Senin malam, 19 Februari 2018, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dr Haedar Nashir menyampaikan ceramah di hadapan seluruh umat Muslim Indonesia yang ada di Canberra, Australia. Acara yang diselenggarakan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) ini, diselenggarakan atas kerjasama Australia Indonesia Muslim Foundation-ACT (AIMFACT) dan Komunitas Pengajian Khataman Canberra.
Tema besar yang diusung pada acara kali ini adalah, “Spirit Religiusitas dalam Menguatkan Tali Kebangsaan.” Dalam kesempatan ini, Haedar menyatakan, dalam menjaga kelangsungan NKRI, kita memerlukan hal yang melampaui segala kalkulasi rasional manusia, yakni religiusitas atau spiritualitas. Menurutnya, dengan spiritualitas ini berarti terdapat campur tangan dimensi kehidupan yang lebih tinggi, atau lazim disebut dimensi transenden.
Mengapa demikian? Karena manusia memiliki segala potensi, baik itu yang baik dan sebaliknya. Tatkala manusia kehilangan wajahnya yang ramah, baik dan sempurna, maka sudah semestinya jalan agama menuntunnya agar kembali kepada kesucian. Jadi agama dalam konteks ini, berfungsi menyucikan segala perilaku manusia agar kebaikan yang ada di dalam dirinya bersifat berkelanjutan.
Hal ini tentu saja berlaku dalam segala lingkup kehidupan, baik itu individual maupun sosial. Seorang individu yang baik, maka memiliki kesempatan yang lebih besar agar seluruh kehidupannya menjadi baik. Orang tua yang baik, lebih mampu menciptakan rumah tangga yang baik. Dalam tataran kenegaraan, maka pemerintah yang baik, niscaya akan mampu mendorong rakyatnya agar menjadi baik pula. Di dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad Saw adalah contoh terbaik daripada pribadi yang mulia, yang telah terbukti menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang baik, yang berkeadaban dan berperadaban tinggi.
Bagaimana hal ini dapat berlaku di ranah kebangsaan? Pertama, kita harus memahami betul falsafah kebangsaan kita; Kedua, kita berjuang dan bekerja keras membangun bangsa dengan segala nilai dari falsafah tersebut; Ketiga, sebagai sesama orang bangsa, kita harus merawat tali persaudaraan kebangsaan kita.
Yang pertama, falsafah kebangsaan kita adalah tauhid. Secara historis, para pendiri bangsa Indonesia telah berusaha meletakkan fondasi filosofis kebangsaan yang kokoh, yang sangat bernuansa religius. Misalnya dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat kata-kata “Atas berkat rahmat Allah…” Di dalam perumusan Pancasila juga demikian. Para tokoh bangsa, khususnya Ki Bagoes Hadikoesoemo berperan penting dalam menetapkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama di dalam dasar negara ini, sekaligus menghapus sila mengenai kewajiban menerapkan syariat Islam. Ini adalah hadiah terbesar umat Islam untuk bangsa Indonesia.
Yang kedua, pembangunan bangsa harus mencerminkan religiusitas atau spiritualitas (dalam bahasa agama adalah tauhid). Jika pembangunan bangsa hanya didasari oleh prinsip-prinsip kompetisi yang kering dari sentuhan agama, maka yang akan terjadi adalah segala hal yang bersifat destruktif dan bahkan dehumanistik. Misalnya saja dalam pembangunan bidang politik dan ekonomi, sesungguhnya kita tidak diperkenankan menggunakan segala cara untuk menggapai kekuasaan dan kekayaan. Segala hal yang kita lakukan dan kita dapat, pasti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Di ranah kehidupan sosial dan kebudayaan juga tidak berbeda. Saat ini oleh beberapa pihak, pelbagai nilai Barat yang tentu saja berbeda dengan nilai-nilai Islam hendak diterapkan dengan banyak cara. Tentu kita harus bekerja keras mencegahnya karena hal itu bertentangan dengan falsafah bangsa.
Yang ketiga, kita harus pandai merawat tali persaudaraan kebangsaan kita. Barangkali ini adalah hal yang paling krusial. Hal ini dianggap krusial karena bertepatan dengan kontestasi politik daerah atau Pilkada, dan Pilpres yang akan dihelat pada 2019 mendatang. Dalam situasi tersebut, rentan terjadi perpecahan, polarisasi dan konflik. Karena itu, urusan politik, perbedaan kepentingan dan perbedaan bendera kelompok, tidak boleh melukai persaudaraan kebangsaan. Hal ini tentu tidak mudah. Tapi akan menjadi sangat berfaedah, jika kita kembalikan semuanya kepada petunjuk agama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa, cita-cita kita bersama sebenarnya ingin menjadikan bangsa ini sebagai “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Artinya adalah bangsa yang bukan sekedar adil, makmur dan sejahtera, namun juga diberkati oleh ampunan Allah SWT. Semoga dengan menjaga sustainabilitas kebaikan di dalam diri kita, dengan segala nilai religiusitas dan spiritualitas yang tertuang dalam falsafah kebangsaan, kita mampu mewujudkan cita-cita kita bersama.[hb]