Haedar Nashir: 91 Tahun Lalu, Aisyiyah Pelopori Pergerakan Perempuan di Ruang Publik

Haedar Nashir: 91 Tahun Lalu, Aisyiyah Pelopori Pergerakan Perempuan di Ruang Publik

SURABAYA, Suara Muhammadiyah- Dalam pembukaan Tanwir I Aisyiyah, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak para peserta tanwir untuk kembali mengingat peristiwa monumental yang terjadi di Kota Surabaya. Di kota yang sama, 91 tahun yang lalu Kongres Muhamadiyah ke 15 digelar. Kongres yang digelar di Gedung Bioskop Kranggan pada tahun 1926 tersebut merupakan momentum yang langka karena dilaksanakan bersamaan dengan kongres khusus Aisyiyah.

“Di sanalah lahir fase baru di mana gerakan perempuan muslim, hadir di ruang publik dan menyuarakan aspirasi perempuan untuk maju sebagai panggilan agama,” terang Haedar dalam pidato pembukaan Tanwir I Aisyiyah di UM Surabaya, Jum’at (19/1).

Menurut Haedar momentum tersebut menjadi cukup mencengangkan karena sebelumnya belum ada perhelatan besar yang digelar oleh perempuan di ruang publik. Hingga ada dua surat kabar lokal yang secara besar-besaran memuat berita terkait kongres tersebut, khususnya sosok Siti Walidah yang disebutnya sebagai Srikandi Indonesia.

“Kita ketahui bahwa kongres perempuan pertama pada tahun 1928 digelar dua tahun setelah kongres Aisyiyah ini,” imbuh Haedar.

Haedar berpesan bahwa peristiwa tersebut adalah yang harus diingat oleh para peserta Tanwir agar terus membawa spirit Nyai Dahlan meskipun sudah hamper 1 abad berlalu setelahnya. Haedar mengatakan bahwa dalam sebuah kesempatan pada tahun 1945, anggota Tanwir Muhammadiyah berkunjung ke Yogyakarta sekaligus menjenguk Nyai Walidah yang sedang terbaring sakit. Di sana Nyai Walidah menyampaikan pesannya untuk Muhammadiyah juga umat Islam.

“Indonesia, kata Walidah, telah merdeka akan tetapi tinggal lah yang belum merdeka adalah agama Islam dan umat Islam. Maksudnya, belum merdeka dari kekolotan. Maka suburkanlah  Muhammadiyah dan Aisyiyah agar bisa mengisi Indonesia yang baru merdeka ini agar menjadi Negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur,” pungkas Haedar yang dikutipnya dari buku milik Junus Anis tahun 1968. (Th)

Exit mobile version