JAMTOLI, Suara Muhammadiyah–Al-Maun. Nama salah satu surat dalam Al-Qur’an. Banyak orang membacanya, di dalam ibadah shalat maupun dalam tadarus dan pengajian. Namun, al-Maun memiliki daya gugah yang tidak biasa di mata KH Ahmad Dahlan. Al-Maun menggerakkan kiai Dahlan dan para muridnya untuk amal nyata. Menolong mustadl’afin dan sesama hamba, memajukan dan mencerahkan peradaban, mencerdaskan dan membebaskan dari kebodohan. Melahirkan Persyarikatan Muhammadiyah.
Semangat al-Maun terus menyinari gerak langkah Muhammadiyah. Di saat bencana alam dan bencana kemanusiaan melanda, Muhammadiyah hadir. Melalui MDMC dan Lazismu. Tidak hanya bagi yang seagama, tidak juga terbatas di Indonesia, Muhammadiyah melintasi sekat-sekat SARA. Belakangan, Muhammadiyah Aid hadir di tengah pengungsi Rohingya. Tepatnya di kamp Jamtoli, Bangladesh yang berlokasi di tepi perbatasan Myanmar.
Adalah dr Nuha Aulia Rahman dari RS Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, memimpin tim dokter dari Indonesia. Dalam misi yang merupakan bagian dari Indonesia Humanitarian Alliance (IHA) ini, dr Nuha didampingi oleh Kharisma Dwi Angga, perawat dari RS PKU Muhammadiyah Cepu.
Muhammadiyah Aid adalah nama yang digunakan Muhammadiyah untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat dunia (luar negeri). Muhammadiyah Aid menyalurkan bantuan dari warga Muhammadiyah sesuai kebutuhan lokasi/negara yang memerlukan bantuan. Saat ini, Muhammadiyah Aid menjadi bagian aktif Tim IHA (Indonesian Humanitarian Alliance) yang dibentuk Kementerian Luar Negeri RI untuk respon kemanusiaan pengungsi Rohingya di Bangladesh, terutama untuk klaster Kesehatan yang berkerjasama dengan organisasi lokal “We The Dreamer” (WTD) Bangladesh.
Hingga akhir Februari 2018, tercatat sudah 12 tim yang diberangkatkan Indonesia Humanitarian Alliance (IHA). Dan Terakhir, tim ini dipimpin oleh seorang dokter muda dari Rumah Sakit Ahmad Dahlan Yogyakarta, yaitu dr Nuha Aulia Rahman. Tidak ada yang menyangka, dr Nuha merupakan salah satu putera dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir. Anak tokoh pucuk pimpinan itu melebur bersama para relawan dan pengungsi lainnya.
“Berawal dari kesempatan yang diberikan Muhammadiyah Aid kepada tenaga medis dari Rumah Sakit Muhammadiyah untuk bergabung dalam misi kemanusiaan bagi masyarakat Rohingya di Bangladesh. Alhamdulillah saya merupakan salah satu dokter yang diberikan amanah untuk mengemban tugas tersebut,” kata Nuha.
Saban hari, para dokter ini bertugas di sebuah posko sederhana, sekitar 1,5 jam dari pusat kota cox Bazar. Dilapisi dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan beratapkan terpal, suasana panas tidak terhindarkan. Di dalam ruangan, terdapat beberapa kursi plastik, meja lipat serta tempat tidur darurat untuk memeriksa pasien.
Dokter Nuha dan para relawan muda lainnya melayani sekitar 150 hingga 200 pasien setiap harinya. “Para pasien banyak yang tidak mau dirujuk berobat ke tempat lain. Sampai mereka bilang, ‘kami percaya dengan dokter dan obat dari Indonesia’. Kami merasa terharu atas penghargaan itu,” tutur dr Zuhdiyah Nihayati dari RS Muhammadiyah Lamongan, yang juga pernah menjadi ketua tim dokter sebelumnya.
Keberadaan posko dibagi menjadi beberapa blok. Setiap blok berupa sebuah bukit kecil yang tandus dan berdebu. Tempat tinggal pengungsi terbuat dari tenda terpal dan rangka bambu dengan jarak antar tenda yang berdekatan. Terdapat sumur pompa dan juga toilet umum dalam jumlah terbatas.
Sementara dari sisi kondisi gizi dan nutrisi, bisa dikatakan tidak tercukupi sepenuhnya. Dengan kondisi tempat tinggal seperti itu, kondisi kesehatan para pengungsi menjadi sangat rentan. Terutama penyakit yang terkait infeksi saluran pernapasan (ISPA), gangguan pencernaan, dan penyakit kulit.
Pemerintah Bangladesh hanya mengizinkan para relawan untuk berada di kamp dari pukul 10.00 pagi hingga 17.00 waktu setempat. Alasannya, Pemerintah Bangladesh tak bisa menyediakan listrik dan jaminan keamanan bagi para relawan di malam hari. Selepas itu, mereka harus kembali ke penginapan. Negara ini hanya mengizinkan tinggal selama 17 hari kepada para relawan kemanusiaan dengan berbagai syarat yang sulit. Setelah masa itu, para relawan akan bergantian.
Koordinator Tim Medis IHA, Corona Rintawan (dokter MDMC) menuturkan, tim medis yang dipimpin dr Nuha bertugas di Bangladesh selama 17 hari. Ia didampingi oleh Kharisma Dwi Angga, perawat dari RS PKU Muhammadiyah Cepu, serta dua lagi dari Tim Medis dari Rumah Zakat dan Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhid.
Seperti tim-tim lainnya, dokter Nuha juga harus menembus tapal batas kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka harus berkoordinasi dengan Pemerintah Bangladesh dan lembaga-lembaga kemanusiaan lokal maupun internasional. “Kira-kira, kondisinya masih sama seperti di awal kedatangan kami,” ujarnya.
Selain pelayanan kuratif, terdapat kegiatan-kegiatan lain berupa pemberian nutrisi tambahan kepada anak-anak serta mengajar dan bermain bersama mereka sebagai pemenuhan unsur psikis. Materi yang diajarkan berupa pengenalan huruf dan angka, bagian-bagian tubuh, menghafal surat-surat pendek al-Qur’an, serta promosi kesehatan seperti menyikat gigi, menggunting kuku, dan mencuci tangan.
Atas dedikasinya yang dinilai bagus, tim yang dipimpin dr Nuha ini, kata Corona, mendapat program khusus dari WHO. Yaitu program Acute Jaundice Syndrom atau penyakit kuning yang banyak muncul akhir-akhir ini. Dokter Nuha dan anggotanya juga diberi tugas untuk mengawasi renovasi atap posko Medis IHA. Hal ini karena kawasan kamp pengungsian akan menghadapi musim monsun, atau musim angin yang terkadang berhembus kencang. Mereka juga diharuskan untuk membuat saluran air guna mencegah banjir.
Melihat kondisi sosial-politik dan perkembangan para pengungsi yang masih membutuhkan pertolongan dan pendampingan, kata dr Corona, para relawan kesehatan yang tergabung dalam Indonesia Humanitarian Alliance akan terus bekerja hingga Desember 2018.
Begitulah, spirit al-Maun menggerakkan para relawan dalam tugas-tugas kemanusiaan, di tengah keheningan. Jauh dari riuh rendah politik tahun 2018. (ribas/foto:mdmc)