YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kultum seusai shalat zuhur di mushala Grha Suara Muhammadiyah pada Selasa (24/4), disampaikan oleh ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Turut serta menyimak antara lain ketua umum PP Muhammadiyah 1998-2005 Ahmad Syafii Maarif dan para awak redaksi Majalah Suara Muhammadiyah.
Haedar Nashir yang baru saja kembali dari India memaparkan tentang dinamika keumatan dan posisi yang diambil oleh Muhammadiyah. Menurutnya, Islam Indonesia yang selama ini dicirikan sebagai Islam yang ramah dan moderat, tidak cukup. Permasalahan dunia modern sedemikian kompleks dengan segala dinamikanya. Oleh karena itu, “Islam Indonesia harus keluar dari ketertinggalannya,” katanya.
Umat Islam harus bisa merebut momentum dan menjadi solusi. Beberapa peristiwa besar di tanah air belakangan ini, menurut Haedar, tidak lepas dari kondisi termarjinalnya umat Islam dan berujung frustasi. Sehingga menampilkan wajah yang tidak mencerminkan akhlak islami dan membentuk mentalitas negatif. “Kalau dalam atmosfer begini, kita tidak bisa (membangun) apa-apa,” ujarnya.
Kondisi ini bukan berarti hilang harapan. Itulah alasan mengapa Muhammadiyah gencar membangun tonggak-tonggak kemajuan peradaban. Belakangan, Haedar Nashir dan PP Muhammadiyah juga kerap melakukan lawatan ke luar negeri, dalam upaya membangun tonggak peradaban di segenap penjuru. “Sejak awal tahun, kita kunjungan ke beberapa negara. Singapura, Australia, Mesir, Sudan, dan terakhir India. Ada hal yang sedang kita bangun,” ungkapnya.
“Kita ingin internasionalisasi Muhammadiyah bukan pada seminar dan dialog antar agama, –itu sudah bagus dan terus dilanjutkan– Tapi kita ingin ada tonggak untuk keunggulan,” kata Haedar, sembari menceritakan capaian Muhammadiyah di luar negeri dalam rangka internasionalisasi alam pikiran Islam Indonesia yang Berkemajuan.
Di Mesir, kisah Haedar, Muhammadiyah membeli satu flat yang luas. Sebuah gedung permanen yang ada TK ABA, pusat kegiatan PCIM, dan kedepan bisa menjadi pusat studi keislaman. ”Kalau kita ingin internasionalisasi islam, maka kita harus keluar. Mesir itu jadi pusat pemikiran Islam yang netral di Timur Tengah. Maka para pemikir Muhammadiyah harus bisa mempengaruhi dan ke sana,” ulasnya.
Di Melborne Australia, Muhammadiyah telah membeli 10 hektar lahan di kawasan elit yang diproyeksikan menjadi pusat pendidikan. “Kalau kita bikin boarding school di sana, insyaallah cukup bagus,” ujarnya. Ekspansi yang dilakukan ini seiring dengan era globalisasi dan dibukanya keran Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Di Malaysia, kata Haedar, Muhammadiyah sudah mengantongi izin dari kementerian pendidikan Malaysia untuk segera beroperasinya Universitas Muhammadiyah Malaysia yang ditargetkan untuk terlebih dahulu menampung mahasiswa jenjang S2 dan S3. “Kita punya 174 Perguruan Tinggi Muhammadiyah, tidak semua bisa belajar ke Eropa, jadi nanti sebagian bisa ke UM Malaysia,” katanya.
Dalam jangka menengah, Muhammadiyah juga memiliki target untuk menyemai 10.000 doktor. Hal itu sebagai upaya mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas dan berintegritas. Kata Haedar, 10% dari total mahasiswa masional atau sekitar 650 ribu mahasiswa berada di PTM. “Itu modal SDM yang sangat besar,” tuturnya.
Selain mendorong para kader untuk terdidik, Muhammadiyah juga tak berhenti mengupayakan langkah-langkah kemandirian ekonomi. “Ini pintu pembuka bagi Islam Indonesia ke depan, yang bisa ke luar dan membawa kemajuan,” kata Haedar.
“Kita ingin ada buah-buah pemikiran keislaman yang terus diproduksi dan direproduksi melalui gerakan internasionalisasi Muhammadiyah,” katanya. Pemikiran Islam ini menjadi wacana bagi kultur dan gerak masyarakat Islam yang berkemajuan. Haedar khawatir dengan iklim ruang sosial yang diisi oleh pemikiran-pemikiran sempit dan parsial.
“Sekarang makin sepi kaum inteligen yang terbuka, jernih, tidak partisan,” ungkapnya. Gagasan pemikiran cendekiawan cum negarawan semisal Buya Syafii Maarif, harus terus disemai dan disebarluaskan. Terutama oleh kalangan angkatan muda Muhammadiyah. “Pemikiran di kalangan anak muda harus tetap hidup. Peran Suara Muhammadiyah harus menjadi jembatan,” ungkapnya.
Dirasah islamiyah dalam frame Islam Berkemajuan, kata Haedar, harus terus digalakkan dan dibumikan, menjadi wacana diskusi. “Mentalitas maju dan pikiran-pikiran maju perlu terus disebarluaskan,” katanya. Mereka yang matang secara intelektual inilah yang akan terbebas dari pengaruh pragmatisme politik yang kini menjalar di kalangan anak muda.
“Anak-anak muda Muhammadiyah harus ada yang jadi pemikir,” kata Haedar. Dalam suasana pengaruh media sosial, banyak kalangan yang menjadi sumbu pendek, tidak bisa berpikir mendalam dan dewasa. “Jangan sampai WA grup jadi sumbu pendek, marah-marah, kekanak-kanakan,” ujarnya.
Dalam rangka internasionalisasi alam pikiran Islam Berkemajuan, Haedar berharap pada kader Muhammadiyah yang sedang menempuh studi di luar negeri senantiasa menawarkan gagasan-gagasan segar sebagai pembuka wacana dan sekaligus kelanjutan mata rantai pembaharuan Muhammadiyah.
“22 PCIM yang ada harus mendialogkan pemikiran-pemikiran baru yang menjadi oase di kalangan anak-anak muda,” tutur Haedar Nashir mengakhiri kultum, yang dilanjutkan dengan makan siang bersama. Ikut serta sesepuh Suara Muhammadiyah lainnya, Prof Sjafri Sairin dan Muchlas Abror. (Ribas/foto:Agus)
Baca juga :
Kultum Buya Syafii Maarif: Menjadi Pemenang dalam Perlombaan Peradaban
Haedar Nashir Kuliah Umum Islam Berkemajuan di India
Haedar Nashir: Kontestasi Politik Harus dalam Koridor Konstitusi
Haedar Nashir: Bangsa yang Besar Bisa Menyelesaikan Masalah Secara Cerdas, Elegan dan Rasional