(Dari Anak Tukang Bakso hingga Anak Diplomat dan Menteri)
Oleh: Pradana Boy ZTF*
Tiga puluh lima anak-anak dan remaja berusia antara 8 sampai 15 tahun duduk melingkar di sebuah aula kecil di lantai dua sebuah kompleks yang berdiri di atas tanah sekitar tiga ribu meter. Di salah satu sisi aula itu, sebuah layar berukuran sedang, tengah menampilkan serangkaian adegan film kartun. Seluruh pandangan mata tertuju pada film tersebut. Sekira lima belas menit kemudian, film itu berakhir. Seorang guru perempuan lalu berdiri ke tengah, seperti membuka kebisuan suasana, ia menyapa anak-anak yang masih terpaku dan sebagian menghela nafas menyaksikan kisah di layar tadi.
“Anak-anak, kisah apakah yang baru kita saksikan tadi?” sapa sang guru.
“Kisah Nabi Yunus,” jawab anak-anak itu serempak.
“Betul sekali. Lalu, apakah ada yang tahu bahwa kisah ini telah disebutkan di dalam Kitab Suci al-Qur’an?” tanya sang guru.
Seperti dikomando, anak-anak menjawab serempak, “Belum…”
“Kisah Nabi Yunus sebenarnya ada di dalam al-Qur’an, tepatnya dalam Surah al-Shaffat ayat 139 sampai 148,” demikian sang guru menjelaskan.
Seperti heran, hampir semua kepala mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, sang guru membacakan satu persatu ayat yang dimaksud. Anak-anak mengikuti. Sekejap kemudian, sang guru menuntun anak-anak memahami arti ayat melalui sejumlah kata kunci pada masing-masing ayat yang dibacakan. Di saat yang lain, sang guru menyanyikan lagu-lagu pendek yang tersusun dari makna kata-kata kunci pada ayat-ayat tertentu. Tak hanya menyanyi, ia kadang melompat, tak jarang diiringi dengan bertepuk tangan. Begitulah sekilas cara kerja metode menghafal al-Qur’an dengan pendekatan tema-tema tertentu yang disebut dengan “Tahfizh Qur’an Tematik.” Metode ini kini dikenal luas dengan nama TQT. Sang guru yang digambarkan di atas, tidak lain adalah Lailatul Fithriyah Azzakiyah, penggagas metode TQT ini.
Sekilas, kelas ini tidak terkesan sebagai kelas menghafal al-Qur’an, karena terlihat berbeda dengan metode menghafal Qur’an pada umumnya. Namun, perbedaan itu tidak hanya pada aspek metode, tetapi juga orientasi. Jika kelas-kelas tahfizh pada umumnya hanya berorientasi pada jumlah hafalan, metode TQT juga memberikan penekanan pada aspek pemahaman. Karena itulah, metode ini mengusung jargon “Hafal dan Faham.”
Begitulah suasana yang terlihat setiap pagi, siang, sore dan malam, selama sembilan hari pada penghujung tahun 2017. Puluhan anak tadi dikirim oleh orangtua mereka untuk mengisi liburan dengan menghafal al-Qur’an. Kegiatan menghafal ini sendiri bernama Boarding School yang merupakan singkatan dari Short Course in Holiday for Overseas Learners. Tahun 2017 adalah tahun kedua. Disebut demikian, karena pada tahun pertama kegiatan ini dilaksanakan, terdapat peserta dari luar negeri, yaitu Singapore dan Korea. Sementara disebut boarding, karena semua peserta wajib menginap selama program berlangsung.
Yayasan Bait al-Hikmah Malang yang menyelenggarakan kegiatan ini merupakan organisasi sosial yang bergerak di bidang pelayanan sosial, terutama literasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat terpinggirkan. Lailatul Fithriyah Azzakiyah yang akrab dipanggil Ella atau Laila ini mengembangkan metode menghafalnya tadi di bawah naungan Yayasan Bait al-Hikmah Malang, Jawa Timur.
Setelah berjalan kurang lebih tiga tahun, metode ini mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat luas. Buktinya, setelah mengembangkan metode ini, Laila kerap mendapatkan undangan dari berbagai daerah seperti Salatiga, Lamongan, Gresik, Pasuruan, Surabaya, Batu, berbagai lembaga pendidikan di Malang dan sekitarnya, bahkan hingga Palangka Raya, untuk mempresentasikan temuannya ini. Belum lagi permintaan untuk membuka cabang TQT di berbagai daerah yang belakangan ini semakin ramai. Meskipun metode ini tergolong efektif dan banyak peminat, Laila dan yayasan di mana ia bernaung sama sekali tidak tergoda untuk melakukan komersialisasi. “Ada banyak teman yang berkomentar, Mbak metode ini keren lho, laku dijual mahal. Kenapa gak dijual saja?”
Penuturan Laila ini tidak berlebihan. Kesan “keren” ini juga pernah dilontarkan Muhadjir Effendy, yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Anak sulung Muhadjir, Muktam Royya Azidan, yang akrab dipanggil Zidan, pernah mengikuti program ini, sebelum hijrah ke Jakarta mengikuti ayahnya yang mengemban tugas negara. “Semula saya ragu, apakah metode ini benar-benar berjalan. Tetapi saya tes anak saya berkali-kali, ternyata dia memang hafal dan memahami kandungan ayat yang dihafal. Berarti metode ini memang bagus,” aku Muhadjir.
Namun Laila bergeming. Meskipun program tahfizh Qur’an sedang booming di mana-mana dan aneka ragam program tahfizh mematok biaya tinggi, Laila tak hendak tergoda dengan kenyataan itu. Ia punya alasan. “Jika semua program pembelajaran agama, termasuk tahfizh Qur’an, berbiaya mahal, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai?” Di samping itu, Laila juga mengakui bahwa di tengah arus gempuran komersialisasi pembelajaran agama yang berpotensi memecah masyarakat berdasarkan kelas sosialnya, menghadirkan pendidikan inklusif yang mampu membaurkan berbagai kelompok masyarakat menjadi suatu keharusan. Karena missi inilah, Yayasan Bait al-Hikmah berdiri.
Maka, dalam setiap kegiatan yang digelar, kesan Yayasan Bait al-Hikmah sebagai penyelenggara kegiatan pendidikan inklusif ini memang tidak bisa dipungkiri. Misalnya, untuk program menghafal al-Qur’an dengan metode TQT ini dibuka dua kategori, yaitu kelas reguler pada tiap hari Senin dan Jum’at; dan kelas liburan yang biasanya dilaksanakan pada akhir tahun dan bulan Ramadhan. Satu hal yang menarik adalah pembelajaran TQT untuk kategori reguler sama sekali tidak berbiaya. Sementara untuk program liburan, karena Yayasan belum memiliki kemampuan finansial untuk menggratiskan biaya program, maka para peserta dikenakan biaya program pesantren kilat itu. “Itupun untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan para peserta sendiri, seperti penginapan, makan, binatu dan perlengkapan program,” terang Laila yang merupakan alumnus Pondok Pesantren Wali Songo, Ngabar, Ponorogo ini.
Untuk program selama 9 hari, Yayasan Bait al-Hikmah hanya mengenakan biaya Rp. 850.000. “Sebenarnya kami tak sampai hati mengenakan angka ini kepada peserta, tetapi memang secara riil, sejumlah itulah kebutuhan peserta,” demikian kata Laila. Bahkan, program yang sama dengan durasi yang sama pada tahun 2016 hanya mengutip Rp. 500.000 dari peserta. Ini karena pada tahun lalu, tempat tinggal peserta tidak lain adalah di lantai dua rumah Laila. “Tapi, karena jumlah peserta semakin meningkat, rumah saya tak lagi mampu menampung. Pilihannya adakah kami menyewa tempat pelatihan, karena itulah biaya program menjadi lebih tinggi dari tahun lalu,” tambah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Menariknya, jika Laila terkesan resah karena lembaganya mengutip bayaran untuk para peserta program yang diselenggarakan, orangtua peserta justru merasa biaya itu sangat murah. Abelian Pradnya Yodha, seorang diplomat Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, yang anaknya menjadi bagian dari program itu, menyebut biaya itu sangat murah. “Di tempat lain, untuk program yang lebih singkat dari ini, biayanya mencapai jutaan rupiah,” kata Abel memberikan kesaksian. Melihat profil pekerjaannya, sebenarnya sangat wajar Abel menyebut biaya itu sangat murah. Terlebih ketika ia secara langsung menyaksikan anaknya mampu menghafalkan dan menuturkan makna ayat-al-Qur’an dengan lancar di panggung di hari terakhir program, Abel merasa biaya yang ia keluarkan benar-benar sangat murah. Tetapi rupanya, para peserta tak hanya berasal dari kalangan kelas menengah ke atas seperti Abel yang diplomat itu. Program itu diikuti pula oleh anak penjual bakso keliling. Seperti Abel yang diplomat, Budi, sang penjual bakso, pun tak merasa besaran biaya itu memberatkan. “Sangat terjangkau,” nilai Budi.
Meskipun tak berorientasi pada keuntungan, persoalan ini sama sekali bukan halangan. Beruntung, Yayasan Bait al-Hikmah didukung oleh anak-anak muda aktivis yang berdedikasi tinggi. Meskipun tidak memperoleh upah finansial, mereka bekerja dalam totalitas. Terlebih dengan semakin luasnya kalangan masyarakat yang mengenal metode TQT ini, maka sedikit demi sedikit ada pihak-pihak, baik individu maupun organisasi, yang memercayakan pengelolaan dana untuk kepentingan pendidikan inklusif ini.
“Dengan model seperti ini, masyarakat yang secara ekonomi lemah tetap memiliki peluang untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Sementara mereka yang merasa biaya pendidikan di tempat kami murah, bisa membayar lebih dengan niat sebagai sedekah. Ini sekaligus sebagai usaha menumbuhkan rasa kepekaan sosial dan dorongan berderma yang lebih otentik,” pungkas Laila.***
Malang, 5 Januari 2018
*Penulis adalah Ketua Yayasan Bait al-Hikmah Malang