginan untuk mendakwahkan Islam, agar Islam bisa mewujud menjadi “entitas’ “rahmatan lil ‘âlamîn“. Atau meminjam istilah Pak Kontowijoyo, “kita lakukan objektivikasi “Islam” yang semula seolah ‘mustahil’ menjadi komoditas yang layak jual, menjadi Islam yang benar-benar layak-jual, karena benar-benar dibutuhkan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun, karena gagasan-gagasan yang layak dibeli untuk memuaskan dahaga umat manusia yang tengah merindukan “perdamaian” untuk “kesejahteraan” bagi seluaruh umat manusia.
Kita mulai dari diri kita untuk mengedepankan sikap ‘toleran’ pada semuanya, dengan tanpa mengorbankan prinsip kehidupan kita, atau bahkan dengan pola yang pernah dikembangkan oleh Rasulullah s.a.w.: “beramar ma’ruf-nahi mungkar, dengan landasan iman yang kokoh”, untuk menjadi umat terbaik yang pada akhirnya bisa menjadi ‘model’ dalam pengembangan masyarakat madani, yang berkemajuan tanpa kekerasan.” Kita simak kembali ruh QS Âli ‘Imrân [3]: 110, yang menyatakan bahwa; “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Karena sejarah telah membuktikan bahwa sikap ‘radikal’ (baca: keras, minus kelemah-lembutan) yang pernah ditampilkan oleh sebagian umat Islam, telah membawa citra negatif bagi bangunan umat Islam secara keseluruhan. Hingga stigma yang tak menguntungkan hingga kita masih saja dialamatkan kepada umat Islam. Kita simak beberapa tindakan anarkis (yang bisa berupa pengeboman yang sulit dipahami alasannya), telah menjadi amunisi musuh-musuh Islam yang terus akan mencari keburukan-keburukan umat Islam, dan – untuk kemudian – mencitrakan umat ini dengan pencitraan-pencitranan yang serba negatif .
Dan, akhirnya harus penulis katakan, bahwa “kini” sudah saatnya bagi kita (umat Islam, utamanya di negeri tercinta ini) untuk berbenah diri, mengubah sikap kita yang ternyata hingga saat ini telah bisa dinilai kurang atau bahkan ‘tidak’ proporsional. Contohlah Rasulullah s.a.w., ketika belaiu memberi “teladan yang sangat tepat” bagi diri kita, dan – dngan semangat ukhuwah – kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup damai bersama siapa pun dengan semangat ‘Piagam Madinah’, dalam rangka mewujudkan perdamaian dari, oleh dan untuk semua (umat manusia), seperti apa yang telah diteladankan oleh Rasulullah s.a.w. kepada diri kita.
*Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta.