YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Tahrir Foundation melakukan penandatanganan MoU Pemberdayaan Umat pada Kamis (01/03). Penandatanganan MoU itu diawali dengan talkshow bertema “Filantropi untuk Pemberdayaan Umat” yang dipandu oleh Najwa Shihab.
Kegiatan kemitraan yang berlangsung di Grha Sabha Pramana UGM itu dilakukan oleh Rektor UGM Prof Ir Panut Mulyono, MEng, DEng, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir MSi, dan Pendiri Tahir Foundation Prof Dr Dato’ Sri Tahrir, MBA. Turut disaksikan Menteri Sekretaris Negara Prof Pratikno, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini, pimpinan UGM dan pimpinan Muhammadiyah lainnya.
Program yang akan bergulir selama lima tahun ini didanai oleh Tahir Foundation sebesar 250 Milyar atau 50 Milyar per tahun. Peruntukannya untuk seluruh Indonesia dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja. Selanjutnya, akan dilakukan evaluasi bersama, apakah efektif untuk dilanjutkan atau diperbaharui.
“Kerja sama tripartit ini dibangun dalam prinsip filantropi, melakukan aksi kemanusiaan untuk kebaikan bersama dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok manusia dan lingkungan, di tengah menguatnya identitas primordial akhir-akhir ini,” kata Pendiri dan Pimpinan Tahir Foundation, Prof Dr Dato’ Sri Tahir, MBA itu.
Muhammadiyah dan UGM dipilih dalam kerja sama ini karena alasan Muhammadiyah dan UGM memiliki pengalaman panjang serta jaringan luas dalam praktik pemberdayaan masyarakat. Muhammadiyah juga merupakan organisasi Islam modern terbesar di Indonesia yang telah melakukan program-program filantropi di berbagai wilayah di Indonesia. “Kerja sama tripartit ini juga didasarkan pada prinsip otonomi dan independensi masing-masing pihak, baik itu Tahir Foundation, UGM, dan Muhammadiyah. Masing-masing lembaga otonom memiliki independensi dalam bertindak dan kepentingan yang mandiri,” katanya.
Rektor UGM, Prof Panut Mulyono mengatakan, kegiatan pemberdayaan umat nanti akan diformulasikan lebih detail dan diharapkan bisa menjadi percontohan program serta terdokumentasi dengan baik sehingga ke depan mampu diaplikasikan oleh pihak lain. “Kita juga berencana mengikutkan mahasiswa agar bisa menjadi rujukan akamedik. Jadi setelah lulus, nanti mahasiswa diharapkan menjadi pribadi yang peduli terhadap masyarakat, memiliki naluri dan karakter dari proses ini,” ujarnya.
Panut juga menyatakan bahwa kerja sama ini sudah tepat. Masyarakat yang berdaya membutuhkan pendidikan. “Pendidikan yang baik harus punya biaya untuk menyekolahkan anaknya. UGM punya kultur sejak dulu bahwa kepedulian terhadap mereka yang kurang mampu sudah sangat kuat. 7 ribu mahasiswa KKN ke pelosok setiap tahunnya,” ujarnya.
Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, pengalaman Muhammadiyah dalam program pemberdayaan umat selama ini diharapkan menjadi kekuatan yang inovatif dan akseleratif. Haedar mencontohkan pemberdayaan Muhammadiyah di suku Bajo yang mendirikan sekolah di tengah laut, pemberdayaan dan pendirian sekolah di suku pedalaman Dayak, pemberdayaan suku Kokoda Papua, dan lainnya.
“Nanti akan dibagi, titik mana dipegang Muhammadiyah, mana pihak lain. Kebetulan kami punya infrastruktur luas di setiap daerah, punya modal awal dan pengalaman, semoga menjadi lebih masif, itu yang diharapkan. Nanti progresnya setiap tahun akan dievaluasi,” jelasnya.
Menurut Haedar, inisiatif yang dilakukan Tahir Foundation menjadi contoh bagi pengusaha lainnya untuk memiliki kepedulian terhadap sesama. Ketika banyak orang cemas tentang kesenjangan sosial, kata Haedar, kegiatan filantropi yang dilakukan ini menjadi semacam oase. Bahwa ada banyak potensi yang bisa digerakkan oleh orang-orang baik dengan niat yang tulus.
“Harapan kami, semoga ketulusan Tahir Foundation dan kesiapan Muhammadiyah dan UGM diharapkan ini menjadi jalan produktif, di saat banyak orang pesimis dan sinis bahwa bangsa ini punya potensi yang perlu dioptimalkan,” tutur Haedar.
Haedar menyebut ada beberapa karakter umat yang berdaya. Yaitu mereka yang tidak memiliki mentalitas tangan di bawah, mereka terus berikhtiar untuk selalu bergerak. Mereka juga punya pandangan untuk maju dan lalu saling memberdayakan dan berbagi, mereka tetap punya pranata sosial yang kuat, di saat yang sama mereka juga berkemajuan. Oleh karena itu, program ini diharapkan bisa membangun kesadaran dan membuka akses bagi masyarakat atau umat yang kurang beruntung.
Senada, Abdul Mu’ti menyatakan bahwa kegiatan ini bentuknya sungguh-sungguh, jauh dari kepentingan politik dan populisme. Mu’ti lalu menjelaskan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan islam berbasis filantropi. Sumber pendanaannya berasal dari 6 kantong. Yaitu zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, sedekah.
Program ini kata Mu’ti dilakukan atas prinsip pemberdayaan, bukan karikatif atau santunan (charity). “Ini bukan transaksional. Hadiah diberikan karena rasa cinta. Ini kemitraan, orang-orang baik harus bekerja sama, jika tidak, yang bekerja orang-orang yang tidak baik,” katanya. “Energi-energi kebaikan harus kita sinergikan,” tambah Mu’ti.
Mu’ti menguraikan bahwa dalam upaya pemberdayaan itu, faktor memberi akses itu lebih penting. Dia mengumpamakan, orang bisa mancing kalau ada tempat. Bisa mancing kalau ada ikan. Bukan hanya ngasih kail. “Belas kasihan yang muncul ketika memberi itu adalah karena cinta, bukan karena iba,” tekannya.
Menurutnya, pemberian keterampilan itu penting. Kemudian, harus ada tempat untuk mengaktualisasi keterampilan. “Banyak anak-anak terampil Indonesia yang keluar karena tidak ada ruang aktualisasi,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Menteri Pratikno menyebut bahwa masih banyak permasalahan-permasalahan di kalangan bawah yang perlu diselesaikan. Pemerintah tidak cukup punya kuasa untuk menyelesaikan semua problem yang sangat beragam dan kompleks ini. Kehadiran organisasi kemasyarakat seperti Muhammadiyah dan lembaga swasta seperti Tahir Foundation diharapkan bisa untuk mempercepat penyelesaian masalah sosial dan terwujadnya masyarakat yang berkeadilan. “Energi pemerintah terbatas, maka butuh kekuatan swasta. Kemitraan penting. Tidak ada yang besar jika tidak ada yang kecil,” katanya. (Ribas)