JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kembali mengadakan silaturahim kebangsaan. Mengusung tema “Mewujudkan Islam yang Damai dan Toleran Menuju Indonesia Berkeadilan”, kegiatan yang berlangsung di gedung PBNU lt. 8 Jakarta ini menghasilkan beberapa komitmen bersama.
Di bagian akhir, ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan ketua umum PBNU Said Aqil Siraj membacakan pernyataan bersama. Di antaranya berisi ikhtiar-ikhtiar mengokohkan tali persaudaraan kebangsaan, peningkatan ekonomi yang tumbuh merata, akses pendidikan yang mudah, terbukanya ruang-ruang dalam menyampaikan pendapat, serta tegaknya hukum sebagai instrumen meraih keadilan. Selain itu juga menyeru kepada pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan. “Kesenjangan sosial ekonomi ini akan tetap menjadi gunung es yang memicu banyak hal. Ada ekstrimisme, radikalisme, benih konflik dan lain sebagainya,” kata Haedar.
Terkait dengan tahun politik, Muhammadiyah dan NU mengimbau seluruh warga NU dan Muhammadiyah agar bersama-sama membangun iklim yang kondusif. “Marilah kita bersama-sama menjadikan ajang demokrasi sebagai bagian dari cara kita sebagai bangsa untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti, bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hendaknya dalam demokrasi, perbedaan jangan sampai menjadi sumber perpecahan. Perbedaan harus dijadikan sebagai rahmat yang menopang harmoni kehidupan yang beranekaragam,” kata Haedar.
Pertemuan para pimpinan kedua organisasi Islam terbesar di dunia ini disambut positif oleh kedua belah pihak. “Kami datang mengunjungi adik bungsu kami. Adik bungsu, nakal-nakal sedikit itu biasa,” kelakar Haedar. Dalam wadah keluarga besar, kedua ormas ini mewujudkan Islam Nusantara yang Berkemajuan dan Islam Berkemajuan yang Menusantara.
Haedar sempat menceritakan kisah persahabatan para pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan, yang tidak hanya bersahabat dengan tokoh-tokoh Islam, tetapi juga bersahabat dengan tokoh-tokoh dari Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Tamansiswa. “Mereka sejak awal sudah menyatu di dalam keindonesiaan, kenusantaraan untuk bangsa,” ujar Haedar.
Menurut Haedar, para pendiri bangsa memiliki cita-cita menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam yang menyatu dengan misi kebangsaan dan keindonesiaan. Dengan cita-cita itu, pada saat yang kritis sekalipun, mereka tetap mengutamakan jalinan keislaman dan keindonesiaan dalam satu tarikan napas.
Pertemuan ini, kata Haedar juga membahas tentang makna keberislaman sebagai sebuah proses panjang. Dalam melalui proses itu, NU dan Muhammadiyah saling mengisi. NU menggunakan QS Ali Imron: 103 sebagai pijakan, sementara Muhammadiyah mengambil QS Ali Imron: 104.
Haedar juga mengingatkan, setelah para pendiri bangsa, termasuk di dalamnya tokoh Muhammadiyah dan NU, mencapai kesepakatan menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama, maka tugas selanjutnya adalah mengisi kemerdekaan, membawa bangsa ini menjadi maju. Tidak cukup sekadar majemuk dan toleran, Islam Indonesia harus bisa memberi konstribusi. “Kita bisa menjadi rahmat ketika kita bisa merahmati diri sendiri,” kata Haedar. Dalam hal ini, umat Islam harus mandiri, sehingga bisa melakukan banyak konstribusi.
Pertemuan itu juga membahas tentang eksistensi dan optimisme masa depan Indonesia. “Kita bangsa yang beriman dan bertakwa,” tegas Haedar. Oleh karena itu, negara dan komponen bangsa yang lain tidak boleh menegasikan diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa, sebagaimana terdapat dalam Pancasila. “Indonesia akan eksis kalau nilai-nilai itu melekat dalam jiwa,” katanya.
Menurut Haedar, sebagai bangsa yang besar, wajar jika antar komponen bangsa Indonesia terkadang mengalami gesekan, yang diibaratkan seperti rumpun bambu. “Dinamika itu ada. Letakkan dalam proses yang objektif,” katanya. Dalam kondisi itu, Haedar berharap semua pihak untuk mengedepankan dialog dan tidak cengeng. “Selalu terbuka pada pikiran-pikiran yang hadir dan dihadirkan,” ujarnya.
“Tugas Muhammadiyah dan NU itu membingkai. Ada moralitas, ada akhlak, ada kepentingan bersama yang diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan,” ungkap Haedar seraya meminta semua unsur untuk mengedepankan itikad baik bersama.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, menyatakan bahwa Muhammadiyah sebagai kakak sulung NU. Oleh karena itu, silaturahim antar kedua organisasi ini penting dilakukan. Tidak hanya silaturahim, tapi juga penyatuan visi dan pandangan. “Silaturrahim ini harus ditindaklanjuti dengan silatul afkar,” katanya.
Pun kemudian, silatul afkar harus ditindaklanjuti dengan silatul amal. “Membangun jaringan dan kerjasama,” kata Kiai Said, mencontohkan Nabi Muhammad juga membangun jaringan dengan gubernur Mesir, Raja Ethopia, dan lainnya. “Mudah-mudahan NU Muhammadiyah bisa bekerjasama di bidang ekonomi dan sosial,” ujarnya. Terakhir, perlu juga dilakukan silaturruh.
Menghadapi tahun politik ini, Said Aqil berharap semua pihak bisa bergandengan tangan. “Saya dan pak Haedar Nashir sepakat untuk menciptakan ketenangan, kenyamanan dan kedamaian,” ujarnya. Menurutnya, muslim Indonesia harus menjadi contoh bagi dunia, termasuk dalam penyelenggaraan pesta demokrasi. “Tunjukkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab,” ulasnya. (Ribas)