Siang itu, usai berkunjung ke kantor Grha Suara Muhammadiyah, di Jl. KH Ahmad Dahlan Yogyakarta. Dua orang Pengurus Majelis Tablig PWM Sumatera Barat, bermaksud bersilaturahmi dengan Buya Syafii (panggilan akrab Prof Ahmad Syafii Maarif).
Pada saat dua orang majelis Tabligh ini datang ke Grha SM, Buya Syafii baru saja kembali ke rumahnya, di Jl. Nogotirto. Saya pun menyarankan untuk mereka berkunjung langsung ke kediaman Buya Syafii.
Setelah saya siapkan armada beserta sopir, dua orang sahabat ini, langsung menuju ke kediaman Buya Syafii.
Namun sampai di depan rumah Buya, dua orang sahabat ini, melihat ada sosok tua yang sedang mengemasi jemuran di pekarangan rumah.
Dengan cepat, salah seorang dari mereka, langsung turun dari mobil dengan maksud ingin menanyakan keberadaan Buya.
Sebab, dalam pikiran mereka, tentu sebagai pembantu di rumah Buya Syafii, lelaki tua yang dilihatnya sedang mengemasi jemuran kain itu, akan lebih tahu, apakah Buya ada di rumah atau sedang tugas di luar rumah.
“Assalamu’alaikum.. Mohon maaf bapak, apakah Buya Syafii ada di rumah?” tutur salah seorang dari mereka dari luar pagar kepada sosok tua yang sedang mengemasi jemuran tadi. Namun, bermaksud agar jemuran segera bisa dikemasi, sosok lelaki tua ini pun, tidak begitu memperhatikan.
Karena belum direspon, sapaan kedua pun, disampaikan kembali, “Maaf bapak, apakah Buya Syafii ada di rumah? Kebetulan kami dari PWM Sumbar.?” ungkapnya.
Lelaki tua ini pun menoleh dan berkata, “Ada, silahkan masuk”, sambil dia membukakan pintu pagar rumahnya dan mempersilahkan kedua anak muda ini masuk ke rumah Buya Syafii.
Saat lelaki tua tadi membukakan pintu pagar, dan menyalami keduanya, tubuh mereka bak disambar petir, kaget, bingung dan malu. Kenapa tidak?, ternyata lelaki tua yang sedang mengemasi jemuran tadi, adalah orang yang mereka cari, yaitu Buya Syafii Maarif.
Tidak ada dalam pikiran dan perkiraan mereka, jika sosok itu adalah Buya Syafii. Bahkan kuat dugaannya, jika sosok itu adalah seorang pembantu di rumah Buya Syafii. “Tidak lazim bagi seorang Buya Syafii, apalagi sebagai seorang tokoh nasional dan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sekedar urusan jemuran, juga ditangani langsung oleh beliau. Sehingga mereka menduga, sosok tua itu, adalah pembantu di rumah Buya. ”
Namun, demikian fakta langsung yang disaksikan oleh kedua pengurus majelis tabligh PWM Sumatera Barat ini kala itu.
“Maaf Buya, apakah ibu lagi kurang sehat? ” tanya mereka heran. “Tidak, alhamdulillah sehat, ibu sedang ada urusan dengan masyarakat, untuk persiapan Ramadhan,” ungkap Buya Syafii.
Dua orang pemuda ini pun, tidak mau melanjutkan pertanyaan lagi, walaupun sebenarnya masih ada yang ingin diketahui, apakah di rumah ini tidak ada seorang pembantu? Namun melihat kondisi yang ada, mereka sudah bisa memastikan, kalau Buya tidak memiliki pembantu yang mengurus, hal-hal kerumahtangaan.
Namun singkat cerita, ketika mereka sudah berada di ruang tamu untuk bertemu dan menyampaikan maksud kunjungannya ke rumah Buya, mereka pun, hanya tertegun, malu, dan takjub.
Sebab sosok Buya, bukan saja mampu memberikan katauladanan dalam kata, namun juga dalam sikap. Tentu saja, semua kita merindukan sosok seperti Buya, juga hadir bagi tokoh-tokoh nasional dan tokoh umat lainnya. Karena ketidaksamaan antara kata dan laku inilah, yang membuat hilangnya ketauladanan bagi generasi hari ini.
Setidaknya, itulah pelajaran yang jauh lebih berharga dari sekedar mereka bertemu dan bercerita dua jam dengan Buya Syafii Maarif.
Semoga sehat selalu Buya, dan selalu hadir sebagai tauladan bagi bangsa ini. Amiin.
Disarikan dari kisah penuturan 2 sahabat dalam cerita ini (DENIAS/08/05)