Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknolgi informasi, telah mengubah peradaban umat manusia di dunia. Saat ini, latarbelakang warga negara, bangsa, budaya, dan agama sudah bukan menjadi penghalang bagi umat manusia untuk berinteraksi dengan yang lain. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan “kesadaran baru” bahwa kita, umat manusia, sudah menjadi “warga dunia” (world citizen). Bagaimanakah seharusnya dunia Islam menempatkan diri di tengah peradaban yang sedang berubah? Bagaimana pula sikap warga Muhammadiyah? Berikut petikan wawancara Suara Muhammadiyah dengan Prof Dr Bambang Cipto MA, Guru Besar Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), baru-baru ini.
Saat ini, latarbelakang warga negara, bangsa, budaya, dan agama sudah bukan menjadi penghalang bagi umat manusia untuk berinteraksi dengan yang lain. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan “kesadaran baru” bahwa kita, umat manusia, sudah menjadi “warga dunia” (world citizen). Menurut bapak, apakah dunia Islam sudah dapat menangkap isyarat perubahan peta geopolitik dan ekonomi dunia tersebut dan ikut berpartisipasi?
Sebenarnya sudah berpartisipasi, tapi masih dalam kondisi awal. Artinya, dunia Islam sudah dapat menangkap isyarat tersebut dan turut berpartisipasi dengan cara membangun sumber daya manusia yang tinggi, namun masih belum banyak berperan. Dunia saat ini menuntut peningkatan sumber daya manusia di segala bidang. Faktor utama kemajuan China dan India, misalnya, mereka sangat mengutamakan peningkatan sumber daya manusia. Nah, dunia Islam sendiri baru sadar akan perubahan peta geopolitik dan ekonomi tersebut sehingga masih sedikit berperan.
Apa saja langkah-langkah yang perlu diperhatikan oleh umat Islam dalam rangka membangun “kesadaran baru” tersebut?
Perubahan besar sedang terjadi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kuncinya. Dunia Islam kini baru sadar akan perubahan tersebut. Untuk dapat berpartisipasi di kancah peradaban dunia yang sedang berubah, umat Islam harus membuat strategi pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia ke depan. Kalau tidak segera membuat strategi baru, jelas umat Islam akan ketinggalan. Saat ini, China dan India paling agresif dalam usaha pengembangan sumber daya manusia. Mereka banyak mengirim mahasiswa untuk menempuh program doktoral ke negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, dan lain-lain. Belakangan, Korea Selatan juga gencar mengirim para mahasiswa ke luar negeri.
Bagaimana bentuk persoalan yang bakal dihadapi dari world citizen itu?
Persoalan yang paling fundamental adalah krisis identitas. Saat ini, orang sulit membatasi diri dengan orang lain yang berbeda latarbelakang kebangsaan, budaya, agama dan lain-lain. Dulu, sebelum berkembang teknologi informasi, untuk melakukan interaksi dengan orang lain harus berpindah tempat. Kondisi geografis masih membatasi hubungan antara seorang warga negara dengan warga negara lain. Sekarang proses komunikasi begitu mudah tanpa harus berpindah tempat. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, proses komunikasi jauh lebih mudah. Kondisi seperti ini bakal melahirkan krisis identitas. Budaya setempat akan lumer karena sudah berbaur dengan budaya lain.
Apakah konsep world citizen sejalan dengan konsep dalam Islam?
Sebenarnya sampai sejauh ini umat Islam tidak terlalu membedakan yang namanya negara. Tetapi, kondisi saat ini sudah berbeda jauh sehingga kita butuh kesadaran baru. Saat ini, semua umat manusia hidup dalam dunia global. Konsep seperti ini pun sejalan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa diciptakan manusia berbeda-beda suku bangsa supaya saling mengenal. Pengertian mengenal di sini lebih dari sekedar mengenal, tetapi mengetahui dan mempelajari suku bangsa atau budaya lain. Dengan mengenal bangsa lain, kita bisa mengerti apa tujuan mereka. Dengan mengerti budaya bangsa lain, kita tidak akan diintervensi oleh bangsa lain.
Tantangan Islam sebagai rahmatan lil alamin seringkali berbenturan dengan realitas umat Islam yang masih sulit memahami multikulturalisme. Menurut bapak, bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi tantangan multikulturalisme?
Dalam dunia tanpa batas, kita tidak bisa sembunyi sendirian. Kita harus tegak berdiri, berani bicara tentang identitas budaya dan sekaligus memahami budaya lain. Dalam dunia global seperti sekarang ini, kita harus memahami perbedaan kewarganegaraan, agama, dan budaya lain.
Sekitar 1500 silam, Islam sudah menawarkan konsep multikulturalisme. Ada ajaran supaya umat Islam mengenali bangsa lain. Namun demikian, dalam proses memahami bangsa dan budaya lain harus sesuai dengan proporsinya.
Saat ini, perubahan geopolitik dan ekonomi dunia telah menempatkan China dan India sebagai calon kekuatan adidaya baru. Menurut bapak, adakah pengaruh dari perubahan geopolitik dan ekonomi dunia terhadap dunia Islam?
Sebenarnya umat Islam sudah terpengaruh. Sejak September 2001 sudah tampak pergeseran-pergeseran peran yang dimainkan oleh kedua bangsa tersebut. Negara Iran menjadi sekutu dekat China. Padahal, Iran adalah musuh Amerika Serikat. Sekarang ini, ada hubungan ketergantungan antara China dan Iran. Ketika Amerika Serikat mengancam Iran, maka China akan membela sekutunya. China saat ini sangat tergantung dari suplai minyak milik Iran. Kondisi seperti ini tidak mudah bagi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya untuk mengancam Iran. Apalagi, China saat ini sudah menjadi kekuatan politik dan ekonomi baru dunia.
Bangsa China dan India memiliki falsafah hidup dan budaya yang sudah pasti berbeda dengan bangsa Indonesia. Apakah perubahan geopolitik dan ekonomi dunia bakal berdampak pada falsafah hidup dan eksistensi budaya bangsa Indonesia?
Saya kira tidak akan sampai mengubah falsafah hidup. Tapi yang paling mungkin adalah perubahan strategi bagi Indonesia untuk mengambil manfaat perubahan geopolitik tersebut.
Kita masih ingat kasus Sampang dimodifikasi menjadi isu Sunni-Syi’i, apakah kehadiran negara Iran yang sering direpresentasikan sebagai Syi’ah akan mudah diterima oleh umat Islam di Indonesia?
Saya kira tidak sampai kesitu. Iran itu bukan negara raksasa. Pengaruhnya di Indonesia juga terbatas. Justru Iran memiliki pengaruh yang cukup besar di negara-negara Eropa. Suplai minyak Iran lebih banyak ke Eropa.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern yang selalu peka menghadapi perubahan zaman tentunya tidak bisa tinggal diam menghadapi fenomena perubahan geopolitik dan ekonomi dunia dewasa ini. Menurut bapak, bagaimana seharusnya Muhammadiyah menyikapi fenomena ini?
Muhammadiyah saat ini harus mendukung pemerintah dalam upaya mengembangkan strategi pengembangan sumber daya manusia yang akan menjadi acuan kebijakan pemerintah. Muhammadiyah berpotensi besar dalam proses pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Peran Perguruan Tinggi Muhammadiyah turut andil dalam pengembangan sumber daya manusia yang berwawasan luas, berdaya saing tinggi, dan berkemampuan sebanding dengan bangsa-bangsa lain yang sudah maju. Di sinilah peran Muhammadiyah ditunggu-tunggu dalam rangka berpartisipasi di dunia global sekarang ini. (rif)