YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sesuai surat keputusan dan surat undangan dari Pantia Hari Pers Nasional (HPN) 2018, yang telah diterima oleh Suara Muhammadiyah pada Selasa (23/02), media resmi persyarikatan ini, ditempatkan sebagai salah satu dari 7 media nasional yang akan memperoleh penghargaan media kepeloporan.
Melalui surat bernomor 108/PWI-P/HPN 2018/1/2018, perusahaan media ini menerima Penghargaan Kategori Kepeloporan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia.
Para penerima anugerah kepeloporan media tersebut merupakan hasil seleksi akhir dari Tim Penghargaan Bidang Media HPN 2018 yang dipimpin Marah Sakti Siregar. Beberapa nama yang terlibat dalam tim ini adalah R Widodo, Agus Sudibyo, Artini Suparmo dan Ahmed Kumia Soeriawidjaja.
“Tim Kecil Kepeloporan Media sebelumnya telah menyeleksi, menilai dan kemudian memilih para pemenang dari sejumlah usulan. Para penerima penghargaan dinilai dari sisi kepeloporan, gagasan, konsistensidan eksistensi media dan tokoh-tokoh di belakangnya. Pengusul berdatangan dari komunitas media dan umum, serta usulan anggota Tim Kecil,” ujar Marah Sakti Siregar.
Deni Asyari, Direktur PT Syarikat Cahaya Media, sekaligus pemimpin Perusahaan Suara Muhammadiyah, saat dikonfirmasi, membenarkan terkait penghargaan yang akan diterima oleh Suara Muhammadiyah.
Proses penetapan penghargaan terhadap majalah yang kini berusia 103 tahun itu, sebenarnya sangat wajar, menimbang usia dan peran kejurnalistikannya yang senafas dengan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Hanya saja, menurut Deni, memang pihak pemerintah maupun masyarakat umum, kurang mengetahui tentang sejarah panjang Suara Muhammadiyah.
Kekurangtahuan ini, tentu juga terkait belum maksimalnya peran Suara Muhammadiyah mensosialisasikan media persyarikatan ke ranah publik secara luas. “Jika dilihat dari peran dan kontribusinya, sebenarnya majalah Suara Muhammadiyah (SM) ini, sangat layak untuk memperoleh penghargaan, apalagi kemampuan media ini bertahan hingga melebihi usia 1 Abad. Hanya saja, memang belum banyak yang diketahui publik terkait Suara Muhammadiyah, sehingga orang tidak mengetahui bagaimana kiprah dan sejarah pers persyarikatan ini,” ujarnya.
“Namun alhamdulillah, melalui proses yang sedikit berliku dalam 2 bulan belakangan ini, untuk mensosialisasikan dan menyiapkan berbagai bahan dan kebutuhan untuk menjadi pembahasan oleh panitia HPN, akhirnya pemerintah melalui Hari Pers Nasional 2018 nanti, menetapkan SM sebagai salah satu peraih penghargaan tersebut,” tutur Deni.
Penghargaan ini, menurut Deni, tentunya ditujukan kepada para Pimpinan Pusat Muhammadiyah, para pimpinan redaksi dan pimpinan umum Suara Muhammadiyah yang memiliki kemampuan luar biasa, dalam mempertahankan dan melanjutkan publikasi media ini, dari satu generasi ke satu generasi lainya. Termasuk juga ditujukan kepada segenap pembaca dan warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Penyerahan penghargaan ini, sesuai surat undangan yang disampaikan ke pihak Suara Muhammadiyah, akan dilakukan saat perayaan HPN tanggal 9 Februari 2018, di kota Padang, Sumatera Barat, di hadapan Presiden Joko Widodo dan pejabat negara lainnya, serta seluruh insan pers tanah air.
Tokoh bangsa yang juga mantan wartawan Suara Muhammadiyah, Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, mengapresiasi raihan prestisius ini. “Fantastik, selamat untuk manajemen Suara Muhammadiyah,” ungkap Buya Syafii yang kini menjadi Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah ini, yang dikirim melalui pesan WA-nya.
Walau secara fisik tidak tampil di depan, namun sebagai pemimpin umum Suara Muhammadiyah, sebagaimana pimpinan lainnya, seperti Dr Haedar Nashir (pemimpin redaksi SM), Buya Syafii selalu menjadi garda depan dalam mendorong perubahan dan kemajuan bagi Suara Muhammadiyah.
Atas peran dan support pimpinan seperti Haedar Nashir, Ahmad Syafi Maarif, Muchlas Abror, Rosyad Soleh dan lainnya, Suara Muhammadiyah dalam 3 tahun belakangan ini, telah memperoleh berbagai penghargaan.
Dalam dua tahun sebelumnya, ungkap Deni, Suara Muhammadiyah memperoleh penghargaan Rekor MURI sebagai Media Yang Terbit Berkesinambungan Terlama (2016), dan penghargaan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat sebagai Salah Satu Media Tertua di Indonesia (2017), dan tahun ini (2018), penghargaan dari pemerintah melalui panitia HPN 2018 sebagai Media Dakwah Pelopor Pejuang Kemerdekaan RI.
Redaktur Pelaksana Suara Muhammadiyah, Isngadi Marwah Atmadja menyatakan, penghargaan ini merupakan kado terindah melengkapi perayaan Milad dan Peresmian Grha Suara Muhammadiyah yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 25 Februari 2018. “Insyaallah ini menjadi kado terindah bagi Suara Muhammadiyah dan bagi redaksi dan manajemen Suara Muhammadiyah,” ungkapnya.
Menurutnya, penghargaan “Sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia” sudah sepantasnya diterima oleh Suara Muhammadiyah. Isngadi memaparkan kiprah SM mempelopori Bahasa Indonesia (Melayu), yang sudah dimulai sejak tahun 1922.
“Pada tahun 1921, SM awalnya menggunakan Bahasa Jawa. Tahun 1922, SM sudah menggunakan 2 bahasa, yaitu Bahasa Jawa dan Indonesia (Melayu). Pada tahun 1923, SM total menggunakan Bahasa Indonesia,” bebernya.
Tak hanya itu, pada tahun 1924, Majalah Suara Muhammadiyah yang terbit di Yogyakarta telah memperkenalkan kata “Indonesia” dalam sebuah tulisannya. Di artikel itu tertulis dengan jelas, “Awas untuk anak Indonesia….”
Setahun berikutnya, 1925, di box redaksi Suara Muhammadiyah tercantum kata Indonesia. Di situ tertulis, “SOEARA MOEHAMMADIJAH dikeluarkan oleh Perkoempoelan Moehammadijah Bg. TAMAN POESTAKA (INDONESIA).” Jadi, sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928, kata Isngadi, SM sudah memperkenalkan kata Indonesia. “SM sudah memperkenalkan kata Indonesia 4 tahun sebelum dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda,” ujarnya.
Majalah SM tahun 1931, dalam satu tajuknya, mengkritik suasana kongres Muhammadiyah yang sebagian peserta berkomunikasi dengan bahasa Jawa. “Menurut SM tahun 1931, harusnya semua peserta berkomunikasi di forum resmi maupun di luar forum sidang, dengan Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, jika SM dijadikan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia, maka sudah sepantasnya,” katanya.
“Sebelum banyak yang berfikir dan mengatakan tentang persatuan , SM sudah mengklritik orang yang tidak mau berkomunikasi dengan bahasa Indonesia,” pungkas Isngadi Marwah Atmaja. (D/Ribas).