Muhammadiyah di Mata Greg Barton dan James L Peacock

Muhammadiyah di Mata Greg Barton dan James L Peacock

Greg Barton mengatakan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) melahirkan ulama dan tokoh bangsa dari Madrasah, sementara Muhammadiyah impor ulama dari Arab. Indonesianis dari Monash University ini yakin bahwa melalui sistem pendidikan NU akan melahirkan lagi tokoh ulama sekaliber Gus Dur. Demikian kutipan berita yang beredar di beberapa media online di tengah kegaduhan warga NU yang salah kaprah memahami kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter dari Mendikbud Republik Indonesia. Sumber utama berita tersebut adalah sebuah laman facebook dengan akun Sukirman Kir, politisi PKB yang juga wakil ketua DPRD Jawa Tengah.

Statement Greg Barton yang menyebut Muhammadiyah impor ulama dari Arab lantas menuai banyak kritik dari para netizen. Tampaknya, Indonesianis dari Monash University ini memang tidak memahami sejarah Muhammadiyah. Atau memang ia sengaja menutup mata terhadap fakta-fakta historis Muhammadiyah demi kepentingan proyek tertentu. Secara implisit, Greg Barton jelas menuduh Muhammadiyah yang impor ulama dari Arab termasuk dalam kelompok yang mendapat pengaruh paham Wahabi. Padahal, sebelum dituduh terpengaruh Wahabi, sebuah fakta historis mengungkapkan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak terpengaruh gerakan Wahabi di Arab Saudi. Sebuah korespondensi pada tahun 1926 antara KH Baqir, keponakan KH Ahmad Dahlan yang menetap di Makkah, dengan redaktur Suara Muhammadiyah di Yogyakarta, sudah jelas dan gamblang bahwa gerakan Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah (baca Muhammadiyah & Wahabisme, Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru, 2012). Selain korespondensi antara KH Baqir dengan redaktur Suara Muhammadiyah, masih terdapat dokumen verslag 1921 yang memuat rekaman perjalanan Haji Fachrodin ketika penyelidikan dalam rangka membuka rute perjalanan haji dari Nusantara ke Makkah. Dalam catatan perjalanan tersebut, Fachrodin memang mereka beberapa pendapat dari para ulama di Makkah yang menganggap Muhammadiyah berafiliasi dengan gerakan Wahabi. Tetapi Fachrodin berhasil menunjukkan rechtpersoon Muhammadiyah dan menjelaskan kepada para ulama yang salah paham tersebut. Sebagian ulama sadar bahwa Muhammadiyah memang berbeda dengan Wahabi, tetapi terdapat sebagian ulama yang ngotot tidak menerima penjelasan dari Fachrodin.

Jika Greg Barton membaca fakta-fakta historis tersebut, tentu ia bakal sadar bahwa Muhammadiyah yang selama ini berkontribusi besar dalam membangun bangsa, terutama lewat jalur pendidikan dan gerakan pelayanan sosial, tidak akan gegabah menuduh Muhammadiyah berafiliasi ke Wahabi. Dengan logika yang amat sederhana, seandainya Muhammadiyah impor ulama dari Arab Saudi, maka berapa banyak ulama yang harus didatangkan untuk mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah? Pada masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan saja jumlah sekolah Muhammadiyah sudah mencapai angka mendekati ratusan, apalagi memasuki masa kemerdekaan hingga kini. Tentunya, dibutuhkan ratusan ribu ulama dari Arab jika memang Muhammadiyah gemar impor ulama. Pada kenyataannya, Muhammadiyah telah memiliki lembaga pendidikan yang berfungsi melahirkan kader-kader pemimpin dengan kapasitas keulamaan dan intelektual.

Sekedar membandingkan, pemikiran Greg Barton sebenarnya akan terbantahkan dengan sendirinya manakala ia membaca hasil penelitian James L Peacock tentang Muhammadiyah pada tahun 1970-an. Antropolog dari University of North Carolina ini telah mengamati perkembangan Muhammadiyah sejak tahun 1970-an hingga kini. Sampai pada kesimpulan, Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang unggul. Muhammadiyah dinilai unggul karena survive melewati usia seabad dan organisasi ini telah melahirkan banyak kader pemimpin Islam ( baca Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia, 2016).

Menurut Peacock, Muhammadiyah dinilai sebagai organisasi keagamaan yang unggul karena ia adalah survivor. Menurut antropolog University of Nort Carolina ini, Muhammadiyah dinilai telah berhasil melalui berbagai tantangan yang datang menerpa selama seabad belakangan serta kini semakin kuat dan dewasa.

Sejarah memang telah membuktikan bahwa sejak zaman kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang, bahkan memasuki alam kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah tetap eksis di tangan para pemimpin Muhammadiyah yang mampu berdialektika dengan zamannya. Dalam proses berdialektika dengan zaman, pasang surut Muhammadiyah sudah pasti. Tetapi Muhammadiyah mampu menjawab tantangan lintas zaman dengan sangat baik sehingga tetap survive hingga kini.

Masih menurut Peacock , Muhammadiyah dinilai sebagai organisasi keagamaan yang unggul karena ia merupakan organisasi pemimpin. Proses regenerasi di Muhammadiyah berjalan sangat baik. Kehadiran lembaga-lembaga perkaderan dan pendidikan di Muhammadiyah mampu melahirkan para kader dan pemimpin Islam.

Memang Peacock tidak menyebut istilah kader “ulama” dalam konteks lembaga perkaderan dan pendidikan di Muhammadiyah. Akan tetapi, Peacock yang mengulas tentang lembaga perkaderan Muhammadiyah, Darul Arqam, mengungkap karakteristik dan kompetensi “kader” yang sebenarnya sudah mencakup kriteria ulama dan intelektual. Selain Darul Arqam, masih terdapat lembaga perkaderan lain seperti Madrasah Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah. Para lulusan kedua madrasah ini jelas memiliki kapasitas dan kompetensi keulamaan sekaligus intelektual. Dengan demikian, penelitian Peacock yang dilakukan pada tahun 1970-an ini secara implisit menegaskan bahwa Muhammadiyah tampil sebagai organisasi keagamaan yang unggul karena survive melewati tantangan seabad kebelakang dan mampu tampil sebagai organisasi pemimpin.

Sejak masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan, KH Ibrahim, KH Hisyam, KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusuma, Buya AR Sutan Mansur, KH Ahmad Badawi, KH Fakih Usman, KH AR Fakhruddin, KH Ahmad Azar Basyir, Prof Dr HM Amien Rais, Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, Prof Dr Din Syamsuddin, hingga kini di bawah kepemimpinan Dr Haedar Nashir, MSI, Muhammadiyah tidak kekurangan kader ulama dan tidak butuh impor ulama dari Arab Saudi. Sejak masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan hingga KH Hisyam, kader-kader ulama Muhammadiyah lahir dari institusi pendidikan dan perkaderan seperti Al-Qismul Arqa, Pondok Muhammadiyah, Kweekschool Muhammadiyah, Madrasah Zu’ama dan Za’imat, dan lain-lain. Pada masa kepemimpinan KH Mas Mansur, Muhammadiyah berhasil membentuk Majelis Tarjih yang tetap eksis hingga kini, berfungsi melahirkan kader-kader ulama dan intelektual Muslim. Kini, lembaga perkaderan ulama Muhammadiyah secara khusus menggunakan lembaga pendidikan bernama Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM). (Abu Aksa)

Baca : 

James L Peacock: Muhammadiyah Organisasi Keagamaan yang Unggul  

Muhammadiyah Sebagai Pilar Civil Islam di Indonesia

Antropolog Korea Kagumi Tradisi Demokrasi di Muhammadiyah

Exit mobile version