Oleh : Nibros Hassani
“Hak Pilih untuk Wanita!” demikian yang diteriakkan salah satu kelompok Suffragettes sebelum membuat seisi kota ramai dan kaca bangunan pecah dimana-mana. Maud yang pergi ke West End saat itu jatuh dan mendadak terpaku. Para wanita yang tergabung pada kelompok tersebut terus melempar batu pada kaca toko-toko sembari berteriak : “Kemenangan!” “Hak Pilih untuk Wanita!”
* * *
Gambaran di atas adalah salah satu potongan adegan film Suffragettes yang menceritakan pergerakan wanita di Inggris yang menuntut kesamaan hak politik seperti laki-laki. Jauh sekian dekade setelah Emmeline Pankhurst yang memimpin gerakan “Civil Disobedience” tersebut, hak politik yang dulunya hanya dimiliki oleh laki-laki kini telah terlegisasi dan secara konstitusional dan dimiliki oleh kaum perempuan. Mohammad Natsir sebagai tokoh Jong Islamieten Bond (JIB) saat itu melihat gerakan ini sebagai salah satu faktor berkembangnya gerakan kaum perempuan di Indonesia menulis kekhawatirannya dalam Capita Selecta I. Saat itu salah seorang perempuan dari kalangan kaum istri pada kongres JIB di Semarang mengungkapkan pemikirannya mengenai status mahar dalam Islam yang dianggap sama dengan membeli kaum perempuan.
Terlepas dari itu, bagaimana dengan perkembangan status politik perempuan di Indonesia?
Dalam sejarah dicatat perempuan-perempuan Aceh telah membuktikan peranannya dalam pergerakan politik jauh sebelum Emmeline Pankhurst memotori pergerakan Suffragettes. Pada abad 14, perempuan-perempuan seperti Nahrasyiah Ra-Bakhsya Khadiyu, Safiatuddin, Naqiatuddin, Zakiatuddin dan Kamalat terpilih menjadi sultanah dan membuktikan kapabilitasnya memimpin kerajaan saat itu. Kemudian pada tempo berikutnya dalam periode gerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional, perempuan Indonesia banyak berkiprah melalui pergerakan.
Pada jajaran organisasi Islam, Aisjiah oleh Nji Achmad Dahlan muncul setelah R.A Kartini. Aisjiah sebagai pelopor wadah pergerakan kaum perempuan saat itu oleh Persjarikatan Moehammadijah berkembang dengan pesat. Diluar jawa sendiri, muncul banyak pergerakan senada seperti Sjarikat Siti Fatimah di Garut, Wanodijo Oetomo di Yogyakarta, Goronntalosche Mohammadaansche Vrouwen Vereeniging di Gorontalo, dan Sjarikat Poetri Islam di Sumatra. Banyaknya pergerakan ini yang berkembang menandai kesadaran perempuan untuk berpolitik melalui organisasi yang ada, demi melawan kebodohan, kemiskinan, dan situasi masyarakat Islam saat itu yang seolah lupa akan kejayaan masa lalunya.
Maju berabad kedepan, perempuan sudah lebih longgar untuk mengekspresikan hak-haknya. Di Indonesia sendiri dalam politik legislatif, misalnya, setiap parpol kini dituntut mengakomodir 30% caleg perempuan dari keseluruhan calon. Kuota yang diharapkan mampu menciptakan perempuan-perempuan berkualitas dalam parlemen tentunya menjadi problema tersendiri sebab dalam lapangannya, tidak melulu perempuan mau berkorban menggadaikan peran sebagai Ibu untuk anak-anak atau Istri untuk suami di rumah. Belum lagi mengingat bagaimana para legislator atau pegawai pemerintahan perempuan yang terkena skandal rasuah dicitrakan dalam media. Kuota ini jelas menjadi persoalan, bagaimana peran sentral seorang manusia bisa digadaikan atas nama kekuasaan fraksi tententu atau kepentingan sesaat yang seringkali malah berujung merugikan (perempuan).
Kekuasaan adalah amanat, seperti yang terdapat di Quran Surah An-Nisa’ ayat 58. Buya HAMKA sebagai ulama, anggota Sjarikat Islam, dan paham mengenai persoalan perempuan menafsirkan ayat tersebut dalam Al-Azharnya dengan redaksi kata yang lugas : “sebab itu hendaklah diselidiki siapa yang cakap untuk memegang suatu kuasa…”. Bahkan diakhir paragraf, Buya menimpali, pada ranah terkecil seperti seorang tetua pasar, “hendaklah angkat yang cakap”. Hal ini menjadi perhatian penting apalagi pada tingkat parlemen, baik pada kancah daerah hingga nasional harus dapat dipahami bahwa amanat perlu diperhatikan dan kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat suatu hari nanti.
Kuota hanya kuota bila akhirnya tidak menampilkan kualitas sejati, atau bahkan justru memperburuk citra perempuan. Kuota juga hanya sekedar angka bila terbukti sekedar menunjukkan arogansi partai politik yang hanya ingin melanggengkan kekuasaan pada wilayah tertentu. Fakta dan sejarah toh membuktikan prinsip politik yang : there’s no permanent enemy and friend, but permanent in interest. Maka, bila telah jauh berabad Indonesia melewati era pergerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional dan telah ada simbol bahwa perempuan telah paham politik pada masa itu, biarkan perempuan zaman ini merdeka dengan pilihannya. Biarkan perempuan menjadi dirinya.
Biarkan perempuan memilih. Jangan buat ia tersandera dengan kuota yang ada. Biarkan perempuan memilih. Bahwa tugas mengurus negara tidak hanya melalui perekrutan caleg yang lebih sering melupakan peranan sentralnya. Biarkan perempuan memilih. Bukankah kuantitas tidak sebanding dengan kualitas yang dicitrakan. Biarkan perempuan memilih. Apakah mengurus negara juga bermula dari pendidikan dan institusi keluarga. Biarkan perempuan menjadi dirinya, bahwa ia juga merupakan seorang manusia dan hamba.
*Nibros Hassani merupakan Anggota JIM3 (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Milenial), volunteer Pusat Studi Gender dan Anak IAIN Salatiga, dan finalis LKTIN CSSMORA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta