YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sesaat setelah berzikir, sosok sepuh itu bangkit dari kursi yang dipakainya untuk shalat. Melangkah perlahan menuju mihrab. Dilewatinya beberapa jamaah laki-laki. Para jamaah mulai mendongakkan wajah. Setelah menengok kiri dan kanan memastikan semua telah menuntaskan ibadah, diambilnya microphone clip yang biasa dipakai imam.
Di hadapan jamaah shalat Magrib, pria itu, Ahmad Syafii Maarif memberitahukan ada beberapa siswa dari Turki sedang berada di masjid Nogotirto itu. Mereka adalah tamu, yang sedang melaksanakan program pertukaran pelajar dengan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Jamaah sekitar sudah hafal, sosok tetua yang sangat dikenali ini sering meminta tamu-tamu penting untuk membagi ilmu dan pengalaman di hadapan jamaah. Meskipun hanya sejenak.
Malam itu, 12 siswa Turki itu berkunjung ke rumah Buya Syafii sebagai salah satu rangkaian kegiatan selama di Yogyakarta. Lumrahnya, tokoh bangsa ini sering menerima tamu di rumah atau di masjid tersebut. Semua tamunya diperlakukan sama. Begitulah keseharian sosok Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah ini. Masjid tersebut tak bisa dilepaskan dari aktivitasnya, lebih dari sekadar shalat berjamaah.
“Hari ini, kita kedatangan pelajar dari Turki, sebanyak 12 orang, dan mereka hadir di sini sebagai bagian dari program pertukaran pelajar antara siswa Turki dengan Muallimin Yogyakarta. Oleh karena itu, salah satu di antara mereka kita minta untuk menjadi pembicara, dan Insyaallah saya siap menjadi penerjemahnya,” tutur Buya.
Salah seorang perwakilan siswa pun maju dan dipersilahkan menuju podium. Sementara Buya Syafii tetap berdiri di samping kirinya. Dalam kultum itu, Buya menjalankan perannya sebagai penerjemah dengan baik. Menjembatani perbedaan bahasa para siswa Turki dengan para jamaah shalat Magrib Masjid Nogotirto. Di kalangan jamaah, tentu ada sebagian yang sebenarnya menguasai bahasa Inggris. Warga sekitar tergolong berpendidikan.
Namun, selain karena tamunya dan karena Buya adalah sesepuh takmir masjid setempat, Buya juga sebenarnya sudah sangat terbiasa menjadi penerjemah. Sejak awal mula berkarir sebagai wartawan Suara Muhammadiyah, –setelah lulus dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah dan sebelum melanjutkan studi ke Amerika Serikat– Buya Syafii muda telah menjadi penerjemah karya-karya pemikir dan intelektual dunia. Sambil menerjemah, Buya melahap gagasan-gagasan kritis yang kelak ikut mewarnai cakrawala pemikirannya. Di UNY sendiri, Buya sempat mengajar bahasa Inggris, di sela-sela dedikasinya pada bidang sejarah. Tak pelak, di mata Buya Syafii, ‘Bahasa adalah kunci.’ (Ribas/D)