YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Guna meneguhkan paham ke-Islaman dan ke-Muhammadiyahan serta meluaskan wawasan pengetahuan bagi seluruh guru, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan Refreshing Ideologi. Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari, Kamis-Jumat, 11-12 Januari 2018 bertempat di Hall Center madrasah. Acara diikuti oleh 84 orang guru atau ustaz.
Dalam sambutan pembukaan, Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, H Aly Aulia Lc MHum menyatakan bahwa acara ini relatif penting dan strategis dalam upaya untuk memperluas dan memperdalam pemahaman semua guru, terhadap ruh gerakan Muhammadiyah. Selain juga untuk lebih menghayati serta mengamalkan nilai-nilai ke-Islaman dan mengaplikasikannya sebagai live style atau gaya hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Selama dua hari, para guru mendapatkan pencerahan dan penyegaran ideologi dari enam pemateri yang merupakan para intelektual dan tokoh Muhammadiyah, yakni Prof Dr H Yunahar Ilyas Lc MAg, Dr H Habib Chirzin, Dr Hamim Ilyas, Dr H Busyro Muqoddas SH MH, serta Prof Dr H Ahmad Syafii Ma’arif.
Habib Chirzin menegaskan bahwa secara historis, eksistensi Mu’allimin sangatlah penting dan strategis dalam perspektif ke-Muhammadiyahan dan ke-Indonesiaan. Sejarah besar negeri ini tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dan gerakan Muhammadiyah. Dan salah unsur utama Muhammadiyah adalah Madrasah Mu’allimin.
Habib berharap acara ini akan mampu berefek positif bagi para guru/asatidz dalam hal penanaman nilai, sikap, serta perilaku dan mentransformasikannya kepada para anak didik.
Adapun Hamim Ilyas, menjabarkan tentang manhaj Tarjih dan fatwa-fatwa kontemporer di Muhammadiyah. Menurutnya, manhaj tarjih merupakan bagian dari manhaj gerakan Muhammadiyah yang terdiri dari seperangkat ideologi, khittah, dan langkah Muhammadiyah sebagi gerakan Islam, dakwah amar makruf dan nahi mungkar.
“Manhaj Tarjih Muhammadiyah merupakan sistem pemikiran Islam aliran pembaharuan berkemajuan yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah shahihah, yang terbuka terhadap perubahan, perkembangan, dan perbedaan,” tutur wakil ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini.
Menurutnya, paradigma yang dibangun oleh Islam dalam pandangan Muhammadiyah adalah menjadikan manusia hidup dalam kebaikan, guna menggapai kehidupan manusia yang bahagia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Islam dalam pandangan Muhammadiyah harus bisa menggerakkan umatnya untuk menghadirkan kebaikan yang nyata, dengan indikator berupa kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi seluruh makhluk Allah.
Pemateri selanjutnya, Busyro Muqoddas menyadarkan para guru tentang pentingnya memahami geo politik dan kondisi bangsa Indonesia. Mantan ketua KPK itu menyebut beberapa data tentang hubungan konglomerasi demokrasi dengan jabatan dan proyek negara. Dalam kondisi ini, negara seperti tanpa hukum dan demokrasi hancur.
Busyro mengajak para guru untuk melakukan pembaharuan dalam pendidikan, terutama dengan menyusun kurikulum yang mampu membangkitkan kekritisan para siswa. Para siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, kata Busyro, harus memiliki akses riset yang setara dan aktual serta diperkaya dengan latihan membuat tafsir atas kondisi sosial politik.
Sementara Buya Syafii Maarif, menekankan para guru Mu’allimin untuk melakukan perubahan paradigma dalam memandang agama sebagai sebuah wahyu atau sebagai sebuah realitas sosio-historis. Islam sebagai agama yang sempurna yang seharusnya mewujudkan rahmatan lil alamin, katanya, sering dibajak oleh kalangan tertentu dan terutama para elit, hanya untuk kepentingan politik praktis dan meraih kekuasaan.
Buya Syafii gusar dengan perseteruan di kalangan elit Arab yang kemudian diwariskan ke seluruh dunia seolah menjadi bagian dari Islam. “Persoalan kita bukan di hilir, tapi di hulu,” katanya. Oleh karena itu, Buya Syafii, menginginkan para santri Mu’allimin diberikan pemahaman yang mendalam dan luas terkait dengan kondisi sesungguhnya. “Jika mereka tidak diberi pencerahan, maka mereka akan rawan,” katanya. Dalam hal ini, Buya Syafii mengajak untuk menjadikan al-Qur’an sebagai al-Furqan atau pembeda antara yang hak dan yang batil, antara risalah kenabian dan sengketa politik.
Pesan lainnya, Buya Syafii, menyarankan para santri untuk diajarkan kewirausahaan. “Selama kita tidak mampu menjinakkan uang, selama itu pula kita akan tertinggal,” ujarnya. Buya menyebut tentang kondisi negara yang dikuasai oleh segelintir pemilik modal. “Anak-anak Mu’allimin harus diarahkan untuk merebut ekonomi. Sekedar marah-marah, teriak-teriak, tidak cukup,” kata alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1956 itu. (Ribas/foto:Humas)