Ayah dan Ibu

Ayah dan Ibu

Cerpen Satmoko Budi Santoso

Kematian ayah yang sudah tua menyisakan masalah. Ini memang sesuai dengan dugaanku beberapa waktu sebelumnya. Menyisakan masalah karena setelah ayah meninggal, ibu menjadi tidak jelas dirawat siapa.  Dulu, ayahlah yang merawat ibu, yang sudah sering sakit-sakitan. Ketika ayah ternyata meninggal lebih dulu daripada ibu, tentu aku sebagai bagian anak mereka, menjadi berpikir keras untuk memecahkan masalah ke manakah ibu harus dijaga sehari-harinya.

Rasanya, kalau ibu kemudian ikut aku bersama anak istriku, aku sendiri merasa kurang begitu nyaman. Bukan persoalan tidak sayang pada orang tua, namun aku terlanjur menyukai hidup yang relatif “tidak terganggu oleh urusan-urusan kecil setiap harinya”. Sementara, jika ibu ikut seorang kakakku, belum tentu juga kakakku bersedia. Apalagi mengingat kondisi ekonominya yang juga pas-pasan. Hidup sehari-harinya saja hanya menumpang, tinggal di rumah mertuanya.

Akhirnya diputuskan bahwa ibu dititipkan atau tinggal saja di panti jompo. Aku dan kakakku secara bergantian setiap bulannya menanggung biaya penitipan. Jika bulan ini pas aku yang berkewajiban membayar, maka bulan berikutnya adalah kakakku. Begitu seterusnya. Bagaimana pun, kami harus bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup ibu. Sembari membayar biaya bulanan di sebuah panti jompo itulah, maka kami akan selalu bertemu dengan ibu.

***

Keputusan aku dan kakakku menitipkan ibu ke panti jompo itu ternyata menyulut pergunjingan di tingkatan keluarga besar ayah dan adik kakak maupun ibuku. Meskipun pergunjingannya tidak bermaksud memperkarakan, namun namanya pergunjingan membuat aku dan kakakku memerah juga kupingnya. Pergunjingan itu kami dengar ketika ada pertemuan keluarga besar, pertemuan trah  tahunan. Inti pergunjingannya adalah kenapa ibu sampai dititipkan di panti jompo? Bukankah itu tidak manusiawi? Sejelek-jeleknya ibu dan semiskin-miskinnya anaknya bukankah semestinya tetap merawat ibunya secara langsung? Tidak perlu dititipkan?

Pertanyaan semacam itulah yang muncul di dalam pergunjingan. Aku dan kakakku menjadi tahu karena masing-masing anak kami melaporkan pergunjingan yang mereka dengar. Mendapatkan laporan semacam itu, aku hanya bisa bilang kepada kakakku dengan komentar pendek, “Wah giliran kita yang dicuci ini. Sebelum dan sesudah kita pasti giliran orang lain.”

Kakakku cuma melengos saja ketika aku berkomentar seperti itu. Kami sepakat tidak akan menanggapi pergunjingan semacam itu.

***

Syukurlah, ibu sendiri merasa nyaman dengan cara kami titipkan di panti jompo. Ibu sendiri tidak menuntut supaya dibebaskan dari panti jompo. Ibu cukup kerasan berada di panti jompo. Beberapa kali aku maupun kakakku menengok, tidak ada keluhan dari beliau. Kami melihat, ibu justru berbahagia di panti jompo. Terbukti, beliau juga cepat akrab dengan teman-temannya sebaya. Mereka bahkan biasa nyanyi bersama, karaoke bersama, pada waktu-waktu tertentu. Memang, cukup banyak kegiatan mereka di dalam panti jompo. Sebagian di antara mereka justru malah produktif, selama di panti jompo masih mampu berkarya dan menghasilkan uang. Misalnya dengan membuat kerajinan tangan berbahan benang maupun kertas. Bentuknya bisa menjadi sapu tangan, kain lap, boneka, dan lainnya. Tentu, karya semacam itu bisa saja laku dijual. Bukan soal uangnya yang menjadi harapan dimiliki, namun kepuasan ketika hasil kerja mereka masih bisa dinikmati orang lain. Itulah yang bernilai tiada bandingan bagi mereka yang hidup di tempat seperti panti jompo.

Saudara-saudara almarhum bapak maupun ibu akhirnya juga tahu soal kebahagiaan ibu di panti jompo ini. Mereka tahu dari hasil karya ibu selama di panti jompo. Mereka juga sesekali dikirimi satu-persatu buah tangan ibu dalam membuat kreasi kerajinan tangan. Malahan, ada di antara mereka yang sesekali juga memesan dibuatkan. Tentu, bermodal patungan di antara kawan-kawan  di panti jompo, sekuat mungkin ibu memenuhi pesanan tersebut. Yang pasti, jangan sampai memforsir kesehatan. Untungnya, si pemesan juga tahu bahwa mereka memesan lebih karena alasan ingin menghibur ibu, supaya seperti mendapatkan kepercayaan kembali bahwa di dalam hidup masihlah bisa berarti. Dengan kata lain, niat si pemesan juga seperti memberikan terapi tersendiri.

Tanpa harus bersikap seolah membusungkan dada dalam pertemuan trah  keluarga besar selanjutnya, saudara-saudara almarhum ayah dan ibu yang dulu mempergunjingkan, menyangsikan kebahagiaan ibu selama di panti jompo akhirnya cuma terdiam. Aku maupun kakakku tidak lagi menerima cerita dari masing-masing anak kami bahwa ibu dipergunjingkan. Anak-anak kami malah bilang kepada kami bahwa pergunjingan kini mengarah kepada orang lain.

***

Kini ibu telah tiada. Terhitung setelah dua setengah tahun meninggalnya ayah. Ibu meninggal di panti jompo. Aku dan kakakku hanya bisa pasrah. Bagaimanapun, semua sudah merupakan takdir.

Uniknya, di antara yang mempergunjingkan soal ibu dulu, kini ada juga yang menitipkan orang tuanya di panti jompo. Anak bulik, anak adik ibu, adalah yang menitipkan ibunya di panti jompo. Rupa-rupanya, mereka terinspirasi keputusan kami ketika menitipkan ibu di panti jompo.

“Apa mereka tidak khawatir jika dipergunjingkan dalam pertemuan keluarga besar tahunan nanti ya?” celoteh kakakku.

“Mereka tidak khawatir atau mereka memang sudah siap menjadi bahan pergunjingan?” sahutku.

“Rasanya kedua perkiraanmu tidak penting. Kenapa pula kita terjebak mempergunjingkan jauh sebelum ada pertemuan keluarga yang setahun sekali ada itu? Bukankah orang di luar diri kita sering tidak tahu kebutuhan kita dan memandang sesuai ukuran kebutuhan atau perkiraan mereka saja?”

Aku pun cuma tertawa. ***

Exit mobile version