Oleh: Haedar Nashir
Syahdan, ada seorang raja yang meninggalkan istana demi hidup bersama rakyatnya yang menderita. Dia tangalkan tahta dan segala kemegahan hidupnya, lalu berbaur menjadi rakyat jelata tanpa diketahui bahwa dia adalah sang raja. Istana tak membuat dirinya mampu menyejahterakan rakyatnya. Dia merasa jauh dari akyat.
Boleh jadi kisah-kisah demikian sekadar ajaran mutiara. Bagaimana sebaiknya para pemimpin negeri kapan dan di mana pun senantiasa mengutamakan kepentingan rakyatnya lebih dari segalanya. Jadikan tahta atau jabatan kekuasaan untuk berkhidmat sepenuh jiwa raga bagi kebahagiaan dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya. Itulah amanat mulia dari para pemimpin sejati.
Kini, istana malah jadi rebutan. Mereka mengejar tahta demi kekuasaan semata. Mungkin pula karena ingin meraih jabatan yang lebih tinggi, ada sebagian yang dengan mudah menanggalkan amanat yang selama ini belum tuntas dia jalankan. Dia tingalkan satu istana menuju istana yang lebih megah. Bukan rakyat sebenarnya yang menjadi tujuan berkhidmat, tapi dirinya. Mandat rakyat sekadar tangga meraih kekuasaan, bukan sebagai amanat utama. Jabatan dilihat sekadar kursi empuk kekuasaan.
Tahta itu penting jika benar-benar dihayati dan dijalankan sebagai amanat mulia. Nabi akhir zaman, Muhammad s.a.w. mengajarkan agar setiap muslim menunaikan jabatan sebagai amanat yang harus ditunaikan dengan baik dan tidak boleh mengkhianatinya. Nabi bahkan tidak mudah memberikan amanat jika yang bersankutan terindikasi tidak berkemampuan.
Abu Dzar Al-Ghifari dikenal jujur, sederhana, terpercaya, dan kesatria. Namun Nabi tidak merekomendasikan Abu Dzar memegang jabatan. Abu Dzar dipandang cenderung menjalani kehidupan yang zuhud dan kurang menguasai jabatan-jabatan publik yang memerlukan kemampuan tinggi. Menurut riwayat, berkaitan dengan Ab Dzar itulah keluar sabda Nabi, idza wusida al-amra ila ghairi ahlilhi fantadhiri as-saat, yang artinya “apabila jabatan diserahkan kepada mereka yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”.
Rasulullah di hadis lain bersabda, yang terjemahannya sebagai berikut: “Apabila telah disia-siakan amanat, tunggulah datangnya kiamat (kebinasaan). Seorang sahabat beratnya, bagaimanakah orang yang menyia-nyiakan amanat itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, apabila telah diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya” (HR Bukhari-Muslim).
Maka, sulit memahami kenapa banyak orang berebut dan merasa sanggup menduduki jabatan publik? Padahal betapa berat amanat yang terkandung di dalamnya. Penyakit para pemangku amanat dalam kenyataannya ialah hianat dan tidak sungguh-sungguh dalam menunaikannya. Itulah sifat nifaq atau kemunafikan para pemangku jabatan. Mereka berjanji akan menunaikan mandat dengan penuh, tapi praktiknya mengingkari. Merasa sanggup menjalankan amanat, tetapi babak belur dan tak sanggup menjalankannya. Bahkan, tidak sedikit mandat rakyat sekadar jadi tangga untuk berkuasa, memperkaya diri, dan membangun dinasti.
Sungguh, siapapun gampang untuk berjanji akan menunaikan amanat, tapi tidak banyak yang kesatria memenuhi dan menjalankannya dengan baik. Ada yang berani menunaikannya tapi lemah kemampuannya. Hal yang paling parah ialah, mereka lemah kemampuan, pada saat yang sama mengkhianatinya. Banyak pula yang berkemampuan dari segi keahlian, tetapi tidak konsisten dalam menjalankan amanat. Padahal Allah SWT mengingatkan dengan keras dalam Al-Quran, yang artinya: “Maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya” (QS Al-Baqarah: 283).