YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Prof Dr Din Syamsuddin menyampaikan Orasi Kebangsaan dalam rangkaian Milad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ke-54 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (14/03). Din yang juga kader IMM menyapaikan Orasi Kebangsaan dengan tema Pancasila dan Peradaban Dunia.
Dengan berbagai kiprah sebagai Co-President of Religions for Peace International dan pengalaman menghadiri konferensi internasional, menurutnya baik secara teoritis maupun secara empiris banyak tokoh dunia dewasa ini yang memberikan apresiasi kepada Pancasila. Apresiasi tersebut disampaikan oleh Community of Sant’Egidio salah satu Ormas Khatolik berpusat di Roma. “Perwakilan Paus Benedictus XVI di Spanyol dalam sambutan pada pembukaan konferensi tadi ada menyebutkan model negara yang cocok untuk masa depan itu adalah Indonesia dengan Pancasila.”
Selanjutnya Din teringat dalam The 2nd Chatolic-Muslim Forum, seorang tokoh khatolik dari Jerman memberikan apresiasi tentang Bhinneka Tunggal Ika. “Profesor tersebut menyebutkan bahwa untuk dunia yang majemuk seperti sekarang ini memerlukan satu nilai-nilai pengikat, Bhinneka Tunggal Ika yang ada di Indonesia itu bisa menjadi model,” ungkap Din.
Selain itu, Din juga menyayangkan bahwa di luar negeri Pancasila dipuji, tapi di dalam negeri dicaci maki. “Begitu juga Presiden dari sebuah organisasi budha di Jepang yang cukup berpengaruh datang dan memberikan apresiasi kepada Indonesia dengan Pancasila termasuk dengan Bhinneka Tunggal Ika,” imbuhnya.
Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar-Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) tersebut mengingatkan bahwa peradaban dunia sekarang ini sebenarnya mengalami kerusakan, ada yang menyebutnya the world civilization sedang mengalami disorder (ketakteraturan), the world of uncertainty (dunia yang mengalami ketakpastian), the great disruption, serta ada juga yang menyebut the big shift (pergeseran besar).
Hal tersebut dikarenakan dunia saat ini mengamalkan dan sesungguhnya berpangkal pada humanisme sekuler, liberalisme ekonomi, politik, budaya yang sesungguhnya adalah anti tuhan atau terlalu berwajah antroposentristik (manusia sebagai pusat kehidupan). “Manusia merasa serba bisa, serba kuasa, dan bisa menciptakan apa saja, meninggalkan tuhan,” tandasnya.
Oleh karena itu, menurut Din, memerlukan solusi terhadap peradaban dunia sekarang ini. Pertama, Solusi perlu diberikan terhadap kemajemukan, terhadap pluralitas dan pluralisme, umat manusia di dunia ini sangat plural baik atas dasar ras, bangsa, suku, bahasa, budaya, dan lain sebagainya. “Kemajemukan di dunia, seperti juga di Indonesia dan kemajemukan di banyak negara, meskipun negara bangsa tapi penduduknya datang dari berbagai negara lain, Eropa, Amerika sangat plural sekali,” lanjut Din.
Ia berpendapat, terhadap fakta kemajemukan semacam itu perlu satu ideologi, suatu kesepakatan untuk hidup bersama seperti Bhinneka Tunggal Ika dalam skala global perlu dinaikkan. Seperti halnya Islam, jauh sebelum Hak Asasi Manusia, 15 abad yang lalu telah memberi solusi Lewat Piagam Madinah yang diprakarsai oleh nabi Muhammad SAW. “Dipraktekkan lewat hidup bersama, berdampingan secara damai, pengakuan terhadap kemajemukan” ungkap Din.
Solusi Kedua, menurut Din jika bisa Bhinneka Tunggal Ika tidak sekedar menjadi slogan pengikat tapi bersifat ideologi yang telah dimiliki di Indonesia yaitu Pancasila. “Kalau betul-betul dengan jernih, dengan objektif, kita dalami Pancasila dari nilai-nilainya, dan menjadi kesepakatan dalam musyawarah besar pemuka agama, sangat mencerminkan nilai-nilai agama” lanjutnya.
Din juga menyampaikan bahwa Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah seperti yang disahkan di Muktamar Muhammadiyah 2015 di Makassar. Yaitu Konsensus nasional dan tempat bersaksi (dar al-ahdi), maka juga harus ikut mengisi dan berbuat (dar al-syahadah).
Poin pentingnya, menurut Din, adalah merealisasikan Pancasila namun masalah besar Indonesia dewasa ini karena meninggalkan Pancasila sistem politik, jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan sila keempat yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyrawaratan Perwakilan.
“Begitu juga sistem ekonomi kita dengan hasilnya menimbulkan kesenjangan, gini index kita hampir 0,4 segelintir orang menguasai hampir 60 persen dan seterusnya yang membuat kesenjangan semacam ini karena jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tegasnya.
Ia juga menyayangkan ketika seseorang mengatakan “Saya Pancasila”, berarti orang lain tidak Pancasila karena klaim monopolistik semacam itu justru sesungguhnya dia tidak ber-Pancasila. “Ketika seseorang mengatakan mengatakan saya Islam seolah-olah orang lain tidak Islam, itu pikiran menegasi, tidak inklusif. Maka saya berpendapat sesungguhnya dia itu tidak Islam.”
Sebagai UKP-DKAAP, berdasarkan Mandat Ketiga Kepres Din dimandatkan mempromosikan Islam wasathiyah dalam prinsip rahmatan lil alamin. Oleh karena itu pada 1-3 Mei 2018 mendatang akan diadakan High Level Consultation Of Wold Muslim Scholar Of Wasathiyah Islam. “Pikiran Indonesia tentang wasathiyah Islam yang tidak hanya konsepsi tapi juga dalam prakteknya rancang bangun bangsa ini telah menampilkan wasathiyah Islam,” tambah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Selanjutnya Din berpendapat solusi terhadap persoalan permasalahan kebangsaan tidak cukup berkata-kata tapi harus dengan perbuatan nyata. “Inilah upaya kita mengaitkan Pancasila dengan peradaban dunia jadi tidak hanya teori, secara substansial Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika itu bagus dan penting, bagi upaya mengatasi peradaban dunia yang telah rusak,” pungkasnya.(rizq)