Oleh: Dr H Haedar Nashir, MSi
Soekarno: “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua” (Jakarta, Pidato Soekarno, 1 Juni 1945).
Alhamdulillah hari ini Muhammadiyah merayakan Milad ke-105/108. Milad merupakan refleksi syukur atas karunia Allah, bahwa gerakan Islam berkemajuan yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan ini tetap istiqamah berkiprah di jalan dakwah dan tajdid untuk mencerahkan umat, bangsa, dan kemamusiaan semesta.
Dengan bersyukur kita berharap Muhammadiyah meraih anugerah dan berkah yang lebih bermakna sebagaimana janji Allah: “La-in syakar-tum laajidanna-kum wa la-in kafar-tum inna ‘adabi lasyadid”, artinya “Sesungguhnya jika kamu bersyukur maka akan Kami tambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS Ibrahim: 7).
Karenanya dalam resepsi Milad malam ini kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak atas perhatian, dukungan, dan partisipasinya. Kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X secara khusus kami haturkan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas idzin penyelenggaraaan Milad di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sekaligus atas perhatian dan dukungannya selama ini terhadap Muhammadiyah, yang bagi kami sangatlah bermakna. Demikian halnya kepada para tokoh dan seluruh tamu undangan yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan Bapak-Ibu-Saudara sekalian untuk hadir dalam upacara Milad ini sebagai wujud perhatian yang seksama kepada Muhammadiyah.
Milad tahun ini PP Muhammadiyah secara khusus memberikan Awward atau Penghargaan kepada tiga tokoh. Pertama Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai representasi peran Kraton Yogyakarta yang sejak Sultan HB VII, VIII, dan IX yang secara luar biasa telah memberikan perhatian dan dukungan penuh sejak Muhammadiyah berdiri sampai saat ini. Demikian pula kepada Professor Mitsuo Nakamura sebagai antropolog yang hampir sepanjang karir akademiknya dihabiskan untuk mengkaji Muhammadiyah. Ketiga kepada Haji Roemani (almarhum) yang dengan ketulusannya menaruh kepercayaan kepada Muhammadiyah sehingga berdiri tegak RSU Muhammadiyah Roemani di Semarang. Penghargaan itu merupakan bentuk rasa syukur dan terimakasih kami, yang boleh jadi tidak seberapa dibanding kiprah dan pengkhidmatan ketiga tokoh tersebut dalam posisi dan perannya masing-masing.
Hadirin yang Kami mulyakan!
Milad Muhammadiyah tahun ini mengambil tema “Muhammadiyah Merekat Kebersamaan”. Jika dalam upacara Milad ini para pimpinan dan peserta Muhammadiyah dari Pusat dan Wilayah serta Amal Usaha memakai pakaian nasional dan daerah yang khas, semua itu wujud simbolik dari kehendak merekat kebersamaan yang indah di tengah keragaman. Menurut filsuf Perancis, Ernest Renan, bahwa di tubuh suatu bangsa terdapat ikatan batin yang dipersatuan karena memiliki persamaan sejarah dan cita-cita yang sama walaupun di dalamnya terdapat beragam suku, ras, budaya, bahasa, dan adat istiadat.
Keragaman atau kemajemukan tidak menghalangi kita Hidup bersama secara damai, toleran, dan saling memajukan. Kita menyadari dan memahami betul bahwa Indonesia lahir, tumbuh, dan berkembang sebagai bangsa yang majemuk: Bhinneka Tunggal Ika. Kami ingin Indonesia tetap utuh sebagai bangsa majemuk yang menjunjung tinggi kebersamaan sebagaimana telah menjadi denyut-nadi sejarah dan perjuangan bangsa ini dalam lintas perjalanan yang panjang.
Dalam jejak perjalanan Indonesia menjadi sebuah bangsa terdapat mozaik kenegarawanan yang indah. Bahasa Melayu dipilih sebagai Bahasa Nasional, padahal berasal dari rumpun etnik minoritas. Nama Indonesia pun dipilih sebagai nama resmi kepulauan luas ini dari sederet nama-nama Dwipantara, Swarnadwipa, Insulinda, Melayunesia, dan Nusantara. Putra-putri generasi bangsa menggelorakan Sumpah Pemuda 1928 untuk “Bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa yang satu” yakni Indonesia. Para pendiri bangsa saling berkorban demi Indonesia merdeka dan terwujudnya cita-cita Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan ber martabat. Indonesia bukan sekadar nama, tetapi sebuah identitas diri yang mengandung pergulatan sejarah, politik, ideologi, dan budaya yang penuh warna menuju cita-cita Indonesia merdeka.
Pada situasi yang kritis satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para tokoh Islam dengan sosok kunci Ki Bagus Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah saat itu) bersama tokoh Islam lainnya berkorban merelakan tujuh kata pada Piagam Jakarta dengan menyetujui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Sila pertama Pancasila sebagai titik kompromi. Sikap kenegarawananan para tokoh Islam itu menunjukkan jiwa kebersamaan bahwa golongan mayoritas mengayomi minoritas demi keutuhan Indonesia, yang oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara disebut sebagai “hadiah terbesar umat Islam” untuk Indonesia.
Semua arus pergumulan sejarah yang panjang dan dinamis itu hadir untuk pembentukan Indonesia sebagai milik bersama sebagaimana disuarakan oleh Bung Karno ketika Pidato 1 Juni 1945, bahwa: “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”. Itulah mozaik kebersamaan yang diletakkan dengan ikhlas dan indah oleh para pejuang dan pendiri bangsa secara autentik.
Hadirin yang kami hormati!
Akhir-akhir ini menguat isu tentang intoleransi dan radikalisme yang menurut beberapa pihak meningkat dari tahun ke tahun. Berkembang juga isu seputar gerakan anti-Pancasila, anti-Kebhinekaan, anti-NKRI, polarisasi yang membelah bangsa, dan bentuk ancaman lain terhadap ke-Indonesia-an. Isu tentang intoleransi, radikalisme, dan terorisme secara khusus sampai batas tertentu dikaitkan dengan agama khususnya umat Islam.
Beragam isu yang negatif itu secara faktual terjadi di tubuh bangsa ini, yang tidak kita kehendaki terjadi di negeri ini. Kita tidak montoleransi segala bentuk tindakan yang mengancam kehidupan kebangsaan. Indonesia harus terjaga dari segala bentuk disintegrasi yang merusak kebersamaan dan sendi kehidupan kebangsaan karena hal itu mengancam eksistensi dan masa depan negeri tercinta ini.
Namun perlu juga dicermati dengan seksama. Bahwa intoleransi, radikalisme, dan segala bentuk ancaman terhadap ke-Indonesia-an seyogyanya dicandra secara objektif dan komprehensif agar tidak bersifat parsial, tendensius, dan salah pandang. Perlu rekonstruksi konsep, pemikiran, dan parameter yang dapat didialogkan dan dirumuskan secara kolektif tentang fenomena intoleransi, radikalisme, dan segala bentuk anti-ke-Indonesia-an agar terhindar dari tendensi yang sepihak, hitam-putih, dan hanya ditujukan pada satu aspek dan golongan.
Kita menyadari betapa kompleksnya hidup dalam suatu bangsa yang bhineka dan mengelola kebhinekaan. Masyarakat majemuk (plural society) memiliki sifat non-komplementer, satu sama lain pada dasarnya sulit bersatu, ibarat air dan minyak yang tidak bersenyawa. Ketika bangsa Indonesia yang bhineka itu bersatu, menurut para ahli hal itu karena ada nilai perekat yang disepakati bersama, yakni Pancasila. Manakala nilai perekat itu longgar dan tidak menjadi rujukan yang aktual maka luruhlah kebersamaan, sehingga sekarang Pancasila ditransformasikan kembali untuk menjadi dasar filosofis berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks Indonesia, menurut antropolog Prof Koentjaraningrat, pada pembentukan integrarsi nasional umat Islam selaku mayoritas memiliki peran dalam integrasi sosial di tubuh bangsa ini. Karena itu sesungguhnya agama dapat menjadi kekuatan kohesi nasional, di samping boleh jadi karena bias pemahaman dan perilaku sebagian pemeluknya sampai batas tertentu sentimen keagamaan dapat menjadi faktor konflik. Tetapi faktor lain pun seperti politik, ekonomi, etnik, dan kedaerahan di tangan orang-orangnya yang memiliki bias-paham dan bias-perilaku dapat pula menjadi faktor disintegrasi sosial, di samping menjadi kekuatan yang menyatukan.
Sementara itu sebagai konsekuensi dari reformasi dan pilihan demokratisasi yang serbaterbuka di tengah arus deras kekuatan asing dan globalisasi yang masuk ke seluruh ranah kehidupan kebangsaan, kini terjadi proses liberalisasi kehidupan politik, ekonomi, dan budaya yang membawa dampak sangat kompleks dalam kehidupan kebangsaan. Proses liberalisasi ini meluruhkan nilai keindonesiaan yang berbasis pada agama, Pancasila, dan kebudayaan yang hidup di tubuh bangsa ini. Orientasi hidup yang egoistik, hedonis, materialistis, transaksional, rakus, dan oportunistik telah mengoyak kebersamaan dan sendi-sendi kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan.
Rusaknya kebersamaan juga dapat terjadi karena kesenjangan ekonomi yang semakin ekstrim. Jika satu persen orang Indonesia dibiarkan tetap menguasai 55 proses kekayaan nasional, maka selain merusak kebersamaan tetapi lebih jauh akan menjadi api dalam sekam yang dapat bermuara pada disintegrasi nasional yang masif. Negata harus berani menegakkan keadilan sosial untuk mengatasi kesenjangan sosial ini. Jangan biarkan segelintir orang dengan tangan raksasa, kerakusan, kekuatan uang, dan pengaruhnya di struktur kekuasaan menguasai Indonesia baik terbuka maupun terselubung jika negeri ini ingin mewujudkan Pancasila dan cita-cita nasional dalam kebersamaan.
Kesenjangan sosial dan keserakahan sekelompok kecil pihak sama gawatnya dengan radikalisme dan terorisme serta ancaman ideologis lainnya, malah mungkin lebih berbahanya. Pemerintah dan kekuatan politik pun perlu makin waspada akan segala ancaman yang berjangka panjang ini. Kaum beriman tentu ingat akan peringatan Allah SWT, bahwa kerusakan di muka bumi terjadi karena ulah-tangan manusia, serta hancurnya suatu negeri karena ada sosok-sosok “al-mutrafun” yang selalu berbuat anarki, rakus, dan wewenang-wenang.
Karenanya diperlukan ikhtiar semua pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan ini secara jernih, objektif, dan komprehensif dengan meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Membangun kebersamaan dalam masyarakat majemuk dan sarat masalah krusial seperti diuraikan itu sungguh merupakan jalan terjal sekaligus mulia yang memerlukan keberanian dan jihad para pemimpin negeri yang bebas dari kepentingan dan segala bentuk penyanderaan diri. “Sebuah negara terbentuk bukan semata karena kekuasaan, tetapi bersatunya secara integral seluruh kekuatan masyarakat dalam entitas bangsa”, ujar filsuf ternama Spinoza. Karena itu semua pihak, baik pemerintah dan kekuatan politik maupun seluruh komponen bangsa dituntut komitmennya yang kuat untuk merekatkan kebersamaan ketika terdapat retak di tubuh bangsa ini.
Para tamu undangan dan hadirin yang kami mulyakan
Keindonesiaan yang berjiwa kebersemaaan merupakan sesuatu yang luhur dan bercita-cita. Bung Hatta berkata: “Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita, yakni hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun rohani”. Mohammad Hatta menarik keindonesiaan pada cita-cita dan perwujudannya dalam dunia nyata. Manakala ada segolongan kecil yang bahagia dan berkemakmuran, sementara mayoritas nestapa maka kondisi timpang ini harus diluruskan dan dipecahkan secara kolektif. Negara atau pemerintah wajib hadir dan tidak boleh abai atas disparitas nasional ini.
Keberadaan bangsa dan negara tidak cukup memadai hanya bermodalkan idiom-idiom verbal tentang keindonesiaan seperti NKRI harga mati, pro-Pancasila, UUD 1945, dan kebhinekaan yang cenderung formalistik dan simbolik. Berindonesia meniscayakan jiwa, pikiran, dan pola tindak yang nyata dengan membuktikan bahwa kata sejalan tindakan. Di dalamnya terdapat keteladanan dan jiwa kenegarawanan dari seluruh élite negeri dan tokoh bangsa, serta dukungan rakyat dengan aura cinta dan persaudaraan.
Jika semua merasa memiliki Indonesia maka belajarlah hidup dalam kebersamaan yang otentik dan tidak egoistik. Perlu saling membangun keadaban luhur dalam berbangsa dan bernegara. Mereka yang besar jangan menguasai, yang kecil pun tidak anarki. Semua harus saling berbagi, saling memahami, serta menjamin hak hidup yang damai dan saling memajukan dengan jiwa tulus tanpa pura-pura. Jangan sampai sekelompok kecil karena kuasa uang dan akses malah menyandera Indonesia dengan hasrat angkara. “Mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati dan menghargai mayoritas”, tutur Presiden Joko Widodo.
Khusus bagi umat Islam dan anggota Muhammadiyah, dalam merekat kebersamaan tentu menjadi penting adanya penguatan integrasi keislaman dan keindonesiaan secara terus menerus di tengah kemajemukan bangsa yang sarat dinamika. Umat Islam harus menjadi kekuatan pemersatu yang mengayomi, memoderasi, dan menguatkan kebersamaan seluruh warga bangsa. Ketika ada retak sesama anak bangsa harus menjadi golongan yang mendamaikan dan memberi solusi. Jangan sampai kita bicara indah tentang ukhuwah kebangsaan, tetapi hasrat ananiyah-hizbiyah jauh lebih besar ketimbang pengorbanan untuk hajat hidup bangsa secara keseluruhan karena yang dipikirkan hanya kepentingan golongan sendiri.
Bagi warga dan keluarga besar Muhammadiyah kita belajar pada jiwa kenegarawanan para tokoh Muhammadiyah sejak Kyai Dahlan hingga generasi sesudahnya dalam memupuk kebersamaan dan cinta bangsa.
Tatkala Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh Islam lainnya, menyampaikan gagasan keislaman dan kebangsaan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ini dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah “seorang bangsa Indonesia tulen” dan “sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka”. Sementara Seokarno bersikap sama ketika menyampaikan Pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila, bahwa di dalam dadanya yang nasionalis, tersimpan jiwa Islam. Dengan spirit kebangsaan yang menyatu dengan keislaman yang mendalam sebagaiman dicontohkan dua tokoh bangsa itulah Muhammadiyah berkomitmen kuat untuk tetap dan terus berkiprah merekat kebersamaan melalui berbagai karya-nyata berkeunggulan, bukan dengan retorika dan keindahan kata-kata. Sebuah kebersamaan yang berbingkai Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wasyahadah menuju Indonesia Berkemajuan. Semoga Allah SWT melimpahkan karunia dan berkah-Nya. Nashrun min Allah wa Fathun qarib!