YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah–Suara Muhammadiyah baru saja menerbitkan buku Politik Perda Syariah. Jumat, 27 April 2018, buku karya disertasi Ketua Pusat Studi Islam dan Pancasila Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ma’mun Murod Al-Barbasy itu dibedah dalam Kajian Malam Sabtu (Kamastu) AMM DIY. Disertasi itu mencoba untuk mengungkap fakta dan dialektika antara kelompok nasionalis fundamentalis dengan kelompok agamis dalam perumusan perda.
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, kata Ma’mun, dialektika antara dua kutub ini terus terjadi. Ma’mun menguraikan akar dialektika itu bermula dari perbedaan pendapat para pendiri bangsa dalam merumuskan dasar negara. Ada yang menginginkan negara sekuler dan ada yang mengajukan negara teokrasi. “Pancasila itu adalah hasil dari dialektika. Sintesis dari dua titik ekstrim. Yaitu negara sekuler dan teokratik,” katanya.
Pancasila merupakan titik temu. “Pancasila menempatkan Indonesia bukan negara sekuler, bukan negara agama, tetapi negara agamis, di mana agama menempati posisi yang sangat sentral, jelas tergambar dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tergambar lagi dalam Pasal 29,” ujarnya. Pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama, menyebut (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dialektika itu terus terjadi. Belakangan, ada semacam ketidakkonsistenan. “Dalam konteks demokrasi juga tidak konsisten, tidak fair. Demokrasi yang saya lihat dimaknai seenaknya sendiri. Sesuatu dianggap demokratis jika berlaku sesuai dengan pemuja dan pemuji demokrasi. Jika tidak, maka disingkirkan,” ujarnya.
Ma’mun mengkaji kegelisahannya tentang perda syariah yang lahir di daerah mayoritas muslim. “Masyarakat memilih wakilnya dari partai Islam. Dan wakilnya yang terpilih ini merumuskan perda. Wajar jika masyarakat yang memilih partai Islam menghendaki dibentuk perda-perda yang berwajah agamis. DPRD membentuk perda itu. Membentuk perda itu ada prosesnya, melalui beragam kajian dan dengar pendapat. Perda dibuat di DPRD, lembaga yang sah dan demokratis. Tetapi ketika lahir, perda ini ditolak, karena tidak sesuai dengan pemuja dan pemuji demokratis,” katanya.
Ma’mun mencontohkan prosesi penerbitan Perda Nomor 11 tentang Ketertiban Umum dan Perda Nomor 12 tahun 2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya.
Sementara itu, ketua LPCR PP Muhammadiyah yang merupakan dosen ilmu politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahmad Norma Permata menyatakan bahwa riset dan kajian akademis terkait politik semacam ini perlu diperbanyak, sehingga umat Islam bisa merespon persoalan secara bijak dan elegan.
“Politik merupakan perjuangan. Kalau tidak diperjuangkan maka tidak akan jadi,” katanya. Norma menyatakan bahwa warga Muhammadiyah khususnya kader muda, harus bisa mengambil posisi yang tepat dalam memandang politik. Tidak antipati, tetapi juga tidak pragmatis. “Yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana kita mengukur capaian resiko kemampuan,” ujarnya.
“Gejolak politik di kalangan AMM cukup tinggi. Ini menjadi bahan yang perlu dipikirkan dengan serius. Muhammadiyah punya pengalaman sangat panjang dengan politik. Muhammadiyah bisa eksis berhadapan dengan empat rezim, yaitu masa kolonial, Jepang, Orla, Orba,” katanya.
Ironisnya, kata Norma, kita terlalu meributkan politik dalam artian sempit, sekadar siapa menjadi apa, tetapi tidak ribut lagi setelah terpilih, mengawasi dan menyalurkan aspirasi. Padahal seharusnya, setelah terpilih, konstituen masih perlu terlibat dalam pengawasan dan memberikan masukan.
Kepada para kder Muhammadiyah terlibat di politik, Norma meminta supaya memperjuangkan nilai-nilai Islam yang substantif. “Persoalan paling urgen masyarakat kadang tidak berkaitan dengan perda-perda yang sifatnya formalistik,” katanya. Oleh karena ini, kader Muhamadiyah jangan terjebak formalisme tapi memperjuangkan politik Islam yang substantif.
Terkait dengan perda syariah, Norma melihat adanya banyak pertarungan. Tidak bisa dilihat secara parsial. Harus melihat proses ideologis, proses politik, dan proses sosiologis. Harus memahami, “Mengapa perda syariah itu muncul? Karena politik adalah sebuah permainan di mana aturan main dibikin oleh para pemain,” katanya.
“Perda syariah motifnya tidak tunggal, tidak sekadar untuk menegakkan syariat Islam. Pengusung perda syariah bukan hanya dari partai Islam. Mengapa itu terjadi? Karena ada proses politik mencari keuntungan politik,” ungkapnya.
Partai-partai sekuler seperti Golkar dan PDIP juga mendukung. Karena dua hal. Pertama, karena populis. Siapa sih yang tidak suka dengan perda-perda syariah. Jika ada yang menolak, maka dipastikan mereka tidak akan terpilih di pemilu berikutnya. Kedua, ada kongsi-kongsi politik. “Kalau saya memberi, pasti saya mendapat. Kalau saya mendapat, pasti saya harus memberi. Tidak ada itu mendudukung, jika tidak mendapat apa-apa,” ulas Norma.
Tentang hubungan antara agama dan politik, menurutnya, bukan kontestasi atau kompetisi, tetapi proses dialektika. “Dialektika iru pertarungan bukan dalam rangka saling mengalahkan, tapi menghasilkan sesuatu yang baru yang lebih baik. Dialektika itu bentuk awalnya dihilangkan, tetapi substansinya diambil,” katanya.
Semisal Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai agama, proses dialektika. Demikian juga dengan perda-perda yang ada. “Kita harus melihat bahwa perda syariah ini merupakan proses dialektika,” ungkapnya. (ribas/foto:fefe)
Baca juga
Dialektika Politik Perda Syariah
Haedar Nashir: Kontestasi Politik Harus dalam Koridor Konstitusi
Haedar Nashir: Persaingan Politik Memanas, Kedepankan Isu Politik Damai dan Dialogis