JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah, April 2018 mengusung tema ‘Kepemimpinan yang Melayani’. Pemimpin adalah sosok pilihan yang memiliki kompetensi untuk menjalankan amanah kepemimpinan dengan sepenuh hati dan tanggung jawab.
Demikian antara lain poin yang disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam pengajian yang berlangsung di Aula PP Muhammadiyah Jakarta. Hadir sebagai pembicara adalah Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany MH MKn dan Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Masyitoh Chusnan MAg.
Mu’ti menyampaikan sebuah hadis riwayat jamaah, “Pemimpin suatu kaum (bangsa) adalah pelayan mereka.” Menurutnya, pemimpin yang bisa menjalankan amanah dengan baik harus hadir di tengah-tengah masyarakatnya dan mengerti permasalahan warganya dengan baik. “Tradisi kepemimpinan di mana pemimpin itu hadir, menyelesaikan persoalan, dan betul-betul hadir menjadi bagian dari masyarakat yang dipimpinnya,” katanya.
Tradisi kepemimpinan di Muhammadiyah, kata Mu’ti, adalah tradisi kepemimpinan yang melayani (servant leadership). “Kiai Ahmad Dahlan itu menerapkan servant leadership. Beliau orang yang humble, sederhana, yang tidak membuat jarak dengan masyarakat yang dipimpinnya, bisa memberikan uswah dengan akhlaknya, bisa menjadi teman ketika duka, dan bisa menjadi motivator ketika ada persoalan,” ulasnya.
Selain KH Ahmad Dahlan, Mu’ti juga mencontohkan kepemimpinan KH Abdur Rozak Fachrudin (Pak AR). “Pak AR itu memimpin dengan ceria, nothing to lose, tidak khawatir kehilangan muruah (wibawa),” katanya. Dia menyayangkan kondisi beberapa oknum pejabat hari ini yang kadang sangat protokoler dan minta dilayani, bahkan kebal terhadap aturan yang dibuatnya.
Oleh karena itu, kepemimpinan harus diselenggarakan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan tanggung jawab. “Kepemimpinan itu harus diselenggarakan oleh dia yang punya kemampuan, bukan berdasar jenis kelamin,” ujarnya.
Hal itu yang dilihat Mu’ti sebagai alasan kenapa akhir-akhir ini, semakin banyak pemimpin perempuan yang tampil. “Arti pentingnya ahliah atau kemampuan, bukan jenis kelamin,” katanya. Selain itu, ada realitas di mana pendidikan kaum perempuan sudah maju sehingga setara dengan laki-laki, serta realitas politik di mana keterbukaan politik juga memberi akses pada perempuan untuk menjadi pemimpin.
Dalam kesempatan itu, Mu’ti sempat menjelaskan beberapa tafsiran dan pemahaman yang misoginis terhadap ayat dan hadis tertentu. Sehingga muncul anggapan sebagian orang bahwa dalam Islam, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin
Menurut banyak tafsir dan apalagi yang menggunakan pendekatan semantik, ayat ar rijalu qawwamu ala al-nisa tidak bermakna larangan kepemimpinan perempuan secara mutlak. Kata Mu’ti, untuk menunjuk jenis kelamin, al-Qur’an menggunakan kosa kata al-zakar dan al-nisa. Sementara kata al-rijal dan al-mar’ah terkait dengan sifat. “Ada sifat (manusia) yang bisa dibentuk. Ada yang diterima by nature, ada juga yang dibentuk melalui pendidikan dan lingkungan sosial,” ujarnya.
Demikian halnya dengan hadis, “Tidak beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan.” Asbabul wurud hadis itu terkait dengan Raja Kisra yang menyerahkan tahtanya ke anak perempuannya yang masih belia dan tidak kompeten serta tidak disiapkan untuk menjadi pemimpin.
Dalam konteks kepemimpinan, yang menjadi patokan adalah QS. Al-Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Asbabun nuzul ayat itu, kata Mu’ti, terkait dengan peristiwa setelah Fathu Makkah. Nabi menyerahkan amanah pemegang kunci Ka’bah dan pengairan Ka’bah kepada seorang Kristen, bernama Usman bin Thalhah. Karena sebelumnya mampu menjalankan amanah dengan baik.
Hadis lain, “Idzaa wussidal amru ilaa ghoiri ahlihi fantadziris saa’ah. Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat.” (HR Bukhari dari Abi Hurairah). Ada yang bertanya kepada Nabi, “Kapan kiamat?” Kiamat itu terjadi kalau suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tidak punya keahlian.
Jadi, kata Mu’ti, keahlian tidak tergantung jenis kelamin. “Banyak perempuan yang juga punya kemampuan,” katanya, seraya menunjuk buku Female Leadership, yang menyebutkan fakta bahwa pemimpin yang sukses adalah laki-laki atau perempuan yang menggunakan kepemimpinan ala perempuan. Yaitu kepemimpinan yang menggunakan hati, perasaan, dan empati. “Pemimpin yang berhasil ketika pendekatan yang digunakan tidak melulu pendekatan rasional dan legal, tetapi pendekatan yang humanis. Bukan kaku pada aturan yang baku,” ulasnya.
Senada dengan itu, Ketua PP Aisyiyah Prof Dr Masyitoh Chusnan MAg, menyatakan bahwa pemimpin itu adalah mereka yang bisa melaksanakan tanggung jawab dengan baik. “Pemimpin itu akan dipertanyakan pertanggungjawabannya, siapa pun dia, laki-laki atau perempuan,” katanya.
Dalam sebuah tafsir, kata Masyitoh, “Umat dan imam yang bisa diteladani lahir dari ummun (ibu) yang bisa diteladani.” Oleh karena itu, ummun diberi dua bekal yang tidak diberikan kepada kaum laki-laki. Pertama, bentuk fisik. Sehingga sang anak merasa hangat dalam dekapan ibunya. Kedua, secara psikis, kaum ibu itu mudah tersentuh dan punya empati yang lebih.
Sementara itu, Walikota Tangerang Selatan sejak 20 April 201, Airin Rachmi Diany membagikan pengalamannya menjadi seorang pemimpin, ibu rumah tangga, dan sebagai istri. Dalam kepemimpinannya, Airin senantiasa menerapkan kepemimpinan yang responsif, cepat tanggap dan manajemen waktu yang baik
“Untuk menjadi pemimpin sekarang juga harus turun ke lapangan memastikan apa yang menjadi persoalann untuk diselesaikan secara bertahap dan tuntas,” tuturnya. Atas dasar itu, setiap hari Jumat dirinya menerapkan open office, semua masyarakat bisa bertemu dan mengadu semua masalahnya secara langsung. (Ribas/foto:ppmuh)