Oleh: Nurbani Yusuf
Menjadi redaktur dan korektor sejak tahun 1965 hingga 1982, non aktif beberapa tahun karena studi di Chicago tapi masih aktif sebagai koresponden. Kemudian menjadi pemimpin redaksi, ketua dewan pengarah hingga saat ini. Tak berbilang tulisan lahir dari buah pikirnya. Buya Syafi’i Maarif adalah ruh majalah Suara Muhammadiyah. Suara Muhammadiyahadalah ‘corong’ pergerakan. Lebih dari separo usianya dan Suara Muhammadiyahmenyatu dalam aktifitas dan pemikirannya.
Syafi’i Maarif pemuda kelahiran Sumpur Kudus Sumatra Barat di usia belasan sudah aktif di koran Persyarikatan, Istiqomah hingga hari tuanya. Sebuah perjalanan panjang seorang aktifis pegerakan, ada pasang-ada surut, dipuja juga dihujat, terus berkhidmat untuk Persyarikatan tanpa jeda. Sosok besar yang sederhana, mudah ditemui tanpa janji, dan enak diajak ngobrol.
Di usianya yang sepuh, Buya tetap produktif menulis, bahkan jauh lebih produktif ketimbang anak muda yang pernah menyebutnya sebagai seorang ‘tua pikun’ hanya karena beda pandang sedikit. Sebuah dunia jurnalistik yang membanggakan. Sosok ulama, pemikir dan cendekiawan yang konsisten dan berintergritas. Tak banyak pemikir dan penulis berpadu sekaligus.
Suara Muhammadiyah, pernah terbit bulanan, kadang dua mingguan dan pernah pula mingguan. Telah terbit satu abad lebih. Tepatnya 108 tahun. Koran paling tua yang tetap terbit ketika koran yang lain jatuh bangun dan gulung tikar, dengan semangat terbarukan. Di tengah pasang surut ekonomi dan politik, Suara Muhammadiyahterus terbit dan jejak Buya Syafi’i Maarif terlihat jelas tapaknya, tidak terbantahkan.
Tak salah jika Suara Muhammadiyah pada miladnya membuktikan itu dan mengapresiasi kerja keras Buya selama berpuluh tahun Istiqomah. Peluncuran buku Buya Syafii Sang Jurnalis dan peresmian Graha Suara Muhammadiyah. Tak kurang Ketua DPR RI Bamsoet, Menteri BUMN Rini Suwandi, Ketua PP Ustdz Haedar Nashir hadir langsung. Buya terus menulis menuangkan ide dan gagasan pada kalam dan kertas dibaca ribuan bahkan jutaan jamaah MUHAMMADIYAH di seluruh tanah air. Tulisannya khas, luas pandangan dan memancing berfikir kritis dan inovatif, meski belakangan sebagian kecil yang belum paham menghujat karena dianggap kontroversi sebab buah pikirnya kerap berbeda dengan logika kebanyakan.
Tapi disitulah kekuatan tulisannya, hadir sebagai sosok guru, orang tua dan pendidik yang mengajak berpikir luas, santun dan tidak menggurui apalagi menjustifikasi. Beliau tetap istiqamah dan bersabar. Tidak pernah mengeluh apalagi membalaskan sakitnya atau melakukan pembelaan dalam tulisannya meski beliau mampu melakukannya.
Kita boleh mengambil gelar Buya darinya atau mahkotanya sekalipun kalau punya. Buya tidak akan berkeberatan sebab beliau tidak butuh semua itu. Beliau juga tak sibuk melakukan pembelaan atas dirinya dengan kasus atau soal pribadinya dan keluarganya sebagaimana ada sebagian ulama yang lain. Beliau tak pernah merepotkan saat diundang. Datang tak menunggu jemputan. Pulang tak tunggu pengawalan.
Jujur tak banyak orang tua masih tetap produktif hingga di usianya yang sudah sepuh. Dengan kekuatan pandangan dan perspektif yang melampaui. Tulisan beliau hadir setiap hari di berbagai media nasional menjadi rujukan dan bahan bincang menarik. Itulah cendekiawan. Itulah pemikir. Itulah ulama. Itulah guru. Dengan segala kekurangannya. Dan siapapun boleh bersetuju atau tidak bersetuju dengan buah pikirnya tanpa saling merendahkan.
Selamat Buya Syafi’i Maarif. Selamat Suara Muhammadiyah, selamat Persyarikatan-ku tercinta. Barakallah.. Aamiin
*Penulis tergabung di Komunitas Padhang Makhsyar