YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengawalan jalannya pemilu diperlukan untuk menjaga pelaksanaan pemilu agar sesuai dengan prinsip demokrasi melalui ketentuan dan asasnya. Masyarakat sipil memiliki peran dalam mengawal pelaksanaan Pilkada sebagai wujud hak warga negara dalam mengawal penggunaan hak pilih dan kontrol publik dalam menjaga kedaulatan rakyat pada penyelenggaraan negara.
Atas dasar itu, Pimpinan Pusat Aisyiyah mengadakan diskusi yang dilangsungkan di Aula Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan Nomor 32, Yogyakarta. Acara pada Sabtu (24/3) itu mengusung tema ‘Peran Masyarakat Sipil dalam Mengawal Pilkada dan Pemilu Menuju Demokrasi Substantif bagi Kesejahteraan Perempuan dan Anak.’
Diskusi itu dibuka oleh Ketua Umum PP Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini. Menurutnya, Aisyiyah perlu terus memperkuat perannya dalam mengawal prosesi pemilu hingga pasca pemilu. “Aisyiyah menjadi organisasi perempuan pertama yang terlibat dalam pengawasan Pemilu,” katanya.
Siti Noordjannah juga mendorong para kader muda Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk terlibat dalam semua prosesi pemilu dan pilkada. Sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik dengan terpilihnya orang-orang baik dalam pemilu. Terpilihnya orang baik harus dimulai dengan penyelenggaraan yang baik pula. “Kalau orang yang sehat tidak mau jadi imam, maka orang yang kurang sehat yang akan maju,” ujarnya.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Pramono Ubaid Tanthowi, membawakan materi tentang ‘Kebijakan dan Tantangan Pelaksanaan Pemilu Menuju Pemilu Demokratis Substantif’. Menurutnya, KPU telah berusaha untuk menjadi lembaga penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas, professional, efisien, transparan, penuh pelayanan. Namun, KPU tetap membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat sipil. Muhammadiyah, menurutnya, perlu bergerak melalui jalur politik dan non politik sekaligus, sesuai dengan Khittah Denpasar tahun 2002.
Sementara Direktur Eksektutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, memaparkan tema ‘Peluang dan Strategi Masyarakat Sipil dalam Mengawal Pemilu yang Demokratis’. Menurutnya, Indonesia sedang menghadapi fase konsolidasi demokrasi. Dalam fase ini, perlu adanya pembenahan terus-menerus menjadi sebuah prosesi demokrasi yang terbaik. Aisyiyah dan Muhammadiyah bisa menjadi penyadar bagi pemilih untuk rasional dalam menentukan pilihan.
Dalam sebuah penelitian, kata Titi, fenomena global menunjukkan terjadinya disfungsi partai politik sebagai sebuah institusi public. Tetapi di saat yang sama, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik tidak menurun. “Kita perlu dorong untuk mengembalikan partai politik sebagai institusi public,” katanya. Bukan sekadar dikuasai oleh oligarkhi beberapa orang saja untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sekretaris PP Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, membawakan tema “Perempuan dalam Pemilu Demokratis Substantif”. Demokratisasi substantif sejatinya berbanding lurus dengan kesejahteraan warga termasuk perempuan dan anak, yang mensyaratkan keterlibatan bermakna perempuan.
Meski problem yang terkait dengan perempuan dan anak masih merupakan pekerjaan rumah bangsa ini, namun isu-isu perempuan dan anak belum menjadi prioritas sejak masa kampanye, penyelenggaraan pemerintahan paska terpilih, dan monitoring. Oleh karena itu, kata Tri, Aisyiyah harus terlibat dalam kerja-kerja sunyi ini, membangun demokrasi substantive untuk kesejahteraan perempuan dan anak. (Ribas)