Tanpa Jihad Sosial, Kemajuan Negeri akan Runtuh

Tanpa Jihad Sosial, Kemajuan Negeri akan Runtuh

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (MPI PWM DIY) Dr H Robby Abror MHum menjadi imam dan khatib Idul Adha di Lapangan Utara Flyover Jombor, Sleman, pada Jum’at, 1 September 2017. Dalam hutbahnya, menyampaikan tentang pentingnya membumikan nilai jihad sosial demi mencapai kemajuan bangsa. Salah satunya tercermin melalui ibadah qurban.

Robby menguraikan bahwa secara kontekstual, kota-kota besar di Indonesia yang dihuni mayoritas pemeluk agama Islam sedang mengalami kemajuan pembangunan fisik di segala bidang. “Sedangkan secara aktual, karena aksentuasinya pada nilai-nilai keislaman yang terasa kian memudar dan ini ingin dikukuhkan kembali dalam segenap langkah dan pikiran kita,” tuturnya.

“Dialog ayah dan anak, yaitu ibrahim dengan ismail diabadikan Allah swt dalam QS ash-Shaffat: 102. Sampai detik ini menjadi jejak sejarah yg dimanifestasikan dalam tradisi penyembelihan hewan kurban (udhiyah). Harmoni dan sinergi ayah dan anak tersebut sesungguhnya menjadi basis moral bagi integritas pemimpin dan rakyatnya dalam pembangunan moralitas suatu bangsa,” kata dosen Pascasarjana dan Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Menurutnya, majunya kota atau negeri sangat bergantung pada pemimpinnya dan sinergi yang baik dengan masyarakat atau rakyatnya. “Setiap pemimpin yang baik selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakatnya, dan masyarakat yang baik selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk tempat di mana mereka tinggal. Pemimpin dan masyarakat yang bersinergi dengan niat yang baik untuk saling memberikan yang terbaik pasti akan mendapatkan yang terbaik dari apa yang dicita-citakan bersama. Sebab setiap kebaikan yang dilakukan dengan cara-cara yang baik akan dirahmati dan diberkahi oleh Allah swt,” ujar Robby.

Kebaikan, ungkap Robby, dapat dibagi dua makna. Yang pertama, perbuatan dikatakan baik jika diniatkan semata-mata mencari ridha Allah swt. Jalan inilah yang akan kita tempuh. Yang kedua, kebaikan yang dilakukan demi pencitraan diri, serba pamrih, dan terkandung kepentingan pribadi bukan karena Allah swt, maka jalan ini yang harus kita tinggalkan.

“Kebaikan yang pertama, yakni yang dilakukan semata-mata mencari ridha Allah swt terkandung di dalamnya makan jihad. Melakukan kebaikan itu bukan persoalan mudah, banyak kerikil tajam, rintangan dan godaannya. Melakukan kebaikan demi Allah swt butuh pengorbanan, kadang-kadang terasa lelah, capek, dan susah. Tetapi di situlah dibutuhkan kemauan yakni tekad yang kuat dan kemampuan yang terbaik untuk melakukan perubahan (al-taghyir/change),” urainya.

Kata jihad ini dimaksudkan sebagai kebaikan atau tindakan etis yakni berani melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Masyarakat yang baik pasti menghasilkan pemimpin yang baik pula. Jika menggunakan asas demokrasi, kendatipun kata itu tidak lahir dari rahim Islam, tetap selaras dengan kata syura atau bermusyawarah dalam al-Quran. “Jadi jika terdapat lebih banyak orang yang baik pada suatu daerah, wilayah atau negeri, maka mereka akan mendapatkan pemimpin yang baik pula, seperti yang mereka harapkan. Juga demikian sebaliknya, jika terdapat lebih banyak orang yang tidak baik di suatu tempat, maka mereka juga akan mendapati pemimpin yang mewakili mayoritas itu,” katanya.

Jadi yang dibutuhkan oleh masyarakat berkembang, ujar Robby, ialah kesadaran diri akan pentingnya jihad sosial, yaitu kebaikan atau tindakan etis yakni berani melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan semangat mujtama (sosial) berdasarkan ajaran al-Quran dan sunnah Rasulillah saw. Dalam masyarakat industri, berjihad di jalan Allah tidak dimaknai dengan pedang atau berperang melawan orang-orang kafir, melainkan mengerahkan kemampuan terbaik kita untuk melakukan perubahan dengan upaya terbaik kita semata-mata ingin mendapatkan ridha dari Allah swt.

Ada dua syarat untuk jihad sosial. Pertama, dengan kesabaran. Untuk melakukan jihad sosial ini betul-betul dibutuhkan pemimpin yang tangguh dan sabar, yang mau mengarahkan dan menuntun rakyat atau masyarakatnya ke jalan Allah swt. “Bagaimana mungkin dapat menciptakan masyarakat yang berkualitas dan mencintai ilmu pengetahuan serta mampu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak ada kesabaran dan tentusaja kemauan dari para pemimpin untuk memberi petunjuk dengan perintah Allah swt,” katanya.

Kedua, dengan berhijrah. Berhijrah secara intelektual dan spiritual, yakni meninggalkan kebiasaan lama yang penuh keburukan sikap dan kebencian atas kebenaran firman-firman Allah swt menuju spiritualitas baru, yakni cara hidup, mindset, dan perbuatan yang serba Qurani, tauhid, akhlaqi, dan mengikuti semangat profetik dari Nabi Muhammad saw, karena beliau adalah model par excellence yang harus dirujuk dalam semua aspek kehidupan.

“Kita dapat saksikan contoh konkret dari berbagai negara di belahan dunia tentang perkembangan maupun penurunan ekonomi mereka. Lihatlah ekonomi Yunani yang ambruk dan berada di ambang kebangkrutannya, dan kemarahan rakyat Jerman atas keputusan pemerintahnya yang akan memberikan hutang kepada Yunani, kemudian Tiongkok yang pada Kamis, 9 Juli 2015 lalu harga saham di pasar modalnya pernah anjlok 30 persen sehingga menyebabkan perekonomian Singapura terjadi kontraksi pada kuartal kedua 2015 karena melambatnya perekonomian global, terutama menurunnya kinerja Tiongkok sebagai mitra dagangnya,” ulas Robby.

Dinamika kehidupan dunia ini, kata Robby, betul-betul seperti sandiwara. Kemajuan atau kemunduran itu dapat saja berganti dengan mudah. Kemajuan ekonomi yang tidak ditopang oleh jihad sosial dan spiritualitas kota yang kuat hanya akan menjadi seperti fatamorgana. Kelihatannya sebuah kota tampak maju, gedung-gedung pencakar langit tumbuh di mana-mana, mal-mal memenuhi sudut-sudut kota, mobil-mobil mewah ada di mana-mana, tetapi jika itu semua adanya bukan karena Allah swt, maka kemewahan dan kemajuan itu akan runtuh dan menyisakan penyesalan di kemudian hari.

Beberapa kota besar dan maju pernah ambruk. Seperti Detroit, Michigan yang dikenal sebagai “Kota motor” di Amerika Serikat pernah jaya berkat industri otomotifnya. Detroit menjadi kota terbesar di AS yang mengajukan pailit sepanjang sejarah. Jumlah utang yaitu US$ 18 miliar

Pengajuan status kepailitan pada 18 Juli 2013. Penyebab kebangkrutan di antaranya ialah defisit anggaran sejak 2008, penurunan jumlah penduduk, tingginya biaya kesehatan, lonjakan utang dana pensiun, rusaknya sebagian infrastruktur kota,  korupsi dan terlalu banyak pinjaman. Beberapa kota lainnya juga mengalami hal yang sama seperti: Jefferson County (Alabama), dan Orange County (California).

Sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, ujar Robby, Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain tentang pentingnya jihad sosial untuk spiritualitas kota sehingga tidak terperosok dalam kehidupan yang serba fatamorgana. “Dengan selalu melandasi sikap dan pikiran kita pada al-Quran dan sunnah, maka Allah swt tidak akan membiarkan kota ini hancur karena kelalaian warganya sendiri yang semakin jauh dari nilai-nilai religiusitas. Semoga mulai hari ini, kita dapat saling mengingatkan akan pentingnya jihad sosial demi perubahan yang lebih baik semata-mata demi menggapai ridha Allah swt untuk kemajuan dan peradaban kota kita yang penuh berkah dan rahmat di dalamnya,” pungkas Robby Abror. (Ribas)

Baca :

Muhammadiyah dalam Gegar Politik dan Media 

Hindari Gaya Hidup Negatif Hedonisme

Perkaderan Harus Berlandaskan Nilai Etis dan Estetis

Ketua Komisi Yudisial: Jihad Konstitusi sebagai Jalan Muhammadiyah Mewujudkan Keadilan Sosial

Exit mobile version