SURABAYA, Suara Muhammadiyah- Keluarga merupakan entitas yang sangat krusial dalam membentuk generasi yang berkualitas. Prof Amin Abdullah, dalam pembukaan Seminar Pra Tanwir I Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan bahwa sumbangan pemikiran Aisyiyah sebagai organisasi keagamaan sangat besar dalam menghadapi berbagai tantangan serta problematika keluarga kontemporer. Perubahan sosial, politik, kurangnya waktu bersama keluarga, disiplin, dan eksklusivisme dalam keluarga adalah adalah sejumlah tantangan yang dihadapi oleh keluarga kontemporer. Dari keluarga kecil, peradaban umat dan bangsa dimulai.
“Di dalam 2 juta kasus perkawinan, 300 hingga 400 ribu pasangan mengalami kegagalan dalam berumahtangga. Keluarga itu nomor 1. Ini harus menjadi gerakan,” tukas Amin dalam keynote speech pembukaan Seminar Pra Tanwir I Aisyiyah bertajuk ‘Keluarga Berkemajuan, Pilar Bangsa Berkeadaban’, Kamis (18/1).
Beberapa tantangan yang dihadapi oleh keluarga kontemporer menurut Amin di antaranya adalah perubahan sosial khususnya yang mengangkut relasi serta peran gender. Semakin majunya pendidikan tinggi dan terbukanya peluang pendidikan membuat banyak perempuan yang berkiprah di sektor-sektor publik. Di sisi lain, pemahaman keagamaan terkait relasi serta kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di dalam keluarga belum tentu sejalan.
“Di perguruan tinggi komposisi perempuan dan laki-laki sekarang sudah sama, ilmu yang diserap juga sama. Tetapi ketika masuk ke rumah tangga, ilmunya mendadak berbeda, dan tidak ada komunikasi. Apalagi pidato nikahnya hanya seputar urusan biologis saja, bukan psikologis dan sosiologis. Ketika di perguruan tinggi mendorong adanya kesetaraan, namun keltika ada di keluarga ada teks-teks keagamaan yang masih ditafsifkan dengan hanya menguntungkan laki-laki saja,” terang Amin.
Menurut mantan Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah ini ini, pandangan laki-laki terhadap keluarga dan perempuan di dalam keluarga harus diubah. Kewajiban mendidik anak dan keluarga bukan hanya milik perempuan namun juga laki-laki. Jika tidak, tantangan double burden bagi perempuan di dalam keluarga tidak akan bisa teratasi.
“Ini adalah permasalahan yang hampir oleh seluruh perempuan di dunia disuarakan. Kalau laki-laki masih tidak mau ikut campur tangan dalam mengurus anak dan keluarga maka double burden ini akan terus ada,” kata Amin.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut menurut Amin menuntut adanya interpretasi keagamaan baru yang tidak rigid sehingga menyulitkan kita untuk bergerak dan berkomunikasi. Implikasi dari macetnya komunikasi antara orang tua akan berimbas kepada anak. Gerakan parenting, membangun keluarga dan mendidik anak agar mampu menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di dalam keluarga ataupun di sekitarnya penting untuk terus didorong oleh Aisyiyah.
“Proses negosiasi dan komunikasi antara pria dan wanita di dalam keluarga itu yang penting. Karena anak akan terkena imbasnya jika komunikasi tidak lancar,” lanjutnya.
Untuk melihat seberapa jauh komunikasi mampu menjembatani perbedaan yang ada sekaligus menjawab tantangan keluarga masa kini, maka bagi Amin penting untuk meninjau bagaimana anggota keluarga memahami teks-teks keagamaan yang ada. Amin pun menjelaskan bahwa ada 3 bentuk tafsir yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan. Yaitu secara tekstual, semi tekstual, dan kontekstual.
“Pemahaman tekstualis sendiri merupakan pemahaman yang sempit dan rigid. Pemahaman ini seakan-akan dianggap berlaku universal tanpa memperhatikan apa penyebab turunnya ayat atau hadits. Pemahaman ini juga disebut instan,” katanya.
Belum lagi, dengan adanya penafsiran yang parsial dan selektif sesuai dengan hasrat dan kepentingan laki-laki saja. Berbeda dengan tafsir kontekstualis yang membaca ayat-ayat serta hadits dengan selalu mempertimbangkan aspek sosial, sejarah, ekonomi, psikologi dan sosiologi.
“Ini adalah materi yang penting untuk dicermati ketika keluarga menghadapi perubahan-perubahan sosial yang dahsyat. Ini harus dipahami oleh pria dan wanita. Dengan perkembangan keilmuan dan perguruan tinggi, seharusnya tafsir itu multidisiplin jangan hanya biologis saja. Harus dilihat secara ekonomis, psikologis dan sosiologis. Itu adalah gerakan keadaban modern,” terangnya.
Amin pun mengatakan bahwa bagaimana corak beragama dan tafsir keagamaan mempengaruhi keharmonisan keluarga juga dalam membentuk keluarga sakinah. Penting adanya negosiasi, komunikasi dan kompromi di dalam keluarga.
“Tafsir atau pandangan laki-laki yang lebih dominan dari pada tafsir perempuan yang padahal juga mendapatkan pengetahuan yang setara di perguruan tinggi. Kalau coraknya seperti ini maka akan terjadi hegemoni-hegemoni bahkan hingga kekerasan dalam rumah tangga. Besar sekali peran tafsir keagamaan dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah,” papar Amin.
Oleh karena itu, Aisyiyah harus mengisi calon keluarga dengan dengan pembinaan-pembinaan yang menanamkan sikap rahman dan rahim. Menurutnya, pendidikan calon pengantin tafsirnya harus secara kontekstual.
“Empati dan simpati itu penting. Saling meminta maaf jika salah. Pidato menikah pun harus diperbarui dan diubah kontennya bukan hanya menyoroti permasalahan biologis saja. Terlebih, laki-laki harus dilibatkan lebih dalam tugas-tugas domestik,” tandasnya. (Th)