YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Muhammadiyah dan budaya kerap disalahpahami. Sebagian kalangan menganggap Muhammadiyah sebagai organisasi purifikasi yang anti terhadap segala hal yang bernuansa budaya. Namun, jika menelaah lebih jeli, Muhammadiyah sebenarnya sangat dekat dengan nilai-nilai budaya, bahkan ikut serta membentuk dan melestarikannya. Misalnya diungkap melalui penelitian Mitsuo Nakamura.
Demikian dikatakan ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara konferensi press jelang resepsi milad Muhammadiyah ke-105, Kamis (16/11). Turut hadir dalam kesempatan ini, sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto, bendahara PP Muhammadiyah Marpuji Ali, panitia milad Herry Zudianto dan Ahmad Syauqi Soeratno.
Resepsi milad Muhammadiyah pada tahun ini mengusung tema “Muhammadiyah Merekat Kebersamaan”. Kegiatan yang akan dihadiri oleh perwakilan Muhammadiyah dari seluruh propinsi ini akan mengusung konsep budaya. Ditunjukkan dengan tempat penyelenggaraan di pusat kejawen dan dress code para tamu undangan yang memakai pakaian adat, mewakili masing-masing wilayah dari seluruh Indonesia. Hal ini tentu hanya simbol.
Lebih dari itu, kata Haedar, Muhammadiyah ingin mengembalikan makna simbol-simbol kebudayaan yang dinilai semakin kering. “Nuansa budaya itu penting bagi kita, baik sebagai umat beragama maupun sebagai bagian dari masyarakat dalam berbangsa dan bernegara,” kata Haedar. Sebagai sistem kolektif, Muhammadiyah berusaha menjadikan budaya sebagai nilai yang senantiasa lestari dalam keseharian segenap elemen bangsa. “Kalau tidak hati-hati, akan terjadi erupsi kebudayaan,” ujarnya.
Belakangan, budaya kehilangan makna-makna simbolik di baliknya. Haedar mencontohkan budaya kebersamaan yang telah melekat sejak awal mula bangsa Indonesia, kini mulai menunjukkan tanda-tanda retak. “Demi meraih kepentingan-kepentingan egoistik, relasi kebersamaan menjadi tergerus. Jika tidak pandai merawat dan memaknai, akan kehilangan pijakan kebangsaan kita,” tuturnya.
“Kita mencoba memberi makna-makna terhadap kehidupan kebudayaan agar menjadi pengetahuan kolektif yang berguna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ulas Haedar. Padahal, secara normatif, bangsa ini memiliki pijakan kebersamaan yang otentik. Seperti dalam kasus Piagam Jakarta. “Demi bangsa dan negara, kita harus ikhlas menegosiasikan, demi kepentingan yang lebih luas. Jika tidak dirawat, akan terlupakan,” katanya. Demikian halnya dengan perjalanan bangsa Indonesia sampai hari ini, kata Haedar, tidak lepas dari semangat kebersamaan.
Di tengah kondisi seperti ini, Muhammadiyah menyelenggarakan resepsi milad ke-105 di Pagelaran Keraton Yogyakarta, pada Jumat malam, 17 November 2017. “Dengan milad di Keraton, kita ingin merekatkan kembali Yogyakarta sebagai pusat budaya (dengan Keraton sebagai pusat kejawen), pusat pendidikan, dan sebagai tempat lahirnya Muhammadiyah,” katanya. Selain juga, Muhammadiyah ingin menularkan energi positif, bahwa bangsa ini masih memiliki akar nilai budaya yang positif dan patut dilestarikan. (Ribas)
Baca Juga:
9 Pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah di Milad ke-108 Hijriyah