Oleh: Azaki Khoirudin
Rentang panjang perjalanan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) selama ini berada di tengah liku-liku kehidupan kebangsaan dan keummatan universal. Hari ini tanggal 14 Maret 2018, tepat IMM milad ke-54, tepat dihari kelahirannya pada tanggal 14 Maret 1964 silam. IMM lahir menegaskan dirinya sebagai “Cendekiawan Berpribadi” yang tidak malu-malu menampilkan keanggunan akhlaknya, keunggulan intelektualnya, dan transformasi gerakannya di tengah masyarakat.
Kemunculan IMM sebagai “cendekiawan” atau dalam bahasa Yudi Latif disebut dengan“inteligensia”, menuntut kehadiran IMM dalam pelbagai pergulatannya dalam mencari pengakuan dan otoritas politik. Sebagaimana Yudi Latief memetakan peralihan antargenerasi istilah “cendekiawan” dalam pengertian keterlibatan historis dari horizon intelektual. Dari kaoem moeda, bangsawan pikiran, pemoeda peladjar hingga sarjana dan cendekiawan Muslim Indonesia dari generasi ke generasi bergumul dengan persoalan bagaimana menentukan posisi mereka di tengah arena nasional dan merespons isu-isu penting di dunia Muslim.
Manifesto IMM yang menunjukkan “kecendekiaan” dapat dilihat ketika IMM mendeklarasikan “enam penegasan” di Kotabarat, Solo pada 5 Mei 1965 yang kemudian dikenal “Deklarasi Kotabarat”, antara lain: 1) IMM, adalah gerakan mahasiswa Islam; 2) Kepribadian Muhammadiyah, adalah landasan perjuangan IMM; 3) Fungsi IMM, adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator); 4) Ilmu adalah amaliyah IMM dan amal adalah ilmiyah IMM; 5) IMM, adalah organisasi yang sah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku; 6) Amal IMM, dilahirkan dan diabadikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.
IMM lahir di era 1960-an yang mana istilah ‘cendekiawan’ (atau ‘tjendekiawan’ dalam ejaan lama) mulai memiliki konotasi politiknya bersinonim dengan konsep ‘intelektual’ atau ‘inteligensia’ pada waktu itu. Ini terlihat dari berdirinya sebuah perhimpunan intelektual sayap kiri, Organisasi Tjendekiawan Indonesia (OTI) pada awal tahun 1965. Tidak lama kemudian, majalah perjuangan milik Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) cabang Bandung, yaitu Tjendekiawan Berdjuang terbit pada tahun 1966. Pada tahun 1970-an, istilah tersebut dipergunakan secara reguler dalam wacana publik Indonesia sebagai dampak dari kebijakan Orde Baru untuk menggantikan kata-kata dan peristilahan-peristilahan dari Barat dengan katakata dan peristilahan-peristilahan Indonesia.
Realitas hari ini meskipun IMM dalam mars perjuanngannya menegaskan diri “kitalah cendekiawan berpribadi”, namun IMM lebih memilih dirinya dengan kaum intelektual. Kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai “Gerakan Intelektual Profetik” (GIP). Paradigma GIP merupakan pilihan bahwa intelektual atau ulama adalah pewaris nilai-nilai kenabian. Dengan kesadaran profetik yang dimiliki, maka IMM secara otomatically mengemban misi kenabian sehingga tercapai masyarakat yang dicita-citakan, yaitu masyarakat berperadaban. Dalam bahasa lain disebut dengan al-Madinah al-Munawwarah (masyarakat yang tercerahkan, atau al-Madinah al-Fadhilah (masyarakat yang berkemajuan). Usaha perjuangan itu didasari dengan apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “Etika Profetik” yang terdiri dari “Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi”
Hari ini pula, IMM sebagai gerakan intelektual dan organisasi kemahasiswaan, eksistensi mengadapi tantangan tersendiri. IMM dituntut untuk berperan sebagai gerakan mahasiswa yang memiliki basis anggota kaum terdidik harus mampu melakukan transformasi masyarakat. Tentu tidak bisa dinafikkan, bahwa perjalanan IMM telah memberikan warna bagi entitas-entitas yang lain. Paling tidak IMM telah memberikan warna bagi dirinya, sehingga menampilkan sosok yang selama tampil, entah itu sosok yang telah memberikan warna dinamis-progresif dan kritis-transformatif dalam melakukan perubahan cara pandang (word-view), prilaku, ideologi bagi kaum terpelajar dan dunia kemahasiswaan.
Di usianya yang sudah 54 tahun, bukanlah waktu yang cukup untuk menunjukkan sebuah eksistensi yang established. Namun juga, bukan waktu yang singkat untuk mengukir sejarah pergerakan yang dinamis mengikuti arus besar perubahan yang memang cepat dan serba uncertainty ini. Lantas di usia sedemikian itu, apa yang sudah diperbuat IMM? Apa pula yang hendak dilakukan (what next)? Tentu jawabannya dikembalikan kepada kader-kader IMM.
Menurut saya IMM harus senantiasa bercermin dari realitas yang ada, untuk meyakini bahwa diri kita bukan entitas yang paling eksistensial, bahkan mungkin kalau mau jujur IMM mungkin masih tertinggal dari yang lain. Tetapi IMM tidak mesti kawatir, justru kita bisa optimis bahwa organisasi kita tidak termasuk daftar organisasi yang mengeruk kekayaan rakyat, yang selama ini menjadi ultimate of goal dari aktifitasnya. Paling tidak, IMM harus mampu melahirkan kader-kader excellent, clean, yang tidak terkontaminasi oleh arus pembusukan moral bangsa, walaupun secara kuantitatif relatif belum banyak, tetapi yakinlah bahwa kita pasti akan menjadi mainstream dari organisasi yang ada sekarang ini.
Tentu itu semua memerlukan evaluasi secara kontinyu, bahkan kalau perlu melakukan kaji ulang secara cerdas terhadap teks-teks suci yang kita miliki, demi kesinambungan dalam membangun spirit gerakan IMM, sehingga tidak lapuk terkena hujan dan tidak lekang terkena panas. Peran strategis kader-kader IMM dalam mengambil alih posisi, atau bahkan harus merebut peran intelektual disemua sektor lapisan society (masyarakat) sehingga bangunan civil society akan empowering terhadap dominasi dan hegemonik state, atau entitas-entitas yang menghegemonik lainnya.
IMM harus bersungguh-sungguh malakukan kaderisasi bagi lahirnya kader-kader intelektual strategik, yang tentu dengan tidak malu-malu menampilkan keanggunan moralitas (akhlakul karimah), maka dibutuhkan instrumen-instrumen untuk mendukung kearah terciptanya kader-kader tersebut, paling tidak yang paling sederhana tetapi urgen adalah lingkaran-lingkaran diskusi (membangun lingkar inti), membangun aliansi strategik dengan kelompok-kelompok yang lainnya. Maka ke depan alumni-alumni IMM akan mampu menjadi aktor-aktor bangsa ini yang paling tidak bergerak pada tiga aras yaitu politik, ekonomi, dan budaya.
“Cendekiawan Berpribadi” harus menjadi ikon gerakan (trand mark) IMM yang mencerminkan gerakan mahasiswa Islam berbeda dengan pergerakan lain. Dengan Gerakan Intelektual Profetik, pada kader-kader yang ditempa melalui IMM harus siap menjadi penentu negara dan pelukis sejarah bangsa ini. Tugas IMM menjadi gerakan intelektual praksis telah dinanti sebagai komunitas kreatif untuk melakukan inovasi sosial.
*Penulis adalah Anggota Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2020
Baca :
Tentang IMM dan Kadernya (Sebuah Refleksi Milad)
Kepak Sayap Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Australia
DPP IMM Ajak Mahasiswa Tekuni Kuliah dan Organisasi Secara Seimbang