Menghidupkan Nilai Pancasila dalam Pelajaran AIK

Menghidupkan Nilai Pancasila dalam Pelajaran AIK

SURABAYA, Suara Muhammadiyah-Pembumian nilai-nilai Pancasila saat ini menjadi hal penting dan mendesak. Di tengah kontestasi sebagian kelompok yang belum bisa menerima Pancasila sebgai ideologi negara dan kelompok yang sangat sekuler dalam memaknai Pancasila, maka dibutuhkan interpretasi nilai-nilai yang sesuai dengan semangat Pancasila yang diwariskan pendiri bangsa.

Di sisi lain kehidupan berbangsa juga dipenuhi berbagai konflik SARA, korupsi yang mebudaya, serta penegakan hukum yanmg tumpul. Fenomena tersebut ditengarahi di sebabkan hilngnya nila-nilai pancasila dalam perilaku sosial, keagamaan, kebudayan, ekonomi, hukum dan politik di masyarakat.

Berangkat dari kondisi kehidupan kebangsaan di atas, maka diperlukan pembumian kembali nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat. Dari ide dasar ini kemudian kaum cendekiawan punya tanggung jawab moral. Beberapa cendekiawan melakukan kerjasama dalam Seminar dan Pelatihan Living Value Education AIK.

Kegiatan ini dilakasanakan pada Kamis-Sabtu, 12-14 April 2018, di UMSurabaya hasil Kerjasama PPAIK UMSurabaya- TAF Foundation- PuSAM UMM. Kegiatan ini diikuti sebanyak 40 Dosen terdiri dari Dosen AIK-PPKN UMSurabaya, Dosen AIK UMSida dan Dosen IAIN Langsa Aceh.

Kegiatan terbagi dalam dua bentuk, yaitu seminar dan Pelatihan.

Seminar mengusung tema ‘Islam-Pancasila dan Internalisasi Nilai-nilai Kebhinekaan’. Dengan narasumber Dr Budy Munawar Rahman MA (Direktur Program TAF), Dr Zuly Qadir MA (sosiolog UMY), Dr Mahsun MAg (Warek 3 UM Surabaya).

Para narasumber sepakat bahwa secara substansi, nilai-nilai Pancasilas sudah selaras dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu).

Menurut Mahsun, Muhammadiyah memposisikan Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Sehingga dasar dan bentuk Negara Indonesia sudah final sebagai darul ahdi wa syahadah.

Dari kajian tersebut juga ditemukan 2 nilai yang perlu dikembangkan di lingkungan universitas Muhammadiyah. Pertama, mengembangkan paradigma inklusif, memiliki keluasan dan ragam alternatif dalam penyikapan persoalan. Kedua, mengembangkan tradisi literasi. Sangat penting untuk memacu tradisi membaca di kalangan dosen dan mahasiswa. (ribas)

Exit mobile version