YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Majelis Tarjih & Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja sama dengan Takmir Masjid Gedhe Kauman menggelar Pengajian Tarjih Edisi ke-2, Rabu (28/03). Ketua MTT PP Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar, MA menjadi narasumber bersama Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Dr Fuad Zein, MA.
Dalam pengajian tersebut Syamsul menyampaikan tentang Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Menurutnya di dalam memahami agama ada cara-cara tertentu yang di dalam Muhammadiyah disebut Manhaj Tarjih. “Jadi manhaj tarjih adalah satu sistem yang terdiri dari empat komponen yang menjadi landasan untuk memahami agama menurut Majelis Tarjih” tandasnya.
Komponen itu, kata Syamsul, memuat unsur-unsur (1) wawasan (atau semangat/persfektif), (2) sumber ajaran, (3) pendekatan, (4) metode (prosedur teknis) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan. “Kegiatan ketarjihan itu artinya proses pemahaman agama dalam rangka merespon berbagai masalah yang timbul” imbuhnya.
Menurut Syamsul, tarjih tidak hanya difahami sebagaimana menurut pengertian aslinya dalam usul fikih yaitu memperbandingkan – dalam suatu permusyawaratan – pendapat-pendapat dari ulama (baik dari dalam atau pun dari luar Muhammadiyah termasuk pendapat imam-imam) untuk kemudian mengambil mana yang dianggap mempunyai dasar dan alasan yang lebih kuat (MPK, 2012).
Oleh karena itu, dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai setiap aktifitas intelektual untuk merespon permasalahan sosial dan kemanjusiaan dari sudut pandang agama Islam. Dari situ tampak bahwa bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu permasalahan dilihat dari persfektif Islam.
Baca juga : Pengajian Tarjih Rawat Semangat Islam Berkemajuan di Masjid Gedhe Kauman
Kemudian Syamsul menguraikan bahwa manhaj tarjih tidak sekedar bertumpu pada sejumlah prosedur teknis an sich. Hal itu juga dilandasi oleh wawasan/persfektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam dalam Muhammadiyah meliputi lima hal.
Pertama wawasan paham agama, putusan tarjih mendefinisikan agama (yaitu agama Islam) yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Qur’an dan yang tersebut dalam sunnah yang sahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat (Anwar, 2005).
Kedua wawasan tidak berafiliasi mazhab tertentu, memahami agama dalam persfektif tarjih dilakukan langsung dari sumber-sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Sunnah melalui proses ijtihad dengan metode ijtihad yang ada. namun ini tidak berarti menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada.
Ketiga wawasan toleransi, dalam “Penerangan tentang Hal Tardjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan “Kepoetoesan tardjih moelai dari meroendingkan sampai kepada tidak ada sifat perlawanan, jakni menentang ataoe menjatoehkan segala jang tidak dipilih oleh Tardjih itoe.” Pernyataan ini menggambarkan bahwa Tarjih Muhammadiyah tidak menegasikan pendapat lain apalagi menyatkan tidak benar.
Keempat wawasan keterbukaan, artinya bahwa segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argument lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argument yang dinilai kurang kuat.
Kelima wawasan tajdid, dalam hal ini mempunyai dua arti, dalam bidang akidah dan ibadah tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman.
Baca juga : Majelis Tarjih dan Tajdid Siapkan Kado Songsong Usia Seabad
Fuad Zein menyampaikan kapita selekta produk tarjih yang sudah terbukukan dalam buku tanya jawab agama yang saat ini ada delapan jilid dengan melakukan kajian berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat yang berkaitan masalah-masalah yang ada.
Diantaranya Fuad menyampaikan tentang puasa Rajab, dalam kajian-kajian tidak menemukan hadis shahih yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk memperkuat apakah ada ketentuan amalan khusus pada bulan Rajab seperti sholat, puasa, zakat dan sebagainya.
Tetapi menurut Fuad, bulan Rajab adalah salah satu dari empat bulan-bulan yang sakral yaitu Dzulqaiddah, Dzulhijjah, Rajab dan Muharram. Meskipun demikian tidak ada amalan khusus di bulan Rajab dan itu menjadi menyebar di masyarakat yang konon sebuah hadis. “Jika ingin berpuasa di bulan Rajab boleh mengunakan dalil umum seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, atau puasa 3 hari di tengah bulan (ayamul bidh)” terangnya.(rizq)