JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan duka cita yang mendalam kepada lima anggota polisi yang tewas menjadi korban penyerangan para napi anarkis, di samping korban luka yang terjadi di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok pada Selasa (8/5).
Selain itu, Haedar turut mengapresiasi dan menghargai usaha Polri dalam mengatasi bentrokan dan penyerangan tersebut.
Haedar mengatakan, jika benar penyerangan dan bentrokan itu terkait dengan napi teroris atau ada unsur terorisme seperti diberitakan, di samping napi lainnya, maka usut tuntas kasus yang memakan korban jiwa itu sehingga peristiwa tersebut terbuka secara objektig ke publik apa yang sesungguhnya terjadi.
“Sebab baik terorisme maupun segala tindakan anarkis atas nama apapun dan bagaimanapun merugikan kehidupan sesama, bangsa, dan negara,” tegas Haedar pada Jumat (11/5).
Menurut Haedar, tentang teroris, terorisme, dan pelaku anarkis siapapun dan atasnama apapun dalam pandangan Muhammadiyah merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh agama dan hukum yang berlaku karena menyebarkan ketakutan, ancaman, dan kekerasan. Baik perorangan, kelompok, maupun organisasi atau institusi, termasuk institusi negara tidak dibenarkan melakukan tindakan teror dan anarki. Tidak ada zona toleransi terhadap segalan tindakan teror dan anarki, apapun penyrebab dan pemicunya.
“Karenanya kasus di Mako Brimob itu harus diusut secara tuntas dan transparan agar jelas dan tidak menyisakan tanda tanya publik” jelas Haedar.
Seperti diberitakan sebelumnya, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’thi, meminta Kapolri untuk segera melalukan evaluasi atas kinerja jajarannya, termasuk penggunaan Mako Brimob sebagai tempat penahanan para tersangka tindak pidana.
“Polisi seharusnya mengedepankan proses investigasi terhadap penyebab kejadian secara seksama dan bijaksana. Keterangan polisi yang simpang siur terkait penyebab kejadian bisa menurunkan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat atas profesionalitas Polri sebagai aparatur keamanan,”jelas Mu’ti.
Jika ternyata ditemukan kesalahan dan keteledoran sudah seharusnya Kapolri memberikan sanksi yang tegas kepada jajarannya.
“Karena itu tidak seharusnya Polisi langsung menumpahkan tuduhan kepada para tahanan,” tegas Mu’ti.
Mu’ti mengungkapkan, bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari ancaman terorisme.
“Peristiwa di Mako Brimob hendaknya menjadi peringatan dan pelajaran bahwa terorisme masih merupakan ancaman bagi bangsa dan negara Indonesia,” ujar Mu’ti.
Mu’ti menilai, terorisme tidak ada kaitan dengan ajaran agama tertentu. Terorisme adalah ekspresi perlawanan dari mereka yang merasa diperlakukan tidak adil.
“Motifnya bisa karena ekonomi, politik, kebudayaan, identitas, dan ideologi baik agama maupun politik,” jelas Mu’ti.
Usaha pencegahan dan pemberantasan terorisme harus dilaksanakan secara komprehensif melibatkan berbagai pihak. Polisi sebagai aparatur keamanan bertanggung jawab terhadap penindakan.
“Sedangkan untuk pencegahan dapat dilakukan oleh elemen masyarakat termasuk organisasi agama, kepemudaan, media massa, dan sebagainya. Pendekatannya juga harus menyeluruh, baik ekonomi, politik, pendidikan, olah raga, seni-budaya, agama, dan sebagainya,” papar Mu’ti.
Mu’ti mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk tidak perlu saling menyalahkan dan mengutuk.
“Sekarang saatnya semua pihak saling bekerjasama. Meskipun demikian, Presiden bisa memanggil Kapolri untuk memberikan laporan dan bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Siapapun yang bersalah harus diberikan sanksi sesuai hukum dan ketentuan yang berlaku. Hal demikian agar menjadi pembelajaran untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di masa yang akan datang,” pungkas Mu’ti.(red)
Baca juga:
Telusur Jejak Genealogis Terorisme dan Implikasinya Bagi Studi Islam Indonesia
Haedar Nashir Kunjungi Pusat Rehabilitasi Terorisme di Singapura
Bertabayun Terhadap Informasi, Gunakan Rasionalitas