FGD FRI, Fuad Bawazier: Proses Mewujudkan Keadilan sosial Tidak Boleh Dibelok-belokkan atau Ditunda

FGD FRI, Fuad Bawazier: Proses Mewujudkan Keadilan sosial Tidak Boleh Dibelok-belokkan atau Ditunda

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Menyoroti tentang sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat, perintah dan amanah yang tertuang dalam pasal 33 UUD 45 berikut penjelasannya menurut Dr Fuad Bawazier dari Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PSEP) Universitas Trilogi Jakarta, sudah dengan jelas serta tegas menerangkan hal-hal asas, apa yang dikuasai negara dan tujuan yang ingin dicapai. Apa yang terkandung di dalam pasal tersebut tidak lain telah disepakati sebagai Sistem Ekonomi Pancasila (SEP).

“Yaitu mewujudkan kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran orang perorang. Oleh karenanya, proses dan mekanisme menuju tujuan yang ingin dicapai itu tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dengan tujuan utamanya yaitu kemakmuran rakyat,” terangnya dalam Forum Group Discussion (FGD) Pokja Ekonomi Pancasila Forum Rektor Indonesia (FRI) di Islamic Center Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Jum’at (25/8).

Pasal 33 terang Fuad, juga telah menegaskan bahwa negara harus hadir dan berperan aktif dalam mengontrol kepemilikan dan penguasaan alat-alat produksi dan distribusinya terhadap barang dan jasa yang tertentu. Tertentu, maknanya menurut Fuad adalah apa yang penting menurut pemerintah dan apa yang menguasai hajat hidup banyak orang.

“Negara harus hadir. Sejak awal, semua upaya dan proses untuk mewujudkan keadilan sosial sudah harus selaras, tidak dibelok-belokkan atau ditunda dengan berbagai alasan seperti yang kerap terjadi selama ini,” katanya lagi.

Sistem Ekonomi Pancasila yang terkandung dalam pasal 33 ini sebut Fuad menganut prinsip keberpihakan. Dalam prinsip keberpihakan, terangnya, alokasi sumberdaya dilakukan seefisien dan seefektif mungkin dengan selalu mengutamakan aspek pemerataan.

“Prinsip keberpihakan ini berbeda dengan sistem ekonomi pasar kapitalis yang menganut prinsip efisiensi. Yaitu yang menginginkan terbentuknya harga barang dan jasa yang semurah-murahnya. Prinsip ini yang selama ini menghalangi Indonesia untuk memproduksi sepeda motor nasional miliknya sendiri,”  tukasnya.

Dengan tereliminirnya sekat-sekat antar negara atau yang disebut dengan globalisasi yang juga berimbas kepada perekonomian global, negara-negara seperti Amerika Serikat juga Inggris yang semula merupakan pelopor utama globalisasi untuk mengejar prinsip efisiensi, kini mendadak berbalik haluan.

“Mereka cenderung ingin kembali ke sistem pengaturan ekonomi yang lama atau deglobalisasi. Tidak lagi menginginkan free investment dan free trade melalui rezim global karena dirasakan tidak berpihak,” imbuh Fuad.

Selain menghadirkan Fuad Bawazier yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VII, hadir sebagai panelis Prof Edy Suandi Hamid yang juga Ketua Pokja Ekonomi FRI, Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Dr Aviliani, Dr. Enny Sri Hartati adalah Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dan Ahmad Akbar Susamto yang merupakan Akademisi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Anggota dewan pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Rahmad Wahab berharap forum tersebut mampu memberikan kontribusi kepada pemerintah. Melalui forum ini, diharapkan terbangun sistem ekonomi pancasila yang komprehensif bukan hanya berfokus kepada ekonomi kerakyatan yang terbatas kepada masyarakat bawah saja.

“Padahal, masyarakat yang notabenenya memiliki strata ekonomi atas itu juga perlu diberi rambu-rambu,” katanya.

Sedangkan tuan rumah FGD FRI, Rektor UAD Kasiyarno mengatakan bahwa FRI ini bukan hanya menjadi gerakan pembebasan akan kebodohan namun juga gerakan pembebasan dari kemiskinan.

“Kemiskinan tidak mungkin dieliminir tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karenanya, Forum ini diharapkan bisa memberikan dorongan untuk pembebasan dari kemiskinan,” tandas Kasiyarno. (Th)

 

 

Exit mobile version