Oleh Imam Shamsi Ali*
Sekali lagi masalah Palestina, khususnya kota Al-Quds (Jerusalem) sangat kompleks dan tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Masalah yang harusnya tidak dilihat dengan kacamata tunggal. Isunya bukan sekedar isu tunggal, sehingga selesai dengan penyelesaian tunggal. Tapi memerlukan multi dimensi pendekatan (multi dimensional approaches).
Konflik Palestina-Israel mencakup isu geografis, politik, sosial, ekonomi, kemanusiaan dan juga sentimen agama. Sehingga hanya orang yang berpikiran kurang stabil yang ingin menyelesaikannya dengan penyelesaian politik dalam bentuk konferensi pers 10 menitan. Kebijakan seperti itu sangat berbahaya (reckless) tidak saja terhadap Timur Tengah. Tapi justeru menjadi ancaman terhadap perdamaian dunia.
Perspektif Muslim Amerika
Masyarakat Muslim Amerika melihat permasalahan Palestina dalam beberapa perspektif. Sebagai manusia, permasalahan Palestina adalah permasalahan kemanusiaan (humanitarian issue). Sebagai Muslim, isu ini adalah isu Islam (an Islamic issue). Tapi sebagai warga Amerika, isu ini juga menjadi isu Amerika (an American issue).
Pertama, masalah Palestina sejatinya tidak pas untuk diistilahkan dengan kata konflik. Konflik itu terjadi ketika ada dua pihak seimbang yang mengalami bentrokan (clash). Dalam masalah Palestina Israel bukan dua pihak yang bentrok sejatinya. Tapi satu pihak (Israel) melakukan penjajahan kepada pihak yang lain (Palestina). Oleh karenanya istilah konflik sesungguhnya kurang pada tempatnya untuk dipopulerkan.
Tapi bukan hal ini yang ingin saya bahas. Justeru masalah sesungguhnya yang ingin saya tekankan di sini bahwa isu Palestina dan Israel adalah juga isu kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan universal mengajarkan bahwa salah satu hak asasi yang paling mendasar bagi semua manusia adalah kemerdekaan (right to freedom). Dan karenanya sebelum Palestina memerdekan diri dari penjajahan Israel maka isu HAM mendasar ini harus menjadi acuan dalam berbagai permbahasan.
Sungguh sangat aneh ketika dunia sibuk membahas kekerasan-kekerasan yang terjadi, membahas isu-isu sampingan, termasuk bagaimana negara-negara Islam mengakui negara Israel. Tapi isu yang paling mendasar, yaitu hak asasi bangsa Palestina untuk merdeka terabaikan secara sistimatis.
Oleh karenanya sangat sukar untuk menemukan penyelesaian dalam berbagai masalah yang ada di antara kedua negara dan bangsa ini, selama Palestina masih terjajah. Dengan kata lain, kunci penyelesaian konflik ini adalah kemerdekaan negara Palestina. Dan ini adalah isu kemanusiaan yang universal. Persis ketika UUD 45 mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan oleh karenanya penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan.
Kedua, masalah Palestina adalah masalah keagamaan. Singkatnya semua individu Muslim, jika memang punya iman di dadanya akan merasakan masalah ini sebagai masalahnya. Saya bukan orang Arab, apalagi Palestina. Tapi masalah Palestina terasa menghunjam ke dalam sanubari hati saya. Karena itu adalah ikatan iman.
Al-Quds adalah kota nabi-nabi. Dari Ibrahim, ke Ismail (tempat kelahiran), Ishak, Ya’qub, hingga ke Daud, Sulaeman, bahkan Isa alaihimu Sholawatullah semuanya. Oleh karena hubungan kita dengan para nabi itu bukan hubungan ras dan kesukuan, juga bukan darah dan kebangsaan, maka satu-satunya hal yang mengikat kita dengan mereka adalah ikatan iman. Di sinilah dasarnya bagi umat Islam bahwa isu Jerusalem adalah isu iman.
Jerusalem juga adalah destinasi Isra Rasulullah SAW. Perjalanan yang jauh dari Mekah ke Jerusalem malam itu bukan tanpa makna. Selain bermaksud menunjukkan universalitas Islam, dengan dipertemukannya Rasulullah SAW dengan semua nabi dan rasul, juga karena Allah ingin menyampaikan bahwa Mekah dan Al-Quds adalah dua kota yang tidak terpisahkan secara iman.
Hal ini yang kemudian disimpulkan oleh Rasulullah SAW bahwa “tidak ada perjalanan yang sengaja (disunnahkan) kecuali kepada tiga masjid. Masjidil haram, masjid Nabawi, dan masjid al-Aqsa” (hadits).
Ketiga, masalah Palestina juga dalam perspektif Muslim Amerika adalah an America issue (issu Amerika). Kenapa hal ini dikategorikan isu Amerika? Karena isu ini menyangkut nilai-nilai yang diakui dan dijunjung tinggi oleh Amerika.
Penjajahan adalaj perampokan HAM yang jahat. Penjajahan adalah bentuk kezaliman yang nyata. Penjajahan adalah pelecehan nyata kepada kesetaraan, dan bentuk rasisme yang tertinggi. Penjajahan sesungguhnya adalah bentuk perampokan hak dasar kemanusiaan bahkan perbudakan itu sendiri.
Semua hal itu adalah antitesis dari nilai-nilai yang diakui dan dijunjung tinggi Amerika. Kerap kali kita dengarkan jika Amerika adalah champion of democracy (pahlawan demokrasi). Bahwa Amerika adalah negara yang mengaku berada di garda terdepan membela kebebasan (freedom) dan keadilan untuk semua (justice for all).
Oleh karenanya warga Amerika Muslim yang merupakan bagian integral dari bangsa dan negara ini sangat terusik dengan masalah Palestina. Kira-kira mirip dengan keterusikan masyarakat Indonesia yang memiliki UUD yang anti penjajahan. Umat Islam Amerika juga terusik sebagai bangsa Amerika karena penjajahan yang masih berlangsung di bumi Palestina.
Pengakuan itu pengkhianatan
Pada sisi yang lain, keputusan Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel adalah pengkhianatan yang berlipat-lipat.
Tentu pengkhiatan pertama adalah pengkhianatan kepada nilai-nilai dan Konstitusi Amerika yang menjunjung tinggi keadilan universal. Bagaimana mungkin adil jika pengakuan itu tidak mempertimbangkan kedua pihak yang (anggaplah memakai kata) bertikai. Palestina tidak dikonsultasi sama sekali. Palestina seolah dilempar ke tempat sampah untuk memuluskan jalan bagi Israel.
Pengkhianatan kedua adalah bahwa sebelum Donald Trump terpilih dalam peristiwa kecelekaan demokasi Amerika, telah banyak presiden Amerika sebelumnya yang berusaha dengan sungguh-sungguh memediasi perdamaian Palestina dan Israel. Kesepakatan demi kesepakatan telah ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bertikai. Tapi tak seorangpun di antara presumiden itu yang pernah mencoba secara sepihak mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Maka ini adalah pengkhiatan nyata kepada para pendahulunya.
Pengkhiatan lain adalah pengkhiatan kepada hukum internasional dan berbagai resolusi PBB, khususnya resolusi DK-PBB. Donald Trump menampakkan keangkuhan, seolah Amerika tidak perlu negara lain. Tidak perlu mempedulikan negara-negara dunia lainnya. Maka Donald Trump bisa memutuskan tanpa pertimbangan negara lain, lewat mekanisme yang ada termasuk PBB.
Mungkin pengkhianatan terbesar dan paling berbahaya adalah pengkhianatan kepada perdamaian dunia (world peace) itu sendiri. Kita tahu dan sering dengarkan bahwa isu Palestina Israel menjadi minimal “inspirasi” bagi banyak konflik di dunia. Oleh karenanya kecerobohan dalam menyikapi konflik ini ibarat menumpahkan minyak ke dalam kobaran api yang telah lama membara. Bukan penyelesaian dan perdamaian yang akan terjadi. Tapi kemarahan dan konflik di berbagai kalangan dunia akan semakin menjadi-jadi.
Akhirnya, sering kita dengar pertanyaan di berbagai media barat: “why they hate us?”. Banyak di kalangan dunia barat, dan Amerika bertanya-tanya kenapa banyak orang di dunia Islam memusuhi? Pertanyaan ini kini mendapat jawaban nyata. Kebencian dan permusuhan itu disebabkan oleh ketidak adilan dan kesemena-menaan terhadap umat Islam.
Amerika sejak menduduki Irak, hingga ke peristiwa Libia dan berbagai masalah di Timur Tengah dan dunia Islam telah memperburuk wajahnya di dunia Islam. Barack Obama telah berusaha melakukan “healing” (perbaikan) dengan membangun komunikasi yang baik dengan semua pihak. Tapi dengan sikap Donald Trump imej yang terbangun baik itu kini kembali hancur berantakan. Bukankah itu pengkhianatan yang nyata?
Tapi maukah Donald Trump mengakui? Saya bukan saja ragu. Tapi saya yakin tidak akan karena semua juga tahu siapa yang keras kepala!
New York, 15 Desember 2017
* Presiden Nusantara Foundation