YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Tanggal 21 April setiap tahun diperingati sebagai hari Kartini. Namun tidak sedikit yang hanya mengadakan seremonial dan kurang mengenal sejarah perjuangan dari RA Kartini sebagai seorang Pahlawan Nasional.
Hal tersebut disampaikan Hanung Bramantyo dalam acara nonton bareng dan bedah film Kartini yang diadakan oleh Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah (PP NA) di Grha Suara Muhammadiyah, Sabtu (7/4). Menurut Hanung, Kartini adalah pejuang perempuan maupun kondisi masyarakat miskin menjadi punya pekerjaan dan mempunyai arti. “Menjadi pahlawan bagi saya RA Kartini membuat kondisi yang kita rasakan ini dia perjuangkan”, tuturnya.
Ketua Umum PP NA Diyah Puspitarini mengatakan Kartini merupakan pejuang Islam, pada zaman itu, di samping mempelajari ilmu agama (Kartini adalah Cucu dari seorang Ulama) dia juga mempelajari ilmu-ilmu umum. Dia juga menuliskan kegelisahan tentang nasib kaumnya yang menurut ajaran Islam, seharusnya seluruh kaum perempuan tidak layak mengalami nasib seperti itu.
Pernikahan tidak menghalanginya untuk terus berpikir berbuat untuk kaumnya. Dia terus merintis sekolah untuk kaum perempuan. Dari sinilah Kartini terus menjadi inspirasi hingga hari ini.
Dari sini, Diyah mengajak NA sebagai gerakan perempuan muda terbesar di Indonesia harus sadar bahwa gerakan literasi adalah bagian dari kehidupan. “Kartini tidak pintar untuk dirinya sendiri, pada saat itu pada abad ke-18 sudah sangat dekat dengan gerakan literasi, saat dia harus dikurung di kamar Kartini menghabiskan waktu membaca” ungkapnya.
Oleh karena itu Diyah berharap agar semua untuk melihat perjuangan dari Kartini tidak hanya melihat dari kacamata dia sendiri. “Mari kita menjadi orang yang arif dan bijaksana, kita harus menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak, bukan hanya untuk kita, juga untuk memuliakan orang lain,” pungkas Diyah.
Film ini banyak bercerita tentang kondisi pendidikan perempuan kala itu, juga soal tradisi Jawa yang sungguh rumit. Kartini muda atau biasa disapa Trinil luar biasa berani dan brilian. Di akhir masa gadisnya ia merelakan beasiswa ke Belanda yang akhirnya diambil Agus Salim dari Sumatera. Ia membawa ide bahwa produk pahatan masyarakat Jepara harus dikenalkan ke dunia, waktu itu Belanda menjadi tujuan.
Meski terlahir sebagai perempuan, Kartini tak sungkan mengungkapkan pendapat yang dinilai benar dan perlu diperjuangkan. Dengan tetap bersikap santun Kartini tak gentar memperjuangkan hak sebagai manusia hingga akhirnya Ayahandanya pun berpendapat bahwa perubahan pasti akan datang, dan Kartini sudah memulainya.
Saat akan menikah, syarat yang diajukan Kartini sangat menarik, Bupati Rembang juga mempunyai cara menaklukkan hati Kartini. Keluarga dibangun atas kesetaraan, perkawinan tidaklah memutus cita-cita tetapi sebagai awal mewujudkan cita-cita bersama.
Kartini bukan hanya dikagumi setelah kematiannya, sejak masih muda Kartini dikagumi dan menginspirasi banyak orang, termasuk istri Bupati Rembang yang telah wafat sebelum suaminya mempersunting Kartini. Artikel-artikel Kartini pun banyak dikliping kala itu. Setiap orang mendambakan anaknya kelak diajar dan diasuh oleh orang seperti Kartini, termasuk harapan istri Bupati Rembang tersebut.(syam/rizq)