Penyerangan Gereja dan Sikap Kita

Penyerangan Gereja dan Sikap Kita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pukul 7.30 WIB di Minggu pagi (11/02), kehebohan terjadi. Pastor dan umat di Gereja St Lidwina, Bedog, Trihanggo, Sleman, Yogyakarta, diserang  seorang pemuda yang menghunus samurai. Jemaat berhamburan keluar. Beberapa orang terluka.

Pada Jumat sore (08/02), seorang pelaku yang diduga gila juga menyerang imam masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Pelaku berhasil diamankan jamaah dan warga sekitar. Sebelumnya, kiai Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Kampung Santiong Desa Cicalengka Kulon, Cicalengka, Bandung KH Umar Basri bin KH Sukrowi, juga diserang pada Sabtu (27/01).

Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif yang tinggal tidak jauh dari lokasi kejadian segera mendatangi gereja tersebut. Siang hari, Buya juga berkunjung ke RS Bhayangkara, tempat pelaku penyerangan Gereja St Lidwina dirawat. Buya Syafii sempat berbincang lama dengan pelaku yang diketahui bernama Suliyono. “Iya, sempat berbincang, lama, ada sejam,” papar Buya Syafii saat ditemui awak media di RS Bhayangkara.

Perbuatan sejenis ini, dikatakan Buya Syafii sebagai perilaku tidak manusiawi. “Ini biadab. Ini harus dicari betul siapa sebenarnya orang ini, saya percaya Polisi bisa bergerak cepat mengungkap ini,” ungkapnya. “Sepertinya dia tidak sendiri, ada gengnya. Mungkin untuk membuat gaduh Yogyakarta yang selama ini aman,” urainya.

Kejadian ini menimbulkan keprihatian bersama. Mantan Komisioner Komnas HAM RI 2012-2017, Maneger Nasution menyebut peristiwa ini membuat publik geli, terbahak, marah, boleh menangis, menduga. Semua itu karena peristiwa yang telah menciderai nilai keadaban bangsa. “Ada ‘OGGB [orang gila gaya baru] masuk masjid menganiaya dan membunuh ulama. Ada ide ‘menggelikan’ dari orang waras bersyahwat besar masuk ke mimbar Jum’at. Sekarang ada penganiayaan terhadap Pastor di Yogyakarta. Ada ‘pengusiran’ terhadap Bikhu di Tangerang,” ujarnya.

Apapaun alasan di balik kasus penyerangan, Manager berharap, negara harus hadir. “Negara punya mandat menghentikan perilaku tak beradab itu. Negara punya mandat mengusut tuntas kasus-kasus itu siapa pun pelaku dan aktor intelektualnya, serta apa pun motifnya. Negara khususnya pekerintah harus hadir dan memastikan bahwa peristiwa-peristiwa yang jauh dari keadaban itu tidak terulang lagi di masa mendatang,” tuturnya.

Senada, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin, mengecam keras. “Saya, dan kita semua, prihatin dan mengecam keras penyerangan dengan kekerasan menggunakan senjata tajam atas jemaat Gereja Lidwina Sleman yang sedang menunaikan misa/kebaktian. Saya menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban. Kita mengecam keras tindakan tersebut sbg bentuk kebiadaban yang tidak bisa ditoleransi,” ujarnya.

Menurut Din, kejadian tersebut dan beberapa kejadian serupa sebelumnya (yaitu tindak kekeraan atas seorang kiai/ulama di Cicalengka, atas seorang aktifis Persatuan Islam di Bandung hingga tewas, atas seorang Bikkhu Buddha di Tangerang, dan ancaman atas tokoh ulama Jawa Barat oleh seorang yang mengaku gila), secara logis dapat diduga tidaklah berdiri sendiri. Alasannya karena terjadi hampir bersamaan dan sama-sama menyasar lambang-lambang keagamaan, baik figur-figur agama maupun tempat ibadat.

“Begitu pula, pelakunya disimpulkan sebagai orang gila. Berdasarkan hal-hal tadi, kejadian-kejadian tersebut sepertinya dikendalikan oleh suatu skenario sistemik yang bertujuan untuk menyebarkan rasa takut dan pertentangan antar umat beragama, dan akhirnya menciptakan  instabilitas nasional,” ungkap Din.

Din mendorong aparat keamanan untuk secara serius mengusut tuntas dan menyingkap siapa dan apa di balik semua kejadian tersebut. “Kalau kejadian-kejadian tersebut tidak segera diusut dan dicegah maka sangat potensial menimbulkan prasangka-prasangka di kalangan masyarakat yang kemudian memunculkan reaksi-reaksi yang akhirnya menciptakan  kekacauan,” ulasnya.

Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu berharap semua umat beragama untuk tetap tenang dan mengendalikan diri. “Jangan terprovokasi oleh pihak yang memang sengaja ingin mengadu domba antar umat beragama,” katanya.

Kasus ini tentu menampar semua pihak. Terlebih di saat Din Syamsuddin yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) baru saja memprakarsai musyawarah besar yang diikuti oleh sekitar 450-an pemuka agama (250 diantaranya dari kalangan muslim) di Jakarta.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengapresiasi kegiatan Mubes umat beragama tersebut. Menurutnya, kegiatan tersebut merupakan sejarah baru dalam relasi dan kerja sama antar umat beragama. “Musyawarah besar tersebut merupakan jawaban bahwa agama bukanlah faktor pemecah bangsa dan ancaman negara, melainkan sebagai pemersatu bangsa dan salah satu pilar sosial, spiritual, dan politik untuk tegaknya NKRI,” kata Mu’ti.

Forum tersebut membicarakan tujuh topik mengenai pandangan dan sikap umat beragama. Pertama, NKRI berdasar Pancasila. Kedua, Bhineka Tunggal Ika. Ketiga, pemerintahan yang sah hasil pemilu demokratis berdasarkan Konstitusi. Keempat, prinsip-prinsip kerukunan antar umat beragama. Kelima, etika kerukunan intra agama. Keenam, penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah. Ketujuh, rekomendasi tentang faktor-faktor non agama yang mengganggu kerukunan antar umat beragama. (Ribas)

Exit mobile version