YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kabar duka menghampiri keluarga besar Muhammadiyah dan DPD RI. Salah seorang tokoh bangsa, Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa meninggal di rumah sakit MMC Jakarta sekitar pukul 06.17 WIB pada usia 78 tahun. Rencananya, AM Fatwa akan dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata, Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan rasa duka cita dan kehilangannya atas meninggalnya AM Fatwa. Haedar menilai jasa-jasa AM Fatwa sangat besar sebagai tokoh nasional dan bagi Muhammadiyah sendiri. “Beliau merupakan tokoh pejuang yang gigih dan melintas generasi,” ujar Haedar.
Dalam ingatan Haedar, AM Fatwa pernah dijebloskan ke dalam penjara oleh pemerintah orde baru, namun AM Fatwa yang pernah merasakan penderitaan di balik jeruji besi tidak pernah mendendam hingga lengsernya Presiden RI, Soeharto. “Hingga setelah Pak Harto jatuh, beliau juga tidak mencaci dan membenci,” katanya.
Menurut Haedar, AM Fatwa mewarisi sifat politik Masyumi yang kuat dengan warna keislamannya tetapi luwes dalam bergaul dengan lawan politik. Muhammadiyah, kata Haedar, belajar spirit kenegarawanan dan kedewasaan berpolitik dari AM Fatwa. “Pak Fatwa dekat dengan angkatan muda dan bergaul dengan siapa saja. Dalam perjuangan umat Islam beliau dikenal tegas dan kadang keras, tetapi fleksibel dan pandai berakomodasi atau bernegosiasi jika hal itu menyangkut strategi dan tidak keluar dari prinsip,” ulasnya.
Di Muhammadiyah, ungkap Haedar, AM Fatwa sangat kental, hingga gigih sampai akhir hayatnya dalam memperjuangkan Pak Kasman, Pak Kahar Muzakkir, dan Ki Bagus Hadikusumo untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. “Itu menjadi utang kami di PP Muhammadiyah untuk melanjutkan (perjuangan) nya,” ujarnya.
Sementara itu, di mata ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, AM Fatwa merupakan sosok yang mewarisi perjuangan Guru Bangsa Hos Cokroaminoto. “Duka yang teramat sangat dalam ketika mendengar meninggalnya, Ayahanda kami AM Fatwa, aktivis Muhammadiyah, politisi Islam yang merawat jiwa kenegarawanan yang tinggi,” ujarnya.
“Bagi kami anak muda Muhammadiyah, Pak Fatwa mewarisi jiwa politisi dan aktivis Islam HOS Cokroaminoto, sosok yang Tauhidnya Murni, Tinggi ilmunya, apik siasat politiknya. Mirip pesan HOS Cokroaminoto, ‘Semurni-murninya Tauhid, Setinggi-tingginya Ilmu Pengetahuan, sepintar-pintarnya siasat,” tutur Dahnil.
Ketika Rezim Pak Harto berkuasa, kata Dahnil, Pak Fatwa adalah sosok yang paling berani melawan, bahkan dipenjarakan Pak Harto. Namun, dengan lapang dada ketika Pak Harto lengser, beliau adalah sosok yang dengan besar hati mendatangi Pak Harto, tidak ada dendam sama sekali. “Beliau negarawan sejati,” katanya.
“Semangat beliau sebagai aktivis Islam juga tetap menggelora, hampir setiap bulan warga Muhamamdiyah di DKI Jakarta mudah menemui beliau bila ada Pengajian Umum di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng 62 Jakarta Pusat, kita pasti menemui beliau duduk bersama jamaah lain mendengarkan pengajian, beliau jarang absen. Pun, demikian hubungan beliau dengan kami aktivis muda Muhamamdiyah, beliau selalu mengingatkan pentingnya menjaga integritas namun harus tetap pintar siasatnya,” kenang Dahnil.
Dahnil melanjutkan kekagumannya pada sosok ini, “Beliau pernah bercerita, bila jaman now ini ada orang yang pura-pura sakit karena takut disidang dan diperiksa karena kasus korupsi, jaman orde baru, beliau dipaksa ke pengadilan dengan berbagai tuduhan melawan orde baru,” ujarnya. Meski sakit dan apalagi jika berpura-pura, akan tetap dipaksa. “Jadi siasat itu untuk kebaikan melawan rezim bukan karena korupsi. Kalau sekarang koruptor yang bersiasat menghindari pengadilan,” tambah Dahnil menceritakan perbincangannya dengan almarhum AM Fatwa. (Ribas)