Suara Muhammadiyah Sebagai Media Perjuangan

Media Perjuangan

SM Media Perjuangan

Suara Muhammadiyah Sebagai Media Perjuangan

(Menyambut Hari Pers Nasional Tahun 2018)

Oleh: Roni Tabroni

Pada 2018 ini, Hari Pers Nasional (HPN) membuat kategori baru untuk penghargaannya yang sangat bergengsi. Kategori itu adalah “Penghargaan Kepeloporan Bidang Media”. Selain tiga media lainnya, Suara Muhammamdiyah (SM) terpilih dengan “Penghargaan Kategori Kepeloporan Sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI Dalam Bahasa Indonesia”. Penghargaan ini meneguhkan SM sebagai media yang pernah mendapat rekor Musium Rekor Indonesia (MURI) sebagai media paling lama terbit di Indonesia.

SM memang bukan yang pertama terbit di Nusantara, sebab sebelumnya ada beberapa media yang telah terbit, baik yang bercorak umum maupun media Islam seperti halnya Al Munir di Padang Panjang. Tetapi SM merupakan media yang memiliki usia paling panjang (103 tahun) yang hingga kini masih ekses. Di usia setua itu, SM bahkan diakui selalu mengalami peningkatan oplah – di tengah krisis media cetak yang terjadi secara global.

Dari kategori yang diterima oleh SM pada HPN ini, kita menggaris bawahi dua item penting yang memperkuat khazanah pers tanah air, yaitu media dakwah dan media perjuangan kemerdekaan RI. Pertama, sebagai media dakwah, SM sejak lahir diterbitkan oleh KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) sebagai sarana untuk mengembangkan dakwah Islam. Di tengah masyarakat yang masih buta huruf, pada tahun 1915, KH. Ahmad Dahlan yang dibantu oleh jurnalis handal yaitu H. Fachrodin, mencoba untuk beradaptasi dengan teknologi. Dakwah pada saat itu yang lebih identik dengan kegiatan tradisional, bertemua secara langsung di mesjid, spektrumnya diperlus dengan menggunakan media cetak yang saat itu masih sangat langka.

SM sejak awal selalu memuat konten-konten keagamaan yang diyakini Muhammadiyah. Di sana disajikan perihal ibadah, akhlak dan muamalah. Pengetahuan keagamaan Muhammadiyah dikemas dalam sebuah aktivitas jurnalistik yang secara teknis keahliannya dimiliki oleh H. Fachrodin yang sekaligus sebagai Pimrednya. Dengan format yang sangat sederhana, Muhammadiyah sudah membuat terobosan yang tidak biasa, yaitu memassifkan gerakan dakwahnya lewat media baru yang masih dianggap tabu. Kreatifitas dan inovasi di ranah media ini menjadi salah satu penanda pembaharuan Muhammadiyah disamping aspek pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Kedua, sebagai media perjuangan kemerdekaan, SM sejak awal terus mengedukasi masyarakat pribumi untuk senantiasa meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan diyakini, kemerdekaan akan diraih jika secara kualitas SDM bangsa ini berkualitas, baik secara spiritual maupun pengetahuan umumnya. Maka, konten SM dari dulu tidak hanya menyajikan aspek keagamaan, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, informasi-informasi yang lebih luas baik dari dalam maupun luar negeri. Analisis dan opini yang disajikan juga sangat kritis dan memiliki perspektif yang cukup baik sehingga dapat membuka wawasan ummat setiap generasinya.

Yang tidak kalah pentingnya , dalam konteks kemerdekaan ini bagaimana SM telah mempelopori media lain dalam penyebutan kata “Indonesia” pada tahun 1920. Kata ini sudah dimunculkan oleh SM jauh sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928. Bahkan di tahun-tahun itu pula, majalah SM sudah menggunakan bahasa Melayu. Kepeloporan ini sebagai penanda bahwa media dakwah seperti SM ini juga memiliki komintem sangat tinggi terhadap wacana kebangsaan dalam mendorong kemerdekaan waktu itu.

Kontribusi SM terhadap bangsa ini tentu tidak ternilai. Konsistensi dalam membangun SDM bangsa terus dilakukan, kendati SM tidak menjadi industri raksasa media. Tidak banyak aset dan anak perusahaan yang dimilikinya, walaupun usianya sudah melampaui satu abad. Tetapi media yang telah melahirkan banyak tokoh ini selalu konsisten dalam corak pencerahannya.

Pilihan corak SM memang tidak pada kecepatan informasi dan kebesaran sebuah peristiwa, tetapi lebih memilih jalan sejuk yang lebih mencerahkan secara fikiran dan menuntun akhlak ummat. SM tidak mengejar oplah dan keuntungan material. Tetapi SM ingin tetap hadir sebagai panduan hidup yang dapat dibaca setiap saat, melampaui ruang dan waktu.

Secara popularitas, SM memang tidak banyak dikenal orang, selain warga Muhammadiyah. Namun demikian, bukan berarti bahwa SM media internal. SM sejak lahirnya sudah menjalankan prinsip-prinsip jurnalistk walaupun mungkin cukup sederhana. Lebih dikenal di internal organisasi karena SM sejak awal sudah memilih segmennya lebih fokus pada warga Muhammadiyah, di luar Muhammadiyah ada yang membaca walaupun sangat sedikit.

Pilihan segmentasi yang sangat fokus ini sesungguhnya menjadi jaminan bahwa keberadaan SM lebih lama bertahan, daripada mengambil pasar umum yang tidak mudah diprediksi. Segmentasi kader dan simpatisan ini menjadi penting sebab mereka memiliki militansi dan ikatan idiologi yang kuat, sehingga berlangganan SM bukan persoalan menarik-tidaknya sebuah berita, tetapi sebentuk dukungan terhadap kegiatan dakwah bermedia.

Kekhassan SM sebenarnya bukan hal yang luas biasa, sebab pada dasarnya setiap media memiliki ciri khasnya masing-masing. Dari mulai konten, crew, sampai segmentasi, setiap media sudah menentukannya sejak awal. Yang menjadi lebih penting dari SM adalah bahwa kehadirannya bukan sekedar menginformasikan sesuatu tetapi juga memberikan nilai, melakukan pencerahan dan inspirasi, sebagai bentuk pengabdian terhadap bangsa yang dicintainya. Penghargaan yang diterimanya di hari yang istimewa bagi insan pers dan bangsa ini, merupakan bentuk apresiasi dan pengakuan negara terhadap media yang dikelola oleh Muhammadiyah ini.

Penulis adalah Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhamamdiyah, Penulis Buku Media Massa Islam

Exit mobile version