PONOROGO, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan posisi Muhammadiyah dalam dinamika politik kekinian. Terutama maraknya gerakan di media sosial dan kontestasi tagar atau hashtag #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja. Menurutnya, mobilisasi kekuatan massa semacam ini tidak menjadi domain Muhammadiyah.
“Warga Muhammadiyah tidak boleh ikut-ikutan gerakan politik melalui perang tagar,” tegas Haedar di Universitas Muhammadiyah Ponorogo, pada Selasa (8/5). Haedar tidak mau berkomentar lebih jauh tentang fenomena tersebut. “Untuk hashtag #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja itu, Muhammadiyah bukan berarti tidak setuju atau setuju, tetapi tidak ikut-ikutan,” katanya.
Menurut Haedar, aktivitas politik harus dilakukan secara konstitusional dan berdasar prinsip demokrasi. Pergantian Presiden tergantung pada hasil pemilu nanti, bukan pada aksi di media sosial. “Tahun 2019 itu kontestasi politik resmi di mana akan ada Pemilihan Presiden, (pemilihan anggota) legislatif, DPR, dan DPD, maka silahkan saja, setiap orang untuk memilih aspirasi politiknya. Nanti hasilnya, ya sesuai dengan aspirasi yang terbesar,” tuturnya.
Masyarakat, kata Haedar, seharusnya memilih berdasar hati nurani dengan pertimbangan yang rasional dan kritis, bukan karena termobilisasi oleh kekuatan politik tertentu. Baginya, siapapun yang terpilih dalam proses demokrasi yang sah, harus dihormati. “Apapun yang diusung dalam proses politik, tetap indahkan konstitusi proses demokrasi yang tetap ada di koridor, jangan mobilisasi rakyat dengan proses pembodohan,” paparnya.
Haedar mengingatkan bahwa Muhammadiyah menempatkan diri sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), bukan sebagai kekuatan politik praktis. Muhammadiyah berpolitik dalam ranah high politic atau politik adiluhung. Muhammadiyah berpacu untuk memajukan dan mencerdaskan umat melalui dakwah mencerahkan. Muhammadiyah membangun pusat keunggulan untuk mengejar ketertinggalan. Sementara wilayah politik menjadi domain peran dari partai politik.
Tidak hadirnya Muhammadiyah dalam politik praktis yang berorientasi kekuasaan bukan berarti Muhammadiyah abai pada permasalahan negeri. Muhammadiyah tetap berperan dalam ranah dan cara berbeda, sesuai dengan Khittah Denpasar tahun 2002. “Dalam konteks kebangsaan, warga Muhammadiyah harus turut membangun moralitas dan kehidupan kebangsaan yang luhur,” ungkapnya.
Dua hari sebelumnya, ketika menghadiri pelepasan siswi Madrasah Mu’alimaat Muhammadiyah Yogyakarta di Sportorium UMY, Haedar juga menegaskan bahwa dalam kehidupan berdemokrasi harus ada sikap fairness. Yaitu sikap untuk adil, jujur, wajar, obyektif, terbuka, sekaligus juga kesatria menerima hasil pemilu yang sah dalam proses yang demokratis.
Hal itu menjawab tentang keresahan di masyarakat pengguna media sosial tentang tagar ganti presiden atau tidak. “Proses demokrasi ini tidak ada istilah pergantian. Kalau tahun 2019 merupakan babak baru dari proses demokrasi. Jadi silahkan warga bangsa mau memilih calon presiden siapapun, darimanapun itu hak warga bangsa dan warga negara,” katanya.
Oleh karena itu, gerakan politik harus tetap dalam koridor demokrasi yang fair, konstitusional dan mengikuti sistem yang berlaku. “Jadi silahkan saja untuk bertanding di 2019. Mau incumbent, mau presiden baru itu yang menentukan kan bukan gerakan-gerakan ini. Tetapi yang menentukan hak pilih warga masyarakat yang diberi kebebasan sepenuhnya oleh konstitusi untuk memilih siapapun atas dasar plihan sendiri. Jadi itu cara berpikirnya,’’ katanya.
Haedar menganggap bahwa fenomena perang tagar itu masih dalam taraf wajar. Namun semua pihak harus berpikir rasional dan dewasa. Khususnya warga Muhammadiyah, Haedar mengingatkan untuk mematuhi kaidah-kaidah organisasi.
“Muhammadiyah tidak ikut-ikutan dalam gerakan apapun yang bersifat politik praktis. Muhammadiyah sudah punya koridor, kepribadian dan khitahnya. Sehingga siapapun orang atau kelompok dalam Muhamamdiyah akan tahu di mana posisi mereka dan di mana posisi Muhammadiyah,” kata Haedar Nashir. (ribas)
Baca juga:
Kader dan Pimpinan Muhammadiyah Mesti Seksama
Muhammadiyah dan Rekonstruksi Politik Kebangsaan