YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif bersama beberapa tokoh meluncurkan buku berjudul “Ahmad Syafii Maarif Sebagai Seorang Jurnalis” di Hotel Grand Quality, Sleman, DIY, Sabtu (23/2) malam. Buku tersebut berisi ulasan tentang kiprah kejurnalistikan Buya Syafii yang bergelut di media Majalah Suara Muhammadiyah.
“Saya hargai (pembuatan buku ini). Dari puluhan tulisan yang saya gak ingat lagi. Tulisan saya kemudian ditampilkan kembali oleh tim sejarawan Suara Muhammadiyah,” ujar Buya Syafii Maarif di acara Gala Dinner peluncuran bukunya.
Melalui buku ini, Buya bisa membandingkan perjalanan hidupnya. Lewat tulisan-tulisannya tersebut, Buya bisa melihat perjalanan pemikirannya dari masa ke masa. “Saya bisa bandingkan dulu saya masih ingusan. (Ini) berguna untuk melihat perjalanan pemikiran,” ungkapnya.
Buya sempat mengomentari perkembangan dunia pers saat ini. Menurutnya saat ini bisnis media sudah lebih baik dari masa sebelumnya. Selain itu Buya juga menilai pengetahuan wartawan saat ini pun juga lebih baik dibandingkan sebelumnya. “Yang kadang saya sedih wartawan kalau media dikuasai pengusaha. Agak sedikit khawatir. Kehilangan independensi. Jagalah itu untuk mendidik rakyat. Independensi itu penting. Orang harus berpikir jernih. Harus fair,” urai Guru Besar UNY ini.
Buya meminta agar media saat ini bisa berkaca dari Harian Indonesia Raya yang dibuat oleh Mochtar Lubis. Buya berharap sosok Mochtar Lubis bisa menjadi teladan bagi para pemilik media maupun wartawan.
“Pemimpin (media) harus punya integritas. (Mochtar Lubis) punya idelaisme tinggi sekali Walaupun resikonya ada. Mochtar Kubis ditahan dan dipenjara. Sekarang sudah ga ada lagi. Wartawan perlu belajarlah pada senior. Agar idealisme itu bukan idealisme musiman tapi bertahan lama,” tutup Buya
Sebagai jurnalis Suara Muhammadyah mulai 1965 hingga 1982, Buya banyak berinteraksi dan belajar dari sepak terjang sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang saat itu. Mulai dari Menteri Luar Negeri Indonesia 1956-1957, Roeslan Abdulgani; Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution; pendiri Partai Masyumi M.Natsir, Haji Agus Salim, termasuk presiden dan wakil presiden RI pertama Soekarno-Muhammad Hatta. “Kelebihan politisi zaman dulu itu mereka kuat literasinya dan menguasai banyak bahasa,” ujar Buya.
Buya melihat para tokoh bangsa di masa lalu merupakan politikus yang amat berani. Tidak jarang saling bergesekan karena perbedaan ideologi. Namun, semua diselesaikan dengan dewasa.
Sementara itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo yang hadir dalam acara peluncuran buku “Ahmad Syafii Maarif sebagai Seorang Jurnalis” mengatakan, dirinya menaruh rasa hormat dan kekaguman yang tinggi kepada Buya Syafii Maarif. Dalam pandangan Bamsoet, Buya Syafii adalah tokoh sekaligus guru bangsa yang selalu membimbing dan memberikan inspirasi.
“Jujur, saya bisa terpilih menjadi Ketua DPR RI tak terlepas dari nasihat dan petuah beliau kepada saya selama ini. Tanpa nasihat itu, mungkin saya belum bisa mencapai posisi tinggi seperti ini dalam dunia politik,” kata Bamsoet.
Dia bertekad untuk terus meneladani Buya Syafii. “Belajar dari dari Buya, Insya Allah saya akan tetap berada di garis politik kebajikan,” katanya. Bamsoet juga melihat di masyarakat, ketokohan Buya Syafii lebih dikenal sebagai cendekiawan, tokoh agama, Ulama, dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Ketokohannya sebagai seorang jurnalis tidak banyak diketahui publik. “Padahal sejak usia muda beliau adalah seorang jurnalis. Pernah menjadi korektor atau redaktur di Suara Muhammadiyah. Beliau juga anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia, sama seperti saya,” aku Bamsoet.
Sebagai jurnalis, Bamsoet punya kekaguman tersendiri kepada Buya Syafii yang dinilai analisis dan tulisannya sangat tajam dan mendalam. Keberpihakan Buya Syafii kepada kebenaran dan keadilan, kata dia, jauh melampaui para jurnalis pada umumnya.
Bamsoet berharap Buya Syafii terus menulis dan berkarya menyampaikan gagasan dan pemikiran untuk memberikan pencerahan kepada semua anak bangsa. Hingga usia yang sekarang, Buya masih sempat menjadi kolumnis tetap di sebuah media nasional, yang tulisannya terbit setiap pekan. (Ribas)