Islam Indonesia, Antara Cita dan Fakta

Islam Indonesia, Antara Cita dan Fakta

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Corak praktek keagamaan dan kebangsaan belakangan ini menjadi salah satu permasalahan yang dipikirkan ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Menurutnya, di tengah situasi merebaknya informasi dan media sosial, sebagian kalangan mudah terbawa arus baru yang tidak sejalan dengan karakter Islam Indonesia. Terutama anak-anak muda, Haedar menaruh kegelisahan khusus. Tak jarang, sikap seperti itu membawa pada kondisi serba hitam dan putih. Menghasilkan ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Di mata Haedar, kedua kelompok ini sama-sama patut diantisipasi. “Bangsa yang dewasa itu punya karakter dan tidak mudah terombng-ambing dengan tradisi dan arus baru,” katanya dalam satu bagian Kajian AMM DIY menyongsong Milad Muhammadiyah ke-105, bertempat di Aula Gedung PWM DIY, pada Rabu, 15 November 2017.

Dalam kegiatan yang mengusung tema “Islam Indonesia; Antara Cita dan Fakta”, Haedar memberikan petuah tentang esensi Islam sebagai agama yang membawa kemajuan dan membangun peradaban. Islam, menurut Haedar, harus dilihat secara utuh dalam kapasitasnya sebagai sumber ajaran Islam dan sekaligus sebagai suatu agama yang membentuk sejarah. Islam merupakan agama universal yang nilai-nilainya bisa berlaku di setiap ruang dan waktu.

Islam memiliki dimensi akidah, ibadah, dan muamalah. Ketiganya memiliki porsi yang seimbang. Oleh karena itu, menjadi seorang muslim pada prinsipnya merupakan menjadi manusia yang teguh dengan agamanya, dan pada saat yang sama juga menjadi manusia yang berakhlak mulia, bermanfaat bagi sesama, dan berkualitas dalam menjalani kehidupannya. “Tidak benar beraqidah itu anti kemanusiaan, anti kesemestaan,” ungkap Haedar.

Sebagai agama yang mendudukkan dunia dan akhirat secara proporsional, Islam menjadikan akhlak sebagai hal yang penting. “Akhlak itu ada dimensi pribadi, keluarga, tetangga, dan kemanusiaan universal,” katanya. Bahkan, diutusnya nabi Muhammad salah satunya bertujuan untuk meluruskan kembali dimensi akhlak dan keadaban.

Sebelum Islam datang, kondisi bangsa Arab pada abad ke-6 berada dalam kondisi tuna moral dan tidak beradab. Beragam perilaku tidak patut, mereka rutinkan. Tanpa terbatasi oleh nilai baik-buruk, benar-salah, dan patut-tidak patut, “Kehilangan keadaban sebagai umat manusia,” kata Haedar membahasakan parahnya kerusakan ketika itu.

Di tengah situasi itu, Islam sebagai ‘din al-hadlarah’ datang. Nabi Muhammad secara perlahan mulai membangun tatanan baru, menjadikan kota Madinah sebagai ‘tamaddun’ yang mencerahkan. “Dari sini Islam menyebar ke seluruh dunia dan mencerahkan peradaban,” ulasnya. Sejak saat itu, selama enam abad, Islam berjaya dan menguasai dunia.

Kejayaan Islam ketika itu, kata Haedar, sebabnya adalah karena pengembangan ilmu pengetahuan. “Watak dasar Islam itu memang maju. Ayat pertama itu iqra’! (bacalah). Bukan sembarang iqra’, tapi iqra’ yang punya nilai-nilai wahyu,” katanya. Haedar menyebut bahwa dalam al-Quran, terdapat banyak kosa-kata serupa yang memerintahkan manusia untuk bertadabbur, tafakkur, ta’alum. Bagi mereka yang tidak mau berpikir, al-Qur’an menyebutnya dengan ‘dabbah’ atau binatang melata. Sebuah sebutan yang menunjukkan derajat hina.

Aktivitas membaca, berilmu, berpikir, berkarya merupakan sebuah keniscayaan. “Manusia selain sebagai ‘abdullah (hamba Allah), juga sebagai khalifatullah. Untuk menjadi khalifatullah, butuh perangkat. Yaitu ilmu,” kata Haedar. Sebagai khalifatullah, manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi berperan untuk mengelola dan memakmurkan bumi serta menjaga kelangsungan alam semesta hingga akhir zaman.

Islam dengan segenap dimensinya yang universal ini cepat menyebar dan masuk ke berbagai penjuru dunia dengan jalan damai. Termasuk ke Indonesia. Tidak dengan jalan paksaan dan kekerasan. “Islam datang dengan damai, bukan dengan perang. Islam datang dengan cara yang kultural, bertahap, dan kemudian diterima menjadi agama mayoritas,” ujarnya. Jika disebarluaskan dengan cara dan proses kekerasan, tentu Islam akan ditolak. Spirit dakwah yang damai inilah, kata Haedar, yang harus menjadi laku para pendakwah. Al-Qur’an menyebut etika-etika berdakwah semisal mau’idhah hasanah, jadal bil ahsan, dan lainnya.

Dikarenakan masuknya Islam dengan jalan damai serta dipadukan dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang sejuk, menjadikan wajah Islam Indonesia dipenuhi aroma keramahan, moderat atau wasatiyah. Inilah karakter khas Islam Indonesia sejak awal, yang perlu diperlihara.

Seiring waktu, kata Haedar, pada abad ke-20, Islam di Indonesia bersentuhan dengan gagasan-gagasan kemajuan. Salah satunya dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Sebelumnya, Islam Indonesia hidup dengan coraknya yang moderat dan ramah, namun belum bisa memberi konstribusi luas. “Muhammadiyah ikut di sini, memberi corak baru, Islam yang maju, selain juga moderat. Ide-ide kemajuan lahir dari Muhammadiyah,” katanya.

Peranan Muhammadiyah diawali dari bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. “Kita ingin bangsa ini selain baik, tapi juga cerdas dan maju. Baik saja tidak cukup. Harus cerdas, maju dan unggul,” ungkap Haedar. Dengan modal inilah, umat Islam bisa mengulang kejayaan masa lalu. Supaya tidak sekedar meratapi kejayaan masa lalu, Muhammadiyah menggabungkan antara karakter moderat, baik, ramah dengan wajah baru berupa cerdas dan unggul. “Dengan unggul, kita mandiri, menjadi tangan di atas. Tidak menjadi tangan di bawah yang bermental peminta-minta,” tegasnya.

Dalam rangka itu, Muhammadiyah membangun pusat keunggulan guna mencerdaskan kehidupan bangsa. “Kita bangun pusat-pusat keunggulan. Sehingga Islam Indonesia menjadi Islam yang mendunia, yang gagah, yang mandiri, yang tidak galak,” ujarnya sambil menyebut bahwa belakangan Muhammadiyah mulai membangun pusat keunggulan di luar negeri, seperti sekolah di Australia, sekolah dan universitas di Malaysia, sekolah di Mesir, dan lainnya. “Umat Islam akan kalah kalau tidak punya pusat keunggulan,” kata Haedar.

Di Indonesia sendiri, Muhammadiyah juga terus hadir menjadi pelita. Belakangan, Muhammadiyah menggencarkan dakwah pemberdayaan dan pendidikan di Indonesia bagian Timur. Haedar mencontohkan pemberdayaan yang dilakukan terhadap Suku Kokoda di Papua, suku Dayak di Berau Kalimantan, di komunitas adat pedalaman Kupang, Maluku, dan lainnya. Di wilayah minoritas muslim ini, Muhammadiyah diterima dengan baik karena konstribusi yang besar serta karakternya yang terbuka. Menurut Haedar, inilah dakwah komunitas yang terus digelorakan Muhammadiyah dalam sunyi, tanpa riuh tepuk tangan.

“Muhammadiyah menyelesaikan masalah secara damai tanpa kekerasan,” tegas Haedar. Dirinya berharap, karakter khas Muhammadiyah ini senantiasa dijaga. Terutama pada angkatan muda Muhammadiyah, Haedar berharap supaya tidak mudah terbawa arus. “Agar maju, generasi baru harus punya tradisi iqra, tradisi literasi,” katanya.

Sebagai ‘khairu ummah’, kata Haedar, umat Islam harus menjadikan keseharian dan nilai-nilai luhur Islam menjadi keseharian. Hal ini sesuai dengan akhlak nabi dan para sahabat. Yang diikuti dari Nabi, kata Haedar, bukan hanya cara makan, cara pakaian, tapi nilai-nilai Islam yang diajarkan sebagai rahmatan lil alamin. Berpakaian ala Arab, menurut Haedar, belum tentu berpakaian ala Islam. Antara Arab sebagai tempat turunnya Islam tidak sama dengan Islam sebagai sebuah ajaran.

Haedar mencontohkan sikap kalangan tertentu yang bimbang dengan trend berpakaian. “Prinsip berpakaian itu menutup aurat, itu yang harus diikuti,” katanya. Haedar menjelaskan pada zaman dahulu, kondisi kawasan Arab adalah tidak aman dan tidak ramah perempuan, sehingga pantas saja jika cara menutup aurat para perempuan terkesan berlebihan untuk konteks Indonesia.

Haedar juga sempat mengingatkan tentang pentingnya menjaga rumah Indonesia. Menurutnya, bangunan kebangsaan Indonesia sebagai rumah bersama mulai menunjukkan gejala retak. Oleh karena itu, Muhammadiyah perlu untuk mengambil peran menjaga agar hal itu tidak terjadi. “Kita hidup dalam keragaman. Kita berbngsa dan bernegara dalam keragaman. Mayoritas harus mengayomi yang minoritas. Demikian juga yang minoritas. Kalau ada gangguan, jangan cepat panas,” kata Haedar.

“Organisasi kita tetap berdiri pada prinsip-prinsipnya,” ujarnya. Dikarenakan Muhammadiyah merupakan organisasi yang sudah mapan dan memiliki karakteristik tersendiri, maka tidak perlu cepat gumunan dan terbawa arus. “Jangan menjadi umat yang besar tetapi seperti buih,” tegas Haedar. Sebagai umat yang besar dari sisi kuantitas, harusnya umat Islam bisa menunjukkan kekuatan dalam hal kualitas. “Ini sangat penting,” tekannya.

Haedar juga menyatakan bahwa karakter para pimpinan Muhammadiyah itu adalah bersahaja, sederhana, gemar beramal, sedikit bicara, serta berilmu. Hal ini harus ditumbuhkan di kalangan generasi muda Muhammadiyah sebagai etos dalam menjalani kehidupan. “Ini akhlak Muhammadiyah, harus gigih. Kegigihan sebagai karakter,” katanya. (Ribas/Foto:Lady-Faisal)

Baca Juga : 

Muhammadiyah Representasikan Islam Indonesia yang Otentik 

Muhammadiyah yang Puritan Hingga Kosmopolitan

Ali Syariati dan Spirit Islam Progresif 

Haedar Nashir: Keislaman dan Keindonesiaan Menyatu Dalam Jiwa Kami Tanpa Harus Digembar-Gemborkan

Haedar Nashir: Indonesia Tempat Kita Menyemai Benih-Benih Islam

Exit mobile version