SINGAPURA, Suara Muhammadiyah- Dalam konteks kebangsaan, khususnya di Indonesia dengan masyarakatnya yang mayoritas Muslim, agama telah memberikan kontribusi dalam membangun kehidupan berbangsa. Hal ini disampaikan oleh Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat menjadi narasumber dalam forum private RSIS Roundtable di ruang Keypoint Kampus RSIS, Singapura pada Rabu (25/10).
“Dalam konteks historis dan sosiologis, bagi masyarakat Indonesia, agama memiliki peran dan kontribusi besar dalam bangunan kebangsaan di Indonesia,” ungkap Haedar.
Walaupun memang, pasca reformasi yang cenderung meniscayakan kebebasan, telah melahirkan corak baru keberagamaan yang sangat variatif, baik dalam bentuk ekstrem maupun sekuler. Dimana pada satu sisi mulai muncul tarikan yang kuat ke arah legaliasasi agama dalam kebangsaan, sedangkan di sisi lain muncul tarikan yang sama pada pemisahan yang kuat antara agama dan kebangsaan.
Namun menurut Haedar, Muhammadiyah mengambil posisi di tengah dengan menempatkan agama sebagai sumber nilai bagi pondasi kebangsaan. “Memang Indonesia tidak bisa dijadikan negara agama, namun bukan berarti pula Indonesia menjadi negara sekuler. Bagi Muhammadiyah Indonesia adalah negara pancasila yaitu negara yang dibangun berdasarkan perjanjian dan persaksian atau darul ahdi wasyahadah. Oleh karenanya, bagi Muhammadiyah, sebagai negara Pancasila Indonesia harus menjadi negara maju, modern dan unggul,” imbuh Haedar.
Posisi Muhammadiyah dalam konteks kebangsaan, bukanlah sekedar menempatkan dari satu pendulum ekstrem ke pendulum ekstrem lainnya. Melainkan mengambil posisi tengah yang hadir sebagai solusi. Haedar mencontohkan dengan gerakan radikalisme. Walaupun sebagai wujud perlawanan atas bentuk radikalisasi keagamaan ini muncul kebijakan deradikalisasi, namun bagi Muhammadiyah kebijakan tersebut tidaklah tepat, sebab hanya menjadi bentuk lain dari konsep ektremisme kanan ke bentuk ektremisme kiri. Maka sebagai solusi, Muhammadiyah mengadirkan konsep gerakan moderasi, yaitu cara dan jalan tengah yang bersifat aktif bukan sekedar berlawanan, namun hadir mencari solusi secara seimbang.
Dalam kegiatan yang berlangsung selama 90 menit ini, Haedar memberikan kesempatan untuk berdialog dengan para mahasiswa, peneliti, serta kandidat doktor RSIS. Dalam forum tersebut, Haedar juga menawarkan kepada mahasiswa dan peneliti RSIS untuk melakukan survei terkait dinamika politik dan keagamaan di Indonesia. Sebab menurutnya, belakangan ini, tidak jarang persoalan politik menempatkan agama sebagai bagian yang tertuduh. Sehingga, kebijakan-kebijakan negara, akhirnya berdampak pada agama itu sendiri. Padahal, agama, menurut Haedar, justru menjadi kekuatan dan sumber nilai bagi politik dan pondasi kebangsaan di Indonesia.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Bahtiar Effendy. Menurut Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah ini, dalam konteks Indonesia, sangat sulit untuk menjelaskan problem politik dan kebangsaannya secara komprehensif. Sehingga cara yang paling mudah untuk menjelaskannya adalah dengan mengkambinghitamkan agama sebagai sumber masalah politik. Bachtiar mencontohkannya dengan kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuk Tjahaja Purnama atau Ahok. Masalah Ahok selama ini dilihat sebagai masalah keagamaan. Padahal jika diuji secara mendalam, bukan semata persoalan agama saja, namun bisa dilihat sebagai problem ketidakadilan, intoleransi ekonomi, intoleransi politik yang tidak mungkin diungkap. “Karena kalau bicara ketidakadilan dan intoleransi ekonomi, tentu pelakunya adalah pemegang kebijakan negara. Oleh karenanya, melihat persoalan politik kebangsaan di Indonesia tidak bisa dilihat dengan sederhana,” tandas Bahtiar. (Red)