JAKARTA, Suara Muhammadiyah- “Kami membagikan satu ekor sapi untuk sekitar 150 kepala keluarga (KK) suku Kokoda dariKampung Warmon dan sekitar 150 KK para transmigran dari desa Makbusun, sehingga satu KK hanya mendapatkan setengah kilogram daging kurban,” kisah Muhammad Fuad Fachrudin, salah satu peserta Kuliah Kerja Nyata-Mahardika Bakti Nusantara (KKN-MBN) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Tahun lalu, Fuad bersama rekan mahasiswa lainnya melaksanakan KKN di Kampung Warmon, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Menuju ke sana, memerlukan perjalanan jalur darat selama kurang lebih dua jam, dari Kota Sorong.
Kampung Warmon, disanalah bermukim Suku Kokoda yang terdiri dari 158 KK. Kebiasaan berburu dan meramu serta ketergantungan akan hasil alam, masih melekat pada warga Suku Kokoda.
Menurut para mahasiswa, landasan ekonomi di kampung ini masih tradisional. Lahan pertanian masih terbuka, namun persoalannya warga masih sangat membutuhkan pengetahuan mengenai bercocok tanam yang benar.
Ketua Tim KKN-MBN UMY, Sukma Patriadjati menceritakan langkah awal yang dilakukan tim adalah melakukan pendampingan terhadap petani mengenai bercocok tanam. Bersama warga para mahasiswa membuat bedengan, dilanjutkan dengan pengolahan lahan yang siap untuk penanaman bibit sayur-mayur dan tanaman palawija.
Permasalahan pokok adalah air tanah di sana masih mengandung kapur. Warga harus membeli air galon dengan harga mahal atau mengambil air di sumur dengan jarak tempuh sekitar 2 km.
Mengingat tahun 2016, satu ekor sapi tak cukup untuk masyarakat Warmon, Lazismu di tahun 2017 dengan program ‘Nusantara Berkurban untuk Indonesia Berkemajuan’ disingkat NBIB, fokus mendistribusikan hewan kurban ke kawasan 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal).
Mengusung tagline ‘Sinergi Membangun Negeri untuk Pembangunan Berkelanjutan’, Program Nusantara Berkurban untuk Indonesia Berkemajuan (NBIB) ingin berkontribusi dalam aspek peningkatan pendapatan masyarakat, penyadaran perilaku hidup sehat, sekaligus mengatasi masalah gizi buruk dan ketahanan pangan di kawasan 3T, serta PAK KUMIS (kawasan padat, kumuh, dan kantong-kantong kemiskinan).
Lazismu juga menargetkan distribusi kurban ke Daerah Rawan Bencana dan Pasca Bencana, Daerah Rawan Gizi Buruk, Daerah Dakwah Da’i Pedalaman, serta Daerah serta Santri/Pesantren Terpencil.
Realita yang banyak dijumpai, pendistribusian daging kurban masih menumpuk di perkotaan dan tidak tersebar secara merata. Ada desa-desa terpencil yang tak tersentuh dan tak memperoleh hasil sembelihan daging kurban.
Melihat realita di lapangan, sinergi antarlembaga maupun komunitas dengan support masyarakat dalam melakukan penyaluran hasil kurban ke kawasan 3T sangat penting.
Direktur Utama Lazismu, Andar Nubowo mengemukakan, program kurban di kawasan 3T mensaratkan kolaborasi dan kebersamaan agar mereka yang jauh dari akses dapat merasakan kebahagiaan.
“Kendati ada kawasan lain, kawasan 3T akan memberi arti bagi pekurban dan penerima manfaat” tandasnya.
Faktor sulitnya akses menuju lokasi daerah pelosok bukanlah halangan untuk saling berbagi. Lazismu tak hanya sekadar menyalurkan hewan kurban, namun juga mengedukasi bagaimana tata cara berkurban mulai sejak merawat atau memperlakukan hewan kurban, serta tata cara penyembelihan yang sesuai syariat. (Nunung Dwi Vera)