Ahad malam, 18 Februari 2018, di kediaman Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk Australia (Imran Hanafi), Dr Haedar Nashir, selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melantik berdirinya Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Australia.
Dalam kesempatan tersebut, Dr Haedar menekankan pentingnya persaudaraan kemanusiaan yang genuine, yang dirajut dengan kekuatan konsolidasi dan kooperasi yang solid. Baginya, visi persaudaraan ini harus termanifestasi dalam pelbagai bidang kehidupan, khususnya kehidupan sosial politik yang saat ini rawan melahirkan polarisasi, fragmentasi dan konflik. Karena itu, dengan visi persaudaraan ini, diharapkan akan menghasilkan kompetisi kebajikan (fastabiq al-khairat), yang menurutnya, adalah sarana untuk membangun peradaban kemanusiaan yang unggul.
Tidak dapat dipungkiri memang, di masa-masa liberalisasi politik saat ini, seluruh kelompok yang ada sedang berusaha menjadi pemenang. Itu berlaku bukan hanya berkisar pada kelompok kanan dan kiri yang ekstrem, tetapi juga kelompok tengahan yang juga tampak mengalami proses kebekuan dan kebuntuan berpikir.
Mereka yang berjuang dengan bendera Islam, yang membawa seragam nasionalisme sekular dan yang mengaku moderat, semuanya mengatasnamakan “demi bangsa Indonesia dan demi kemanusiaan”. Alih-alih melakukan konsolidasi, mereka malah saling menggergaji. Momen-momen penting ini terjadi secara krusial pada Pilkada DKI Jakarta dan diprekdisikan akan semakin sengit pada Pilkada selanjutnya dan Pilpres 2019 mendatang.
Lantas di mana Islam yang berkemajuan? Pertanyaan ini diajukan kepada seluruh anggota PCI IMM Australia dan para hadirin dari pelbagai elemen organisasi keislaman di Canberra, khususnya Australia Indonesia Muslim Foundation-ACT (AIMFACT).
Memang untuk menjawab hal ini, tidaklah mudah. Hanya saja, selama kita berpijak kepada prinsip-prinsip etis di dalam Islam, seperti mengutamakan perdamaian, persaudaraan, kemanusiaan dan keadilan, maka akan mampu menyusun rencana-rencana pembangunan umat jangka panjang. Kerja politik yang ada, tidak boleh sekedar dimaknai sebagai pertarungan perebutan kekuasaan semata-mata, tetapi harus saling bekerjasama untuk pembangunan peradaban.
Persoalan-persoalan pelik yang ditemui di lapangan adalah, tidak adanya satu suara di antara mereka yang mengaku berjuang demi bangsa. Bahkan, di dalam kelompok Islam sendiri, mereka terpecah belah dengan segala kepentingan politik kekuasaan masing-masing individu dan kelompok. Misalnya saja, barangkali Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah, dalam persoalan pemikiran dan praktik keagamaan sudah tidak lagi mempersoalkan perbedaan. Akan tetapi tatkala membicarakan perihal politik kekuasaan, mereka bisa sangat berbeda.
Islam yang berkemajuan semestinya mampu menyelesaikan hal-hal yang sangat penting ini. Bukan politik praktis-pragmatis dan barangkali oportunis jangka pendek yang mesti dikedepankan, tetapi politik jangka panjang yang mengindahkan segala falsafah kebangsaan dan keindonesiaan, demi membangun keutuhan umat, keadilan di muka bumi, kesejahteraan sosial, mengikis segala tindak dehumanisasi, mengentaskan kemiskinan dan lain sebagainya.
Muhammadiyah sendiri pernah mengajukan konsep pemikiran Islam dan kebangsaan yang genuine dan sangat penting, yakni Dar al-Ahdi wa al-Syahadah. Maknanya, Indonesia harus dipandang sebagai Negara Pancasila yang disepakati melalui sebuah konsensus kebangsaan dan disaksikan sebagai negara yang Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur. Karena itu Dar al-Ahdi wa al-Syahadah ini bersifat partisipatoris, proaktif dan progresif.
Kaum Muslim bukan sekedar harus yakin bahwa kita mampu membangun peradaban kemanusiaan yang unggul, tetapi juga kerja-kerja mulia pembangunan peradaban perlu dipelopori, dilangsungkan dan disempurnakan, dan bahkan perlu sekali untuk menjaga dan memastikan agar supaya hal ini bersifat berkelanjutan.
Dalam kesempatan tersebut, Dr Haedar melantik Hasnan Bachtiar (Master of Islam in the Modern World, Australian National University/ANU) sebagai Ketua Umum, Syasa Yuania Fadila Masudi (Master of Strategic Studies, ANU) sebagai Sekretaris, Rahmat Ibrahim (Master of Diplomacy, ANU), Ahmad Amin Sulaiman (Master of Cognitive Psychology and Educational Practive, Flinders University), Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (PhD in International Relations, University of Queensland), Januari Pratama Nurrati Trisnainingtias (Master of Middle Eastern and Central Asian Studies, ANU), Qurrah A’yun (Bachelor of Psychology), Andarta Khoir (Master of Artificial Intelligence, ANU), Ilyas Taufiqurrohman (Master of Energy Change), Sonya (Bachelor of Psychology) dan Ave Suakanila Fauzisar (Master of Environment, ANU), M. Naufal (Bachelor of International Relations), dan Al Mahdi (University of Queensland) sebagai ketua di pelbagai bidang yang ada.
Setelah melantik, Dr Haedar, Imran Hanafi, Dr Kasiyarno (Rektor UAD yang kebetulan hadir) dan semuanya, mendoakan, merestui dan memberikan nasehat kepada PCI IMM Australia ini. PCI IMM Australia diharapkan mampu mendakwahkan Islam Berkemajuan di dunia global, sekaligus mempelopori kontribusi di pelbagai bidang ilmu pengetahuan mutakhir, khususnya yang belum menjadi trend di tanah air, seperti artificial intelligence, energy change dan lain sebagainya.[hb]