MAKASSAR, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir membuka secara resmi pelaksanaan Musyawarah Nasional Tarjih ke-30 di Balai Sidang Universitas Muhammadiyah Makassar, Rabu (24/01). Forum tertinggi Muhammadiyah dalam bidang keagamaan ini diikuti 250 peserta dan para tamu undangan.
Dalam pidato iftitah, Haedar menaruh harapan besar pada Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah guna menghasilkan panduan-panduan epistemologi dan praksis. Hal itu dianggap penting di tengah arus polarisasi pemikiran di masyarakat. Haedar menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai ummatan wasatan di tengah ragam pemikiran yang berkembang dewasa ini.
Menurutnya, arus besar itu secara garis besar bermuara pada paham humanisme-sekularisme (insaniyah) dan aliran theosentrisme (rabbaniyah). “Serba rabbaniyah, gusar dengan yang kontemporer. Lari ke masa lampau. Serba religi, syariah. Atribut diri direproduksi seolah islam cirinya hanya itu,” urainya.
Kelompok kedua ini seolah menyempitkan universalitas Islam. Sibuk dengan sunnah-sunnah yang bersifat simbolik. Di saat bersamaan melupakan sunnah yang lebih penting. “Sunnah dan agenda yang lebih besar tidak bisa direproduksi. Mencontoh nabi dalam makan minum itu mudah. Tapi bagaimana mencontoh sunnah nabi dalam membangun peradaban itu tidak mudah,” katanya.
Haedar mengajak Majelis Tarjih dan Tajdid, selain terus memproduksi produk-produk keagamaan dan praksis keseharian serta fikih-fikih baru, pada saat yang sama juga merumuskan konsepsi ushul fikih sebagai paradigma keagamaan Muhammadiyah yang lebih responsif dan menjadi alternatif. Hal itu sekaligus melanjutkan beberapa gagasan sebelumnya dalam spirit Islam Berkemajuan. Produk sebelumnya yang dimaksud Haedar, semisal MKCH, PHIWM, Risalah Islamiyah, dan al-Masail al-Khamsah (agama, dunia, ibadah, qiyas atau ijtihad, dan sabilillah).
Paradigma Tarjih Muhammadiyah yang terbuka, kata Haedar, perlu merekonstruksi manhaj dengan mempertimbangkan situasi dan perkembangan terbaru. Haedar merekomendasikan untuk merujuk pemikiran tokoh pembaharu seperti Jamal Al-Banna dalam Fiqh al-Jadid yang mengkritik kaidah fiqhiyah klasik dalam hal konsep ibahah (kebolehan) dan muamalah (selain ibdahah dan akidah). “Dalam praktek, konsep ibahah menyempit dan halal-haram justru lebih meluas. Ini satu pemikiran yang kita jangan reaksioner dalam menyikapinya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar menyatakan bahwa munas ini akan memiliki tiga agenda pokok. Yaitu membahas fikih perlindungan anak, fikih informasi, dan ibadah shalat jamak dan qashar.
Syamsul menegaskan bahwa munas merupakan sebuah forum untuk menghasilkan sebuah keputusan tertinggi di lingkungan Muhammadiyah dalam bidang keagamaan dan sifatnya mengikat secara organisatoris.
“Di antara tugas pokok Majelis Tarjih adalah melakukan penelitian dan pengembangan bidang tarjih dan tajdid. Artinya melakukan pengajian agama islam untuk merespon berbagai masalah yang timbul dari sudut pandang agama islam sebagaimana dipahami Muhammadiyah,” ujarnya. (Ribas)