MAKASSAR, Suara Muhammadiyah-Pelaksanaan Musyawarah Nasional Tarjih ke-XXX di Universitas Muhammadiyah Makassar memiliki beberapa agenda utama. Dua di antaranya adalah pembahasan Fikih Perlindungan Anak dan Fikih Informasi. Hal itu diungkapkan ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar.
“Fikih perlindungan anak akan membahas masalah-masalah terkait dengan problem anak, antara lain masalah anak terjerat kasus hukum, fenomena kasus tindak kekerasan terhadap anak, termasuk kejahatan seksual yang semakin meningkat. Selain itu, juga dibahas kasus pengasuhan anak, kesehatan anak dan eksploitasi anak,” ujarnya.
Adapun Fikih Informasi, dikatakan Syamsul, mendesak karena adanya persoalan banjir informasi. Lalu melahirkan fenomena hoax, yaitu berita atau informasi palsu. Hal ini dianggap telah membuat resah berbagai kalangan di era media sosial. Sehingga diperlukan adanya suatu tuntunan agama dalam memandang hal ini.
Syamsul juga mengingatkan bahwa memproduksi, menyampaikan dan menyebarluaskan berita bohong merupakan bagian dari perbuatan orang munafik. Salah satu tanda orang munafik adalah berbohong. Selain tanda lainnya semisal berkhianat, tidak menepati amanah, dan ingkar janji.
Sementara ketua umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir melihat bahwa belakangan, persoalan anak dan informasi mendesak untuk dibahas. Terkait persoalan anak, Haedar melihat ada kecenderungan dua arus besar yang saling berlawanan dalam pola pendidikan anak. Ada yang terlalu kaku dengan kecenderungan ingin anak terlalu shaleh sejak dini dan disi lain ada yang terlalu longgar dan bahkan sampai mengabaikan aspek sopan santun anak.
“Ada muatan rabbaniyahnya (teosentrisme) sangat kental dan monolitik. Dimensi anak untuk bermain dibunuh. Anak diajari untuk soleh terlalu dini melebihi orang tuanya. Sehingga anak menjadi anti semuanya. Berani mengajari orang tuanya melebihi mubaligh,” kata Haedar. Hal ini sering terjadi dalam masyarakat kelas menengah kota, abangan, yang haus spiritual.
Dalam paradigma ini, seolah menjadi shaleh berarti tidak mengikuti kemajuan zaman. Menurutnya, Islam merupakan agama yang sejalan dengan zaman kekinian. “Orientasi ingin shaleh tidak oposisi biner dengan nilai-nilai kemajuan,” ulasnya.
Adapun terkait Fikih Informasi, Haedar menilai belakangan ada semacam simulakra. Orang ingin membangun citra positif dirinya seolah-olah realitas objektif. “Relasi sosial, persepsi, konstruksi pikiran, dan peristiwa selain terjadi secara objektif (ada sesuai pada objeknya, bukan opini), juga ada yang buatan. Dalam realitas sekarang, suatu peristiwa tidak benar-benar terjadi tapi dikonstruksi seolah-olah terjadi. Itulah yang dinami hoax. Simulakra,” urainya.
Situasi hoax dan dunia simulakra ini menyebabkan hilangnya empati dan sopan santun serta melenyapkan daya kritis. Nalar kritis yang dimaksud termasuk juga semacam keinginan orang untuk menjadi penyebar informasi yang paling pertama, tanpa mengecek kebenarannya. (Ribas)