Syahadat Rasul dalam Konteks Kondisi Kekinian
Oleh: Dr Mohammad Damami MAg
Karen Armstrong dalam bukunya yang berjudul Muhammad, A Biography of the Prophet yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis (2001) menuliskan demikian: “Muhammad bukan santo (manusia suci, pen.) yang tertutup/terlindungi. Dia hidup dalam masyarakat yang keras dan berbahaya.” (2001: 49). Menurut penulis, pendapat dan kesimpulan Karen Armstrong tersebut tidak salah. Al-Qur’an sendiri menegaskan, bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia yang bertubuh kasar sebagaimana manusia pada umumnya (basyar), namun dipilih dan diberi keistimewaan oleh Allah SwT yaitu diberi wahyu (yuuhaa) untuk disampaikan kepada manusia (Qs Al-Kahfi [18]: 110; Qs Fushshilat [41]: 6).
Karena itu Nabi Muhammad saw tidak pernah merasa jatuh mental, apalagi patah semangat tatkala kaumnya yang belum terbuka hatinya untuk mengimani kerasulannnya mengatakan bahwa mengapa ada orang yang mengaku Rasulullah tetapi makan makanan sebagaimana makanan orang pada umumnya dan berjalan keluar-masuk di pasar-pasar tempat orang jualan barang dan kebutuhan? (Qs Al-Furqan [25]: 7, 20). Tegasnya, menurut Al-Qur’an seseorang yang disebut “Rasul” adalah tetap manusia biasa, namun dia memiliki keistimewaan tertentu, yaitu dianugerahi wahyu oleh Allah SwT, dan dia harus terjun di tengah-tengah masyarakat ramai dalam segala persoalannya. Rasul adalah manusia masyarakat dan sekaligus manusia pemecah masalah (problem solver).
Pada zaman Nabi Muhammad saw hidup, masyarakat Arab pada umumnya, masyarakat Arab di sekitar Makkah pada khususnya, kehidupan sehari-harinya masih diselimuti oleh cara-cara berpikir yang serba mitos. Ciri kehidupan mitos adalah suka berpikir dengan orientasi “ke belakang, ke masa lampau”, yang karena itu mudah percaya pada berita yang ditularkan lewat mulut ke mulut, apalagi berita orang-orang terdahulu (leluhur) tentang kehebatannya, kesaktiannya, keanehan-keanehan pada dirinya, dan sebagainya. Karena kebenarannya sulit dicek, ditelusuri bukti-buktinya, dan sebagainya, maka rata-rata orang lalu menerimanya atau mempercayainya secara mentah. Kehidupan yang serba mitos seperti ini pada zaman Nabi Muhammad saw simbolnya adalah: penyembahan berhala.
Kehidupan mitos seperti ini merupakan salah satu problem berat bagi Nabi Muhammad saw. Lalu setelah Nabi Muhammad saw melakukan ‘uzlah (hidup menyepikan diri) ke Gua Hira’ tidak kurang selama 15 tahun (melakukan ‘uzlah mulai berumur 25 tahun sampai dengan umur 40 tahun), Nabi Muhammad saw mendapat wahyu yang pertama kali dan diteruskan pada masa-masa seterusnya. Salah satu inti wahyu yang diturunkan Allah SwT tersebut adalah mengubah cara berpikir mitos ke arah cara berpikir logos (yakni memanfaatkan potensi akal) dalam hal berkeyakinan. Yaitu bahwa kalau manusia menelusuri dan “mencari” Tuhan berdasar logos, maka ketemunya adalah kesimpulan yang menyatakan: Tuhan itu Esa (Qs An-Nahl [16]: 36; qs Quraisy [106]: 3-4).
Dengan demikian Al-Qur’an mengajari manusia mukmin menjadi manusia yang senantiasa memanfaatkan potensi akal. Bahwa sekalipun dalam hal keyakinan tidak mengapa potensi akal (dalam wujud penalaran) dipakai untuk memperteguh keyakinannya. Keyakinan terhadap Tuhan (Allah SwT) tidak harus hanya “ditelan mentah-mentah” begitu saja, melainkan boleh dimasak dulu lewat alasan-alasan yang nalar dan dalam prosesnya menggunakan potensi akal. Selanjutnya, pemanfaatan potensi akal ini tidak hanya dalam hal keyakinan, melainkan ─lebih-lebih─ dalam hal pemecahan masalah dalam kehidupan. Karena itu tugas seorang Rasul tidak sekedar sebagai “Rasul”, melainkan juga sebagai “imam” (pemimpin) (Qs Yunus [10]: 47; Qs Al-Baqarah [2]: 124). Sungguhpun begitu keseluruhan keimamannya tetap di bawah cahaya/nur kerasulannya.
Masalah mitos dan logos ini akan tetap ada sepanjang masa. Kedua kutub tersebut dalam kenyataannya saling menarik (tarik-menarik) satu dengan lainnya. Kadang-kadang ekstrem ke arah mitos, di pihak lain ekstrem ke arah logos. Dewasa ini, sekalipun kata orang dikatakan berkecenderungan serba berorientasi positivistik (berpikir serba nalar, serba berdasar percobaan/eksperimen, serba mendasarkan pada pengalaman empirik, serba berpangkal pada hukum sebab-akibat), namun dalam kenyataannya kecenderungan menganggap hebat sesuatu atau memitoskan sesuatu tetap berjalan, walaupun dalam wajah yang berbeda. Orang-orang sekarang banyak yang memitoskan atau mengagung-agungkan kuasa (kekuatan yang menentukan) dari ilmu, teknologi, kekuasaan, kekayaan, militer, dunia sistcm, idcoiogi, dan sebagainya.
Tidak jarang ditemui ada orang, kclompok, organisasi, bangsa, negara yang sok ’hebat, sok kuasa, sok kaya, sok kuat, dan sok-sok yang lain. Namun, kalau diteliti dan direnungkan berdasar logos yang mendalam, sok-sokan semacam itu kosong melompong belaka, maya saja, absurd. Menurut pertimbangan logos yang tepat adalah bahwa hidup ini pada hakikatnya “saling bergantung”. Bahwa yang kaya tetap memerlukan yang miskin dan sebaliknya, yang kuat membutuhkan yang lemah dan sebaliknya, yang maju menghendaki dampingan yang belum maju dan sebaliknya, yang besar toh tidak dapat meninggalkan yang kecil dan sebaliknya, dan sebagainya .
Kalau kehidupan pada zaman Nabi oleh Karen Armstrong dikatakan “keras dan berbahaya”, maka pada zaman kini juga tidak kurang keras dan bahayanya, walaupun dalam bentuk dan wajah yang berbeda. Kalau Nabi Muhammad saw pada zamannya berhasil mengubah mitos keberhalaan menjadi logos ketauhidan (Keesaan Allah SwT) dan juga berhasil memacahkan problem-problem kehidupan berdasar cara-cara berpikir logos, maka selaku orang beriman mestinya kita semua juga perlu tetap mempertahankan logos ketauhidan dan tetap mampu menyelesaikan problem-problem kehidupan zaman kini berdasar cara-cara berpikir logos pula. Itulah barangkali salah satu kebermaknaan syahadat Rasul “asyhadu anna muhammada-‘ rrasuulu-’llaah” zaman kini.
Wallaahu a’lam bishshawaab.
Tulisan ini dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 3 tahun 2012